November 10, 2011

Aku dan Menulis 3

                Tidak ada yang pernah menginginkan kami bersahabat awalnya. Aku sendiri tidak pernah berusaha agar bisa bersahabat dengan menulis. Sungguh minder diriku pada saat aku tahu siapa-siapa saja yang pernah bersahabat dengan dia. Semua sahabat-sahabatnya yang lama sangat bisa dibanggakan. Mereka semua itu dapat berjaya bersama menulis. Sungguh hebat orang-orang demikian. Sedang aku, hanya seorang pelajar biasa yang secara tidak sengaja bertemu dengan menulis.

                Selama ini aku belum pernah bisa dibanggakan bersama menulis. Belum satupun cerita yang dapat diterbitkan di harian cetak atau di majalah bulanan. Hanya teman-temanku saja yang membaca dan menikmatinya. Terkadang kalau aku tidak merasa yakin dengan ceritaku, aku minta mereka menilainya. Tetapi, penilaian mereka tidak terlalu berarti bagiku, penilaian menulislah yang jauh lebih berarti.

                Dengan menulis aku selalu bertambah ilmu baru setiap harinya. Tiap ingin membuat sebuah karya yang baru, aku selalu diajari untuk bisa memodifikasi karya yang lama dan menambah diksi kata setiap harinya. Karena ini hubungan kami makin erat sekarang. Hampir setiap hari aku duduk di atas kasur dan memulai suatu perbincangan agung dengan menulis yang nantinya akan menghasilkan sebuah karya yang juga indah dan apik.

Sekali waktu, aku sudah mengantuk dan mataku sudah tidak kuat lagi untuk bertahan terbuka. Aku masih berusaha membukanya dan menatap layar komputer untuk memulai proses pembuatan sebuah tulisan. Tetapi apa daya, tertidurlah aku di tengah-tengah dan gagallah hubunganku dengan menulis pada malam itu. Hebatnya adalah menulis bisa memaafkanku. Esoknya aku diberikan ide baru olehnya. Ide yang lebih baru dan lebih segar dari yang sebelumnya. Dia tidak hanya memaafkanku rupanya, dia juga makin menyemangatiku.

Kalau dilihat-lihat, persahabatan kami seperti simbiosis komensalisme, di mana yang satu diuntungkan oleh yang lain, tetapi yang lain itu tidak dirugikan sama sekali. Bagiku itu tidak seperti itu. Persahabatan kami bukan hanya sekedar simbiosis. Persahabatan kami adalah sebuah hubungan yang sudah sangat intim. Semua rahasiaku kubeberkan dengan menulis. Menulis tahu segalanya mengenai diriku sampai hal yang paling kecil.

Dia tidak pernah menanggapi apa yang selalu kukatakan kepadanya. Seringkali aku berpikir kalau aku ini sudah gila. Aku tidak gila. Menulis itu hidup di dalam segala aspek kehidupanku dan dia selalu ada dan hadir menemaniku. Di saat sedang penat, atau bahagia, di saat tidur, dan terlebih di saat aku bangun.

Satu-satunya sahabatku yang tidak pernah aku kangeni adalah dia ini. Sebernarnya alasannya gampang saja, karena aku dan dia selalu bertemu di setiap saat. Dia ini juga satu-satunya sahabat yang aku tidak pernah bosan untuk membagikan segalaku kepadanya. Dengan setia dia mendengar dan mencatat semua ceritaku sehingga kami berdua sekali lagi menghasilkan cerita yang indah dan apik.

Monoton memang persahabatan kami. Bertemu, berbincang, berpisah. Begitu seterusnya. Tidak ada aktivitas lainnya. Hanya dalam setiap perbincangan, dia bisa membawaku ke berbagai tempat yang aku tidak pernah lihat sebelumnya. Ke tempat-tempat yang menakjubkan. Ini yang membuatku terus dan semakin menyukai menulis. Ini juga yang mungkin dia lakukan terhadap sahabat-sahabatnya yang lama. Dan suatu ketika, aku yakin dia akan melakukan sesuatu denganku yang belum pernah ia lakukan dengan sahabat-sahabatnya yang lama.