December 31, 2014

It will be 'It was in 2014' soon

                Too many things happen to start in 2014 and 2014 is coming to an end just in a few hours. If I do a look back, it’s very amusing. I like to do a lookback, mostly from pictures. But before we even get to the pictures, let me talk about why I’m so grateful that I was not accepted by University of Indonesia (UI) last year.

                Okay. Without losing any respect to my senior, the class of 2013, I really glad that I’m in the class of 2014. From the side of achievement, we achieve more. We have better art festival and we have a very good results in competition. Well, that’s a very good start. Not to mention that at an art competition between departments in my faculty, we won 11 category out of 12. That’s impressive! Amazingly well done.

                Let’s move on from my great college life. Outside the thin walls of my university, I co-founded yaelah.co with 2 of my best friends! It’s a web-portal where wild ideas, satire comment, and a speech on how people should be living their life gets its place. I also wrote some articles there, regularly in English, but I also reviews movie in Bahasa Indonesia. Established this year on July and publicly published a month after that. Since it’s new year, the web will also come up with a new design and format. Here’s to reminisce the beta version:


                These are the things that I’m being grateful for the most just because that one event that happened in 2013. Thank God UI didn’t accept me. If they did, I’d never attend UWRF’s 10th anniversary and met one nice girl from Jogja that has been my chatting friend ever since, and then met my friends in a publishing company called Plotpoint and automatically I’d never have the chance to co-founded yaelah.co.

                One thing that I do fail to accomplish this year is to finish my book. For one year, not even a word added. I’m too busy doing things and I realize that I have to put more energy on this project of mine. Even the last time I blogged was months ago. I still do write letters, poems, and personal stuff. But that’s different. The point is, I still have time to write for pleasure, but it’s not a sharing material. I miss sharing my writings with people. Although, I did read my poem in front of people a couple weeks ago.

                Anyway.. This post is actually just an excuse for me to post pictures of what happen in 2014.
Communication of Universitas Indonesia

Commboys Family

Surrounded by loved ones

Selfieesss


August 26, 2014

Di Samping

Di samping
Berjalan melipir menghindari
Ditawari makan, minum, dan barang sehari-hari
Puluhan pasang kaki-kaki
Berjualan dan membeli
Di area pejalan kaki

Mana kota yang katanya modern?
Trotoar dipakai kaki lima
Yang diam di tempat dan tidak jalan
Sedang kaki dua jalan di jalan raya

Berkali-kali ditangkapi
Masih juga kembali
Ke tempat yang sama

Di trotoar, di samping
--

Puisi ini bercerita tentang hak pejalan kaki yang diganggu oleh adanya pedagang kaki lima yang tidak tertib.

May 9, 2014

Proxemics

            “Udah gue kasih tau ‘kan alasannya. Banyak kuman! Asal lu orang tau aja. Tangan orang tuh udah megang-megang apa tau ga lu? Itu kenapa kita orang ngasih salamnya begini,” anak bocah itu mengepal tangan kirinya dan menempelkan dengan telapak tangan kanannya yang lalu membungkus tangan kirinya, kemudian menundukkan badannya kepada salah seorang laki-laki yang sedang berdiri di sekelilingnya. “Gitu kata kungkung gue!” dia menegaskan sekali lagi.

            Aku berdiri tepat di depan rumahku, kira-kira 5 meter dari depan rumahnya. Anak bocah itu adalah orang Cina atau menurut peraturan presiden yang baru dia orang keturunan darah dari negara Tiongkok, alias orang Tionghoa. Masalah sepele soal penyebutan dan ketersinggungan berlebihan. Sepertinya memang itu sifat dasar mereka, ya seperti si Hua Ting ini.

            Ting dididik keras oleh kedua orang tuanya untuk bersikap selayaknya orang Tionghoa. Dia tidak pernah ingin bersalaman dengan orang lain. Jaga jarak, begitu katanya. Orang barat, si etnis lain itu, yang membuat cara aneh dalam menyambut orang lain. Apalagi kalau ternyata orang asing yang baru saja kenal dijabat tangannya, bagi Ting itu salah parah.

            “Nih ya, asal lu orang tau aja, cara kita sama mereka beda. Kita sama-sama nunduk dan pasti harus ada jarak. Artinya hormat, ya gak? Apaan tuh caranya pegang-pegang tangan gue,” protesnya lebih lanjut.

            Ting bukannya tidak ramah, tetapi memang begitulah cara dia hidup. Senyumnya pun berprinsip keras. Tidak gampang digoyah. Yang pasti ia tahu, jarak harus dijaga dan kepercayaan pada orang lain tidak boleh sembarang diberi. Kepercayaan itu harus diraih.

            Berteman dengan Ting sejak kecil membuatku mengerti akan prinsip itu. Namun, karena aku memang bukan orang Tionghoa, tentu saja aku tetap berjabat tangan. Akan aneh kalau aku tiba-tiba menyambut orang dengan gerakan itu. Kulitku coklat, wajahku sangat Jawa, dan apa kata dunia kalau aku tiba-tiba begitu?

            Sayangnya  tidak ada yang sadar, bahkan diriku sendiri, kalau ternyata prinsip itu mengubahku saat sudah lebih dewasa. Sedikit teman, lebih sedikit lagi teman dekat, dan aku selalu berusaha menjaga jarak pada laki-laki yang sangat aku suka.

***
           
           “Vic, boleh pinjem catetan Fisika kemarin ga? Aku kemarin sakit dan ga masuk,” tanyaku padanya malu-malu. Sebenarnya aku tidak terlalu butuh, namun teman-temanku memaksa. Mereka berdua sekarang sedang duduk di kursi paling belakang dan pura-pura tidak tahu.
            
           “Boleh aja. Sebentar ya,” Vico mengorek-ngorek isi tasnya, sementara aku melihat kebelakang dan memerhatikan kedua temanku yang sedang tertawa-tawa kecil. “Ini. Besok balikin, ya.”

            Tubuhnya tiba-tiba hanya berjarak sekitar 30 sentimeter dariku, aku reflek mundur satu langkah. “Oke. Makasih, Vic.”

            Pelan-pelan langkahku makin ke belakang, lalu langsung berbalik badan dan berjalan ke arah tasku.

          “Jadi gimana, Na?” mereka berdua langsung bertanya sambil berjalan ke arahku tak sabaran. “Lumayan ‘kan?” lanjut mereka.

            “Ah, biasa aja. Gitu doang,” jawabku sedikit melecehkan tantangan mereka. Padahal jantungku berdebar lumayan keras juga.

            Yuni dan Andhina memang selalu mendorong-dorongku untuk lebih dekat lagi dengan Vico. Aku sendiri merasa belum saatnya aku memasukan dia dalam lingkaran intimku, bahkan lingkaran personal. Dia masih jauh di lingkaran publik, harus 45 cetimeter atau lebih.

            Biasanya hanya sebagai objek pemandangan di saat kelas sedang membosankan atau saat dia sedang menjadi pusat perhatian saat tim Voli sekolah kami bermain.

            Aku dan kedua temanku ini juga tidak sedekat itu. Sejarang mungkin aku melakukan kontak fisik kepada mereka, seperti merangkul atau bahkan bertatap mata. Saat berbicara, biasanya mataku terpaku pada batang hidung atau dahi orang lain. Hanya pada Ayah dan Ibu dan kedua adikku saja aku menatap mata.

            Di antara begitu banyak jarak yang bisa kuatur, waktu adalah yang paling kejam. Jaraknya selalu sama, temponya teratur. Terkadang ingin lebih lama di suatu detik yang berharga, namun waktu tetap bergerak dan memakan sebuah peristiwa baru langsung menjadi sejarah. Tidak terasa, waktu membuat jarakku dan Vico menjadi lebih dekat selama dua bulan terakhir.

            Aku bahkan mempercantik diriku sendiri demi mendekatkan jarakku dan Vico. Hari ini ia akan mengajakku untuk nonton berduaan di Mal Pluit. Dia ingin mengajakku masuk ke dalam jarak intimnya, begitu pula dengan aku. Bedanya, ia melakukannya dengan polos dan aku tau apa yang sedang ingin aku lakukan.

            Saat berjalan berdampingan dengannya, jarak kami berdua hampir tidak ada. Terkadang lengan kami berbenturan. Ketika menyebrang jalan, tangannya reflek menggenggam tanganku. Perasaan yang aneh. Begitu baru, begitu kasar telapak tangannya, namun gesturnya lembut sekali. Detik yang ingin sekali kutahan sekuat tenaga, tapi apalah aku ini dihadapan sang waktu yang tak pandang bulu.

            Malam hari itu berjalan dengan luar biasa baik. Mulai dari makan malam, hingga film yang kami tonton, sampai saat ia mengantarku pulang. Perjalanan dari titik nol yang sangat halus menuju klimaks begitu juga saat kembali ke titik semula, seperti parabola yang indah.

            Begitu rasanya punya teman dekat. Jarak yang selama ini kujaga sudah lebur. Masuk ke dalam tahap baru, punya pacar.

            “Ting, gue sekarang punya pacar, lho!” aku dan Hua Ting sedang duduk di teras rumahnya. Hari Minggu yang tenang ini memang sudah biasa kami habiskan bersantai, bersahaja di sini. Jarakku dan Hua Ting tidak pernah berubah sejak dulu, selalu dua badan. Seperti mata yang jaraknya selalu satu mata, begitu kata guru seni di sekolah.

            Tubuh manusia normal itu punya ukuran yang pasti dalam seni lukis klasik. Golden Rule namanya. Tinggi tubuh kita itu sama dengan susunan delapan kepala kita, lalu telinga itu panjangnya dari mata hingga ujung hidung. Kalau semua jarak itu dilanggar, ya sudah pasti manusia itu tubuhnya tidak normal.

            “Hati-hati aja, biasanya orang sakit hati makin gampang kalo udah ga jaga jarak,” balasnya tanpa melihat ke arahku. Di hadapan kami berdua memang ada anak-anak tetangga yang suka sekali bermain sepak bola di jalan depan rumah Ting. Bermodalkan bola plastik dan dua pasang sandal sebagai gawang. Mereka semua selalu menjadi hiburan sore, aku dan Ting seperti sedang nobar (nonton bareng).

            Seperti yang kubilang sebelumnya – dan yang orang lain sudah tau tentang Ting – dia selalu mewanti-wanti dirinya kalau orang lain jangan diberi masuk ke dalam jarak yang terlalu dekat. Aku tidak heran, dulu Ibu juga pernah bilang, lambat laun semua orang akan mengecewakan kamu. Memang sih, Ibu tidak berhenti sampai di situ saja. Ibu juga bilang kalau kecewa itu bagian dari hidup, jadi harus belajar mengampuni orang lain juga.

            Tidak seperti Hua Ting, aku pikir pacaran adalah ide yang bagus. Akhirnya, aku bisa bersama laki-laki yang aku inginkan, yang aku pilih. Beberapa orang berpacaran dengan laki-laki yang memilih mereka, laki-laki yang mendekati dan membuat si perempuan jadi tertarik untuk berpacaran dengan dia. Untungnya, aku tidak.

            Kecewa atau tidak kecewa akan laki-laki ini, kiranya aku bisa memaafkan. Kalau tidak bisa lagi dimaafkan, soreku dengan Ting pasti akan lebih lama, karena aku harus mendengarkan ceramah sambil menarik-narik biji tasbih dan meditasi. Semoga Hua Ting salah.

***

            Cintaku pada Vico teratur. Selalu ada, setiap hari, seperti sinar matahari yang terbit di ufuk timur dan pamer habis-habisan kepada seluruh daratan kota saat siang hari, lalu kembali malu-malu menuju malam di sebelah barat sana.

            Sedang menopang dagu di atas meja kelas, tiba-tiba Vico mencolek dari belakang, “Kirana, nanti malem aku jemput, ya!” bisiknya. “Jangan tanya ke mana,” lanjutnya lagi.

Aku hanya balas mengangguk dan akhirnya memerhatikan Pak Bibit yang sedang menggambar tabel statistik matematika dengan mulut sedikit menganga dan tanganku menggaruk bagian belakang kepalaku. Pikiran ini kutahan-tahan untuk tidak menghayal akan tempat seperti apa yang Vico ingin ajak aku pergi atau apa yang ingin Vico lakukan padaku nanti malam atau makan apa nanti malam.

Satu lagi dari banyak hal yang Ting ajarkan padaku, jangan berekspektasi terlalu tinggi, malah kalau bisa tidak perlu berekspektasi. Biarkan saja semua mengalir sebagaimana realita ingin kejadian itu terjadi. Dalam hal ini, dan kiranya dalam hal ini saja, aku menurut pada sarannya.

Jangan salah, Ting itu tidak asal-asalan. Aku mengerti betul semua maksudnya. Isi pikirannya melebihi usianya yang masih bocah. Hanya saja, cara hidup yang ia pilih sangat dingin. Aku tidak ingin menjadi dirinya. Cinta itu penting dan mendekatkan jarak itu hangat.

Aku jadi ingat akan satu sore ketika kami melakukan hal yang biasa kami lakukan.

“Eh, Na, lu sadar gak kalo di lift, orang semua pada ngeliatin angka lantai doang?”

“Maksud lo?”

“Ya ngeliatin indikator lantai di lift, maksudnya. Trus, gak ngeliat apa-apa lagi selain itu. Gak ngeliat orang lain, biasanya diem. Kecuali kalo kenal, ya.”

“Hmm.. Iya juga ya. Emang kenapa?”

“Soalnya kita orang ada jarak sosial masing-masing. Ya ‘kan gak enak ngelirik-ngelirik. Pilihannya kalo gak ngeliat itu, ya nunduk aja,” Ting tertawa kecil. “Coba aja lu waktu masuk lift ga balik badan, tapi ngarah ke orang-orang. Pasti aneh deh,” lanjutnya sambil tertawa lebih keras.

“Bener juga ya,” sahutku sambil ikut tertawa.

Sampai saat ini, aku masih tidak tahu dari mana ia bisa punya teori-teori seperti ini. Entah buku apa yang ia baca atau dengan teman macam apa ia bergaul, pastinya dengan orang-orang pintar. Aku, si bodoh ini, pengecualian.

Sempat sekali waktu di sebuah mal aku mencoba masuk lift dan tidak membalikkan badanku ke arah pintu lift. Aku dan Vico berhadap-hadapan. Dia menatapku dengan aneh. Kami berdua cekikikan dan aku langsung membalik badanku. Tidak tahan juga, rasanya aneh. Seperti memang seharusnya kita semua balik badan saat masuk lift.

Rasa apapun yang aku miliki terhadap Vico tidak mengubah aturan budaya dan sosial di sekitarku. Jarak kami yang sudah melebur tetap menyisakan ruang untuk kewarasan sosial. Tentu saja aku tidak membiarkan ia menyentuhku di bagian-bagian sensitif, seperti pinggang, paha, dan (apalagi) payudaraku. Sebanyak apapun kami menonton film-film barat, dalam budaya sosial Timur, itu semua masih pantang rasanya.

Ketika satu saat ia mencoba menciumku tepat di bibir, aku langsung memundurkan kepalaku dan mataku melotot. “Eh, eh. Kamu mau ngapain?”

“Em, aku pikir. Em. Eh. Iya. Enggak kok. Enggak jadi,” gumamnya. Vico langsung memundurkan badannya dari sofa. Aku dan dia sedang berada di ruang tamu rumahnya. Siang itu sedang kosong, jadi kami bebas menyalakan TV dengan suara keras dan melakukan hal-hal lain.

Vico salah tingkah bukan main. Ia langsung membicarakan acara TV yang sedang berlangsung, yakni berita siang yang isinya kebakaran gedung di daerah luar Jakarta. Aku sendiri langsung membetulkan dudukku, memakukan pandanganku pada TV. Terberkatilah orang yang menciptakan TV, kiranya dia tahu betapa berfungsinya alat ini dalam suasana-suasana aneh.

Kepalaku langsung berputar-putar, berusaha menguak misteri aneh ini. Kenapa Vico bisa tiba-tiba bergerak ingin menciumku, apa yang barusan aku katakan? Jangan-jangan aku menyentuhnya di tempat-tempat sensitif secara tidak sengaja. Oh, tidak. Salah sinyal, mungkin.

Pikiranku kembali lagi, jauh ke arah utara dari rumah Vico, sekitar tujuh kilometer. Ke rumah besar berisi anak keturunan Tionghoa dengan sensitifitas sosial yang tinggi. Sialan, makiku dalam hati. Teringat jelas dalam otakku. Wajahnya yang belagu itu, bibir kecil dan tipis yang banyak bicara, mata kecil yang memandang orang lain dengan ukuran yang sama, dan rambut jabrik dengan buntut pelitnya.

Pertama kali aku kecewa dengan perlakuan Vico padaku. Namun, kali ini aku maafkan. Sore hari itu aku pulang dalam penyesalan.

***

            Kepercayaan itu harus diraih, bukan diberi. Aku tersenyum sambil telungkup di kasur, masih memikirkan kejadian tadi sore. Kapan ya Vico meraih kepercayaannya?
            
Aku berusaha mencari-cari kejadian saat dia melakukan sesuatu yang membuatku bisa sepenuhnya percaya, namun sia-sia. Apapun yang ia lakukan, ia bisa lakukan karena kepercayaannya sudah kuberi lebih dahulu. Yang duluan naksir, aku. Hm, jelas betul sekarang.

Kubalikan tubuhku telentang. Menimbang-nimbang. Kalau harus menceritakan ini ke Ting, sisi positifnya pasti tidak sebanding dengan sisi negatifnya. Kalau cerita ke Ayah dan Ibu, ah, kalau yang ini tidak perlu timbang-timbang lagi. Sudah pasti jawabannya tidak. Yuni dan Andhina mungkin bisa diajak bicara.

“Trus, trus? Gila lo! Nolak Vico? Buset deh! Gue aja deh yang dia cium,” mulut Yuni langsung bercuap-cuap seperti pantat ayam, tidak berhenti-henti. Membuat pagi hariku tidak tenang.

“Eh, jangan ngawur lo. Bisik-bisik aja, kenapa? Malu kali di denger orang,” sambarku sambil menutup mulutnya dengan tanganku. Lama-lama diperhatikan, bibirnya bikin geli sendiri. Monyong-monyong tak karuan.

“Eh, tapi,” Andhina berbisik pelan. “Si Yuni ada benernya juga. Gila lo nolak Vico! Trus gimana?”

“Ya gak gimana-gimana amat. Abis itu yang ngobrol biasa, nyantai aja kali. Yang pacaran siapa, eh yang panik malah lu berdua.”

“Ya kita berdua khawatir aja, kirain sampe putus,” balas Andhina masih berbisik. Yuni hanya mengangguk pelan sambil melirik ke Andhina, mulutnya masih kutahan dengan tanganku.

“Enggalah. Yang pasti hubungan gue sama Vico batasan jaraknya jelas. Ga boleh bablas, titik.”

***

            Denyutnya sudah berubah, tidak lagi teratur. Seperti orang yang lomba lari di tanjakan. Cepat, namun ingin melambat. Lelah sekali, tapi sayang kalau kalah. Tidak apa kalah, yang penting selesai dengan terhormat. Pastinya tidak boleh menyerah. Sekarang bukan saatnya untuk berkata tamat.

            Kagetnya memang di luar dugaan. Sakitnya tidak lagi bisa ditahan. Setiap hari, pilu hati ini menjadi beban. Dalam kepalaku ada bunyi riuh tepuk tangan. Sebuah salut kepada Ting yang benar. Aku harus kembali berguru padanya dengan tubuh setengah hancur.

Ampun, Hua Ting yang cerdas, ini diriku. Kiranya sudi ditampung. Ajari lagi tentang betapa kerasnya dunia pertemanan yang kau ajarkan dulu. Supaya ilmunya rampung. Kali ini jangan tanggung-tanggung.

Patah hati itu seperti babi, ya, Hua Ting. Hanya mau makan, tidur, dan mengorok sepuasnya. Atau seperti orang tua yang katanya mencari uang pakai tulang yang dibanting-banting. Sakit sekali, ya?

            “Ah, lu. Maklumlah, baru pertama kali. Untung aja Cuma pacaran. Coba kalo lu sama dia bisnis. Ga Cuma sakit hati, Na. Uang lu juga ludes, kira-kira begitulah,” Ting mencoba memberi penjelasan yang sama sekali tidak melegakan hati.

            “Ga tau diri! Udah bagus gue kasih masuk di jarak yang deket banget, eh minta-minta masuk lebih dalem. Giliran gak dikasih, eh, malah pergi keluar petantang-petenteng.”

            “Pengalaman hidup, ya gak?”

            “Ga adil, ah. Pengalaman lo mana, Ting? Sok tau soal hal kayak gini, padahal lo ga pernah ngerasain.”

            “Ya buat apa dirasain kalo udah tau bakal ga enak? Gelo eta mah,” lagaknya meniru-niru orang Sunda, etnis paruhannya.

            Sore hari itu, kami akhiri dengan tidur telentang di atas rerumputan hijau halaman depan rumah Ting. Sedang bulan puasa, tidak ada anak-anak yang bermain bola menjelang adzan Maghrib. Nanti cepet haus, kata salah seorang anak. Langit berwarna biru cerah dan awan membumbung seperti membentuk ombak di lautan. Tandanya ikan sedang banyak di pantai.

           “Na, lu pasti sadar deh kalo kita jaraknya selalu dua badan. Ya, kan? Nah, lu tau ga kenapa?” Ting bertanya tanpa menoleh ke arahku.

            “Karena kita bukan BFF?” candaku. Kami berdua tertawa saat itu juga.

          “Bukan, bukan. Kalo kita bukan BFF ya, lu orang ga akan masuk dan injek rumput di rumah gue. Bener deh,” katanya masih sambil sedikit tertawa. “Jadi, satu badan tuh karena lu cewe. Kalo lu cowo, pasti jarak kita setidaknya satu badan. Terus, satu badannya lagi karena kita ga sedarah. Bukan karena lu Ti Ko, maksud gue. Lu ngerti lah,” jelasnya.


            Setelah selesai bicara, dia menengok ke arahku. Aku langsung mengangguk pelan sambil masih menikmati matahari terbenam dan awan berombak. Berandai apa yang terjadi kalau langit langsung jatuh.

            “Eh, Ting. Jarak kita ke langit kenapa jauh? Ada teorinya ga tuh?” aku bertanya di tengah perenunganku.

            “Soalnya di atas itu surga. Isinya Dewa, Tuhan, Allah. Mereka itu suci, gak kayak kita. Jadi, mereka bikin jarak jauh-jauh. Kita nih kotor,” jelasnya.

            “Coba aja jaraknya langit deket sama kita, asik kali ya. Bisa pegang-pegang awan. Penasaran deh gue.”

            “Ga usah ngebet. Mana mau mereka. Mereka ‘kan gak bego.”
            
Kepalaku langsung menoleh ke kiri dengan cepat. Mataku menatap kosong pada wajah bagian kanannya. Ingin tertawa, namun aku tahu ia benar.

--- 

April 30, 2014

Langkah-langkah

                Dalam setiap langkah, kita terpaut satu sama lain. Merambah cahaya baru yang penuh warna-warni, sama sekali bukan hal yang feminin. Laki-laki juga bisa jadi mellow seperti perempuan, hanya tinggal buang segala bualan. Karena melangkah bukan bicara, melangkah berarti diam dan berusaha tidak bertahan. Tidak harus selalu maju, yang penting berjalan.

                Sudah lama terikat berdua. Secara hubungan atau bahkan secara fisik kita. Ada untuk terus bersama. Jangan lagi dipaksa berlama-lama. Ini keputusan kita. Melangkah demi pergerakan cinta.

                Semoga bukan hanya kaki yang bergerak. Tapi, rasa di dada yang juga berdetak. Memang kedengarannya cerita kita akan berakhir buruk. Tidak berarti kita harus berhenti melangkah untuk menghambat yang sudah rusak. Biar saja yang rusak menjadi berantak. Asal kita tahu kalau prioritas utama adalah masing-masing hak.

                Kita mau hal yang berbeda. Dalam sepak bola, bercinta, atau hal yang sekedar di atas udara saja. Berbeda memang seru, harus diakui, hanya saja kita tidak memiliki hal yang sama. Hal yang tidak penting dan masih harus diutarakan teman kita yang bodoh tentang kesamaan kita adalah kita berdua sama-sama mencari hal yang sama dari satu lainnya.

                “Bukankah sama itu bosan? Seragam itu tidak menarik. Langkah yang berbeda dengan tempo berantakan jauh lebih menarik untuk dianalisa daripada langkah seragam yang hanya bisa berarti satu hal, bukan begitu?” tanya Aru saat sedang mengendarai mobil sedannya yang tertempel stiker di mana-mana.

                Aru brengsek, benar itu. Aru selalu benar, benar juga itu. Masalahnya, langkah kita yang selalu tersandung batu. Jatuh berkali-kali tanpa kenal waktu. Rasanya seperti dihujani peluru. Terlalu tegang akan kondisi  sendiri, lupa perhatikan langkah, dan tanpa disadari jatuh di atas tanah abu.

                Kita sama sadarnya kalau kita lelah melangkah. Ingin sekali rasanya bilang sudah. Cukup sampai di sini saja, mau muntah. Tidak tahu lagi alasan untuk berjuang lebih. Satu-satunya yang kita pegang dari dulu hanya prinsip dasar melangkah. Sekali melangkah, berhenti itu haram menurut petuah.

                Bapak kita zaman dulu itu tidak pernah berhenti. Tidak bahkan untuk sekedar makan roti. Jangankan makan dan minum, mau pipis saja harus ditahan setengah mati. Kita ini masih muda, tidak bisa kita berhenti di sini. Apa kata mereka nanti?

                Intinya, langkah kita itu berharga. Lebih baik berpisah sekarang sebelum menyesal di waktu tua. Melangkah masing-masing ‘kan juga bisa. Apa salahnya?

                Sudahlah, ini bukan waktunya mendukakan langkah-langkah yang sudah lewat di masa lampau. Ini langkah untuk masa depan aku dan kau. Mau maju atau mundur, itu urusanmu. Jangan sekali-kali menghentikan langkah baru. Boleh saja kembali meniti langkah-langkah lama kalau kau mau. Apalah urusanku melarang pergerakan hatimu.

                Jadi kita sekarang, melangkah. Mencari berlian berharga yang perlunya sebongkah. Atau mawar yang sedang merah merekah. Karena kita beda, langkah kita beda, dan itu tidak bawa berkah.


                Titipkan salam untuk Aru. Katakan padanya, dia benar selalu.

April 10, 2014

Perokok Intelek

                Setiap orang punya adiksinya masing-masing. Kita bisa maklumi itu. Contohnya ada banyak, tapi yang sedang diomongin ya rokok ini. Masalahnya di komunitas tuh apa sih? Kalau yang melarang keluarga, ya normal ajalah. Tapi kalau komunitas yang melarang, berarti ada yang aneh. Mau bilang rokok itu tidak sehat? Hampir semua adiksi tidak sehat, rokok hanya salah satunya. Kenapa penggemar kopi (yang sampai adiksi) dirasa biasa saja?

                 Mungkin karena kebanyakan dari para perokok suka ngasal. Matiin rokok di sembarang tempat, buang asap tanpa peduli ada orang yang tidak merokok di sampingnya, dan sering banget ga tau tempat untuk merokok.

Pernah suatu kali di angkot yang gue tumpangin, ada laki-laki bertampang bego dan cengo naik. Dia masih pegang rokoknya dan masih nyala. Kondisi angkotnya sih ga padet, tapi lumayan berisi. Eh, tiap beberapa saat dia cuek aja isep rokok di dalem mobil angkot. Berasa seperti di rumah sendiri. Normalnya sih ya, matiin aja dulu rokoknya waktu naik, simpen sisanya, lalu sulut lagi nanti setelah turun. Sulitnya jadi anak jalanan ya harus berhadapan dengan orang-orang seperti itu dan bukan hanya satu kali.

Jadi, ngerokok hanya boleh di smoking room dan rumah sendiri? Engga juga. Malah, smoking room itu parah banget. Gue ngerokok bukan karena rokok itu wangi. Kalo rokok elektrik (seperti punya Johnny Depp waktu dia main di The Tourist) itu murah, mau deh gue. Gue sendiri setuju kalau asap rokok itu bau. Pernah sekali, di airport, gue coba masuk ke smoking room. Rokok gue baru abis setengah, gue udah ga tahan sama bau badan gue sendiri dan langsung keluar.

Yang penting adalah di tempat terbuka di mana ada udara dan pepohonan yang bisa menghisap asap dan mendaur ulang menjadi gas oksigen untuk kita semua hidup esok hari.

Nah, terus.. Kalau sedang jalan kaki dan merokok, orang sering mematikan rokoknya di trotoar jalanan dan diinjak setelahnya. Orang Jakarta, sering banget marah-marah soal kebersihan kotanya, padahal ya salah sendiri. Ga perlu ngomongin soal limbah pabrik atau orang pinggir kali buang sampah sembarangan deh, perokok aja matiin puntung sembarang. Sama aja.

Masih di trotoar yang sama, kadang perokok tuh ga sadar kalau yang jalan di trotoar bukan hanya dirinya sendiri. Waktu buang asap, tiba-tiba bisa ke arah muka orang. Paling parah kalau ternyata yang lewat adalah ibu hamil atau anak bayi yang sedang digendong ibunya. Bukan masalah penyakit, tapi masalah kenyamanan soal baunya. Sama seperti betapa seringnya gue protes sama orang-orang kantoran yang bau banget keteknya waktu pulang kantor dan di KRL kita semua berdempet-dempetan.

Kalau saja, para perokok lebih intelek, lebih sopan. Pasti lebih kurang dibenci. Coba perhatiin bau badan setelah merokok, coba disamarkan dengan parfum atau keringet sekalian (kayak cara ngilangin bau pete, ya makan jengkol), perhatiin juga tempat untuk merokok. Ada kemungkinan besar lama-kelamaan rokok dianggap sebagai adiksi yang biasa saja seperti kopi. Dan, please, jangan samain ini untuk pengguna obat-obat terlarang. Beda jauh parah itu sih kasusnya. Gue sendiri selalu mencoba sebisa mungkin untuk ga matiin puntung di trotoar, apalagi ngerokok di dalem angkot.


Ini hanya tebakan liar anak lulusan SMA yang belum dapet kampus. Kalo enggak setuju, ya wajar aja.

April 3, 2014

Review The Raid 2: Berandal

THE RAID 2: BERANDAL
Via 21cineplex.com


                Mengerikan sekali. Brutal luar biasa. Kali ini filmnya jauh lebih panjang dari yang pertama. Lebih banyak bicara. Politiknya lebih terasa. Haus akan kekuasaannya nyata. Yang pertama jadi lebih terasa seperti percikan kecil dari yang kali ini.

                Sebagai seorang penggemar TV serial, saya yakin ini akan jauh lebih seru kalau dibuat serial. Mafia-mafiaan makro. Bicara soal pembagian wilayah (yang terdengar sangat klise di pembicaraan-pembicaraan yang ada) sudah seperti hal yang enteng. Ngasih Menteng dan Sabang sudah seperti memberi uang upeti. Saya yakin lebih seru jadi serial, apalagi ini “ga ada habisnya”, seperti kata Eka.

                Hal paling seru saat menonton adalah memerhatikan tempat. Biasanya, kita (orang Jakarta), nonton tempat-tempat luar negeri. New York, Los Angeles, London, Paris, Roma, Moskow, dsb. Saat kita tau ini terjadi di kota sendiri, serunya ada saat kita tahu adegan yang itu mengambil tempat di mana. Seperti saat kejar-kejaran mobil yang terjadi di Kemayoran atau di dalam KRL/commuter line atau saat Rama diserang dalam taksi di Blok M.

                Aktor yang berperan sebagai Prakoso pun lumayan membingungkan, karena di The Raid: Redemption dia berperan sebagai Mad Dog dan mati. Mati! Ga mungkin salah kalau itu. Ya, mungkin aja Evans dan kru casting kehabisan pilihan.

                Munculnya perempuan Asia Timur (ga yakin Jepang atau Cina) yang super hot dan punya senjata dua palu itu keren banget. Di antara tiga orangnya Bejo itu, saya pilih dia sebagai favorit. Dari senjata, cara pakai, dan karakternya yang buta (sebelah?) plus tuli. Sebaliknya, temannya yang pakai bat baseball itu aneh. Waktu duet, mereka berdua mantep. Tidak masuk akal ketika Rama berhasil bunuh dua-duanya, padahal waktu lawan Mad Dog berdua pun kewalahan. Percuma rasanya kalau lawannya Rama dibuat super strong, tapi kalah dengan cepat. Di saat duel terakhir, jauh lebih memuaskan. Satu bioskop tempat saya nonton tertawa saat Rama dan orang itu sama-sama ambil kuda-kuda yang dempet. Kelihatannya lucu memang. Saat orang keren tanpa nama itu kalah, satu bioskop tepuk tangan.

                Berpaling soal hal-hal lucu, fakta bahwa Prakoso punya pager itu lucu. Saya sendiri ketawa-tawa. Di beberapa adegan lain saya juga tertawa, tapi ternyata bukan tertawaan umum, jadi tidak perlu dibagi di sini.

                 Kejadian yang aneh adalah waktu Prakoso keluar dari club ada salju. Gimana ceritanya ya itu? Apa saya salah liat dan itu bukan salju? Masa sih bukan di Jakarta? Ah, ya sudahlah. Lalu Eka yang ditembak di kaki kanannya masih bisa injek gas mobil, impressive.

                Oke, ada satu hal yang saya sendiri sangat amat suka. Pose Uco waktu menembak Bangun. So cool and flawless. Pose kelas dunia. Luka-lukanya yang jadi tanda “anak berengsek” itu bikin tambah keren (kayak Zuko atau Scar, saya kebanyakan nonton kartun).


                In one word only: Overwhelming. Film ini terlalu. Lama, berdarah, mengerikan, dan berani.

March 25, 2014

Gratefully Broken

It has been a long time since the last time I got my heart broken. This time, I feel grateful. I have what I’ve been looking for since years ago. I’ve been in love with the same girl and never once I feel left out, never once I feel ditched.

As a cycle of life, I found broken heart as a perfection. Paradoxical perfection, of course. It keeps my feeling in good harmony. Meaning,  my heart still function well enough. It gives blessing, it learn to let go, to accept, to be happy for.

Risk is part of being human, part of being the stakeholder. I decided to watch people dance and step out of my own dance. Sit by with other who only watch. Some of them who don’t want the dance feel fulfilled with what ever they’re doing on their seat. Me on the other hand, just want to sit because I’m tired of dancing to long. Waiting to have my energy back to get on the dance stage and dance my last dance with my last partner.

As I rest, my partner will also rest. We both looking for the next partner, with different approach, different dancing style. If both of us didn’t find anyone, we’ll of course dance together again.

I had fun. Joining my friends that were also sitting and watching people. Hoping to get back on the dance stage soon. Me? I’m just hanging out with people with small chance to get back on the dance stage soon enough.

One of them, my favorite friend, has just left me for the dance stage when I go to the bathroom. That friend is not there when I take my seat and that friend, my friend, is just smile and wave. As a friend, I nod along and smile.

Sitting on the side, figuring out what to do. Looking for someone to mend, looking for someone to fill the seat that friend left. Because I’m still not ready to go back to the dance stage. To much to do in this seat.
Uncomfortable, yes. Anxious, of course. Feeling alone, sometimes. But, when it’s time to go dancing, I won’t resist. I’ll do the dance.

March 12, 2014

Math to Friendship

                People are forced to be willing and wanting to have a companion. We are born because of a social situation, therefore we are a social being ourselves and it’s all because every human is derivative. Culture is derivative, language is derivative, and pattern is just a pattern. We evolve, but there’s nothing new under the sun as the Bible says. It’s derivative.

                Too often, people do the math for their social life. As how math stands to be science, a problem solving tool, social life tends to be harder. Why would you solve something with math when you have nothing to solve?

                For math teachers, it’s not good enough to just know the answer without showing them how you get the answer. With friends, human friends, they don’t need us to tell them how we know. They’ll be grateful enough, knowing that we knew all along. Especially when they expect us to not know.

                Although, there goes the “made up” problem. Most people (like 75% of them) are either not ready to tell their friend that they know the answer to some kind of spesific situation, because they thought it would be akward somehow OR with their knowledge, they toy with your problem. Both are insanely stupid. But then, we are human. We’re born this way, flawed.

                Then the math come along. Calculating how mad will that person be if that person know they know the answer all along. Of course the math predict (blurry with subjectivity and false hope) that since that person is their friend, that person will be furious, but forgive them.

                A simple friendship has just been calculated by a fuzzy math and self-righteous (includes ego, hormone, and individual needs). This is what community is doing. By their own mind, calculating right or wrong in a relationship without really caring what the other friend is bearing.

                Saying “be a friend” is nonsense, because then the sympathy will be fake. It will come out of guilt or some other non-sincere feeling.

                It’s never be just a friendship in this world. Something could go very wrong in the middle of funny jokes and repressed feeling. Math never can show you how. Being social is not the problem to solve. Being human is also not the problem to solve. Derivative is the problem.

                If for once, human stop evolving, stop adapting, stop following patterns. If only it wasn’t our genetic disorder. Even “being creative” is a pattern.

March 8, 2014

After A Dozen of Romance Movies

                We never know when we lost until we knock to our heart and ask where. Stupidest thing any being would ever think is to find something in a place they don’t belong. You know where you belong when you do knock it and ask again.

                Sickness is not ever a reason for a delay. Moving forward and saying the only thing you want is hard, but that’s important. If we ever shiver, if our heart beats faster than it should, maybe it’s the way our body procces when it comes to the important part.

                It’s always classic, nothing modern about falling in love. The fact that earth’s creative industry never found a new problem to expose to the eyes of a moviegooers, means that it’s true. Law of love can’t be renewed. It will be fake, then.

                As far as we walk in the wrong path, the end will be always true. Yes, it hurts a lot. Of course, your head spins. And it’s totally okay to assume both will happen, it always happen. Even when we reach the end, boredom will hit us. Amazement fade away.

                Being scared is foolish. Blaming others isn’t right. We walk wrongly doesn’t mean we’re not ready. Life span is short when all we think is the result when we reach the end.

               Be decent, be stupid, be outrageous, be naked, be a dork, be anything you thought you needed to be. Also get laid, get drunk, get an award, catch the adventure. It’ll wax off your problem. Yes, of course, painfully. Since you know it’ll be clean afterwards, why not?

                Interaction with other human being is overrated and expensive, too mainstream. Something no normals can avoid. No one can blame us, it’s human nature. We created with flaw as our father and his father before him. Love do kills, don’t pretend like you don’t know that.

                Have we, the entire human race, lost in the sea of others? Knock again and ask where, because we might be stupid enough and don’t realize that we’re already there. 

January 26, 2014

Orang Gila pun Bertanya

                Butuh pahitnya. Hidup ini terkadang, kita pikir, lebih manis daripada yang kita harapkan. Rasa pahit ini, menyeimbangkannya. Di hati? Belum tentu tidak ada yang lebih parah daripada pahit di hati. Aku tahu kalau tidak ada yang baru di bawah matahari ini, semuanya seperti terulang, hanya beda bentuk.

                Secara biologis, kita sering pikir kalau tubuh ini cukup eksistensinya untuk dipuaskan. Buat apa memikirkan yang tidak nampak, seperti jiwa atau Tuhan sekalipun. Tubuh hadir, terasa gerakannya, dan itu menjadi prioritas kepentingan. Mereka, hal-hal yang aku tak bisa sentuh, tak bisa dikecup, tak bisa diendus, selalu menjadi yang belakangan. Paling belakang, kupikir begitu.

                Ada tubuh-tubuh lain yang hadir, menyelimuti tubuhku ini, membuat nyaman tubuh ini. Beberapa memberi makan untuk perut, beberapa yang lain memberi makanan untuk otak.

                Filsuf tua dari negeri jauh di Eropa, entah sebelah mana, yang pernah mengatakan kalau tubuh menjadi prioritas nomor satu berarti aku masih manusia rendah. Aku memang rendah, litteraly pendek memang, namun aku tidak merasa bodoh. Lalu, kalau memikirkan hal-hal yang spiritual, yang tak terlihat, aku akan jadi lebih tinggi, lebih beradab?

                Masih panas, aku berusaha minum pelan-pelan. Pahitnya terasa sekali, panasnya sedikit membakar lidah. Jika saja tubuh ini sudah mati rasa, aku bisa langsung menegak satu gelas. Tidak konsisten tentu saja, padahal aku masih ingin merasa. Merasa keseimbangan antara kebahagiaan di tubuh bagian luar dan kepahitan di tubuh bagian dalam.

                Ada sebagian manusia menyebalkan yang terkadang membuatku harus menegak sesuatu yang lebih pahit dari minumanku sekarang ini. Efeknya lebih dari pahit, aku mati rasa, pengelihatanku blur, dan aku hanya bisa terbaring. Orang-orang berengsek itu pikir mereka bisa mengontrolku dengan kondisi tubuhku yang dilemahkan sengaja.

                Sejak hari-hari itu berakhir, aku harus meninggalkan hidup dengan tubuh-tubuh manusia bodoh itu. Haruskah aku peduli dengan berapa banyaknya buku yang mereka baca tentang kondisi diriku? Tentu tidak. Tubuhku perlu pergi dari mereka. Aku tidak ingin mati rasa.

                Sekarang aku jadi khawatir bilamana nanti tubuhku yang mati. Satu per satu bagian tubuhku mulai tidak berfungsi. Duduk dikursi dan menjadi sama kakunya dengan kursi. Hanya bisa pindah jika ada orang yang menggeser. Rasa-rasa yang aku inginkan tidak bisa kupilih sendiri. Lalu jantungku dan otak kecil ini mulai memelan hingga berhenti. Setelah itu? Dikuburkan disebelah kucing peliharaanku juga tidak masalah.

                Terlalu banyak orang yang memikirkan soal surga dan neraka. Aku tidak pernah peduli. Dan kalaupun kedua hal itu benar eksistensinya, aku lebih baik ada di dunia selamanya. Dunia jauh lebih sempurna dari kedua hal itu. Tentu saja. Mereka hanya tidak pernah sadar. Di surga, tidak ada neraka. Di neraka, tidak mungkin ada surga. Namun di dunia ada keduanya. Ada seks dan ada kopi, ada gula dan ada cabai, ada es krim dan ada brokoli, ada koruptor dan ada relawan. Ada dinamika.

                Dinamika lebih menyenangkan, pastinya, daripada statis. Bahagia selamanya di surga, apa poinnya? Terlebih kalau tersiksa di neraka selamanya, tidak perlu ditanya lebih lanjut. Tubuh dan pikiran dilatih untuk berbuat seperti seharusnya sesuai syarat-syarat untuk menghindari neraka. Mereka yang tidak peduli akan kedua hal itu, pastinya akan masuk neraka, begitu kata tubuh-tubuh yang percaya. Tubuh ini pasti mati, dan bagi mereka mati hanya permulaan dari hidup kekal abadi di tempat yang ditentukan oleh perbuatan yang sesuai syarat dan ketentuan.

                Mengatakan hal itu saja masih membuktikan tubuh mereka menjadi prioritas utama dibandingkan dengan hal yang mereka pecaya eksistensinya benar, jiwa individu. Dasar, munafik berkulit ibadah.

                Jangan salahkan aku jika aku salah mendengar tentang konsep agama yang sebenarnya atau membaca buku konyol buatan orang tidak bertanggung jawab. Bualan dan omong kosongku sejauh ini hanya ingin menemukan jiwa yang dikatakan oleh tubuh-tubuh lain. Otak dan sel-selnya nyata, jantung dan jaringan tubuh lainnya bekerja menghidupkan diriku, kulit dan mata mengawasi tubuh-tubuh lain yang berusaha menyakiti tubuhku dari luar.


                Jika jiwa benar ada, matikanlah otakku dan buat aku tertawa atau patah hati. Karena, aku pikir, pahit dan manisnya hidup selalu ditentukan yang di atas, bagian atas tubuh.

January 4, 2014

As For Today In A Slow Mood

                It has been a while since I wrote my first short story, my first word. I remember the time I say, dad I made a story you should read this. I also regret that time when I start to write poem. I feel so dumb, so low. I broke my heart, I broke others, I play nice and then I dump things I shouldn’t have. That is what I did with being a young small self poet. The time when I write my first novel, it was not finished. So did the next two novels I tried to write. Three times, not finished. I start blogging, when I thought it was so easy and no one is reading my blog. I never really want to publish anything from here. I just have so many thoughts that I thought it was brilliant. Well, the truth is, nothing brilliant ever came from me. Then I was amazed by this UWRF event. It took a major hit at me. I’m still so young and greatly have an amazing opportunity that not every young man in my city go to an event like this. Now, I’m an intern with a chance of a real job in a few weeks. Not even graduated from any university. I should’ve been proud. I’m not. I think I’m not ready. I can’t deal with this now. All I know, I’m really in a slow mood and I hope a new intern would come by and help me. I’m afraid of being alone the most. That is a real thing.