November 28, 2012

Like the Dislikes



                Manusia mengerti apa yang tidak enak dan yang enak. Manusia selalu ingin segala yang enak. Di saat-saat yang susah, ketidakenakan memang harus ditahan. Ada yang bisa menahan, ada yang tidak bisa dan depresi. Ketidakbisaan dalam menahan yang tidak enak akan membuat kita menjadi makin tidak enak. Menahan ketidakenakan membuat kita merasa yang tidak enak menjadi enak. Awalnya memang menahan, lama-lama terbiasa, lalu menikmati. Menikmati yang tidak nikmat. Ini semua permainan psikologi belaka.

November 21, 2012

Serba Langganan


                Bagi pembaca yang tinggal di kota Jakarta, pasti mengerti akan kota Jakarta yang memaksa penduduknya untuk berpikir cepat dan bertindak cepat. Kalau tidak begitu, maka tidak akan bertahan lama hidup sejahtera di kota Jakarta. Misalnya saja begini, saya adalah seseorang yang sehari-harinya naik kereta untuk pulang ke rumah, suatu hari terjadi hujan badai dan di salah satu stasiun kereta pusat, gardu listriknya tersambar petir sehingga jalur kereta api macet sebagian dan tidak dapat berjalan seperti biasa. Dalam kondisi seperti ini, kalau saya tidak memikirkan alternatif dengan cepat dan juga efektif, maka antara saya akan sampai di rumah malam sekali atau tidak pulang sama sekali.
                Sebagai makhluk sosial, jika hanya kita yang berpikir dan bertindak cepat, kita masih tidak sejahtera. Kita butuh orang lain untuk berpikir dan bertindak cepat untuk kita. Itu mengapa, menjadi seorang sekertaris atau asisten bos besar adalah pekerjaan yang sangat besar dan dihargai dengan gaji yang juga cukup besar.
                Orang-orang yang biasanya kita butuhkan untuk berpikir atau bertindak cepat untuk kita adalah orang-orang yang kita percaya. Agak susah memang mencari orang yang dapat dipercaya di kota metropolitan yang keras  ini. Begitu mendapat orang yang dapat dipercaya, pasti akan selalu ingin dengan orang itu. Inilah yang menyebabkan kita menjadikan orang lain langganan kita.
                Banyak hal yang kita lakukan yang perlu orang-orang kepercayaan untuk melakukan hal itu untuk kita, dan biasanya orang-orang ini bukan hanya dapat dipercaya, tetapi juga menguntungkan dalam segi ekonomi. Selain bisa diprioritaskan saat dilayani, kita juga bisa mendapatkan harga teman. Karena hal-hal ini, maka sistem berlangganan marak di mana-mana dan dipakai oleh banyak toko untuk menarik pelanggan.
                Segala hal bisa dibuat menjadi langganan. Dari langganan pinjam uang dari bank hingga langganan teman menyontek, dari langganan minum kopi di Starbucks sampai langganan cendol samping Masjid, dari langganan naik taksi silver bird sampai tukang ojeg. Semuanya serba langganan. Semakin sering kita membeli barangnya atau menggunakan jasanya, maka kita akan semakin menjadi prioritas mereka dan dilayani semaksimal mungkin.
                Sebenarnya, bukan hanya mereka yang merupakan langganan kita. Kita juga sebenarnya adalah langganannya orang lain. Entah apakah itu langganan untuk dimarahi atau langganan untuk dipinjami uangnya atau langganan untuk ditebengi mobilnya atau hal-hal lainnya.
                Rutinitas hidup di kota konyol ini tidak bisa lepas dari yang namanya berlangganan atau dibuat menjadi langganan, bahkan tukang ojeg pun punya tempat langganan untuk minum es cincau. Pernah menyadari hal ini?

November 15, 2012

Apalah Arti Sebuah Nama?


        Hal yang akan saya ceritakan ini, mungkin saja, common untuk remaja Indonesia yang sedang berpacaran. Saya masih ragu apakah ini hal yang biasa untuk dibicarakan di kalangan pasangan remaja di Indonesia atau bahkan seluruh dunia. Maaf ya, belum sempat riset dulu.
Biasanya, hal ini dibicarakan oleh pasangan-pasangan yang merasa hubungannya adalah hubungan yang panjang dan bertahan lama hingga menikah. Saking mereka percaya bahwa mereka akan lama, maka sekali waktu akan terjadi pembicaraan macam ini.
Bicara soal pembicaraan yang akan saya bicarakan, kalau di bayangan pembaca sekalian ada hal yang aneh-aneh, buang saja. Ini hal yang konyol dan sama sekali tidak berbau intim atau seksual dan hal-hal yang memiliki kecenderungan pornografi dalam otak. Hanya saja, hal ini lucu ketika dibicarakan begitu dini.
Apa yang lucu? Selain karena waktu untuk membicarakan hal ini begitu dini, pasangan yang membicarakan hal ini benar-benar bersikap seperti orang yang sudah menikah dan sedang menunggu keajaiban itu datang. Padahal, (nah, ini juga salah satu lucunya) mereka sedang membicarakan ini lewat SMS atau telepon, bukan muka dengan muka di atas satu tempat tidur yang sama.
Pembicaraan ini, ketika sudah menikah, biasanya dibicarakan muka dengan muka dan di atas satu tempat tidur yang sama atau di atas sofa empuk yang sama sambil (mungkin) berpelukan atau saling menatap romantis satu sama lain. Sejujurnya ya, itu juga hanya bayangan saya. Bayangan ideal saya nanti. Saya kan belum menikah. Intinya, harusnya ini adalah pembicaraan nanti saja dibicarakannya sewaktu menikah dan bukan sewaktu pacaran.
Saya bukan ingin mencela pasangan yang membicarakan hal ini, saya sendiri membicarakan hal ini dengan pacar saya. Saya sendiri membicarakan itu karena sedang kehabisan ide untuk menghibur sang kekasih yang sedang terkapar sakit. Jadinya, saya harus membicarakan hal-hal futuristik yang menyenangkan, seperti pembicaraan yang akan saya bicarakan sekarang.
Sudah enam paragraf pembukaan, saya pikir cukup sudah menggesek-gesek rasa ingin tahu pembaca megenai pembicaraan ini. Pembicaraan itu adalah mengenai nama anak bayi nantinya. Pembicaraan yang membawa sepasang kekasih terbang ke dunia khayalan yang agak jauh. Khayalan indah yang melupakan betapa susahnya sebuah perjalanan cinta sampai bisa menikah, melupakan betapa susah mengurus seorang anak bayi sampai besar, melupakan segala macam hal buruk.
Sejujur-jujurnya, sebelum kekasih jiwa saya menanyakan saya “Kalau punya anak perempuan akan diberi nama apa?”, saya sudah sangat tau jawabannya apa. Entah apakah saya ini terlalu gay atau apalah kata orang, tapi memang saya sudah pernah pikirkan entah juga dari sejak kapan. Jadi, ketika ditanya hal itu, saya bisa menjawab dengan lancar beserta arti-artinya dan alasan-alasan saya memilih nama itu.
Begitu ganti giliran bertanya, pacar saya masih pikir-pikir (saya pikir, ini memang yang seharusnya, saya memang agak aneh). Karena sedang sakit dan pusing, maka saya yang memikirkan ide-idenya dan dia hanya “iya” atau “engga”. Beberapa kali, ia bertanya “Memangnya itu artinya apa?”. Ada yang saya bisa jelaskan ada juga yang tidak. Penjelasannya beberapa hasil googling. Ya, ini adalah hal-hal yang harus dilakukan pacar saat pacarnya butuh hiburan dan sedang sakit.
Sebenarnya, bisa saja saya mengatakan apa yang dikatakan sang penulis drama terkenal, Shakespear, “Apalah arti sebuah nama?”. Memang sangat bukan saya, bagi saya hampir semua yang ada di dunia ini harusnya ada artinya. Hal-hal lainnya yang tidak ada artinya, bahkan bukan sesuatu hal.
Kita memang benar-benar harus menanyakan kepada diri kita sendiri, apalah arti nama diri sendiri. Bagi beberapa orang tua, nama berarti harapan orang tua terhadap anak itu, beberapa hanya ingin supaya anak itu memiliki nama yang keren. Setelah tau arti nama diri sendiri, apakah kita benar-benar harus menghidupi arti nama kita?
Pernah dengar cita-cita anak mulia yang berkata “Saya ingin begini karena dengan begitu saya akan membahagiakan orang tua saya” atau kata-kata prioritas mulia dari seorang anak “Yang penting orang tua saya bahagia”. Nah, begitu juga dengan menghidupi arti nama sendiri. Karena yang memberikan nama adalah orang tua dan nama adalah harapan orang tua, maka hidupilah arti nama untuk membahagiakan orang tua.
Bagi anak-anak yang tidak pernah diberitahukan arti namanya atau orang tuanya memang tidak bermaksud memberikan namamu dengan arti dan harapan khusus, maka carilah arti namamu sendiri. Setelah itu, hidupilah sendiri.
Sebenarnya, nama kita itu diberikan Tuhan. Hanya saja, lewat orang tua. Ada maksud Tuhan lewat nama yang diberikan kepada kita. Walaupun kadang, artinya aneh atau tidak berguna. Semacam orang Batak Karo yang namanya bisa merupakan benda pertama yang ayahnya lihat sewaktu mendengar anaknya sudah lahir. Tetap saja, semua hal tidak mungkin di luar kehendak Tuhan.
Karena alasan-alasan semacam ini, saya merasa pembicaraan mengenai nama adalah pembicaraan yang serius sekaligus menyenangkan. Menyenangkan membayangkan bayi lucu dengan nama yang sudah kita tentukan dan pikirkan matang-matang dan tentu saja harus dibesarkan dengan serius agar hidupnya sesuai dengan apa yang diharapkan lewat nama yang diberikan.
Itu alasan dari bayangan ideal saya saat sepasang kekasih yang sudah menikah membicarakan hal ini dan itu juga alasannya mengapa begitu lucu dan polosnya ketika sepasang kekasih remaja yang masih naif membicarakan hal ini.

November 7, 2012

Semangat Menulis dari Hati ke Hati


                Belakangan ini, jarang sekali saya punya kesempatan untuk menulis. Setiap hari, saya selalu disibukkan oleh pekerjaan sekolah, ada pacar yang serius, ada tim futsal yang latihan terus, ada juga murid yang sangat-sangat butuh dibantu, lalu ada rumah yang harus dirapikan. Wah, repot! Saya setiap hari sampai di rumah, minimal jam setengah tujuh. Tentu saya sangat bersyukur kalau bisa pulang lebih awal.
                Rasanya, seperti sudah kerja kantoran saja, bahkan mungkin lebih parah. Saya masuk sekolah jam tujuh pagi dan selesai sekolah jam setengah tiga. Setelah itu, ada tambahan pelajaran, tentu saja karena saya sudah kelas 12. Hari Selasa, latihan futsal. Hari Rabu, saya mengajar ekskul. Di kondisi yang seperti ini, saya baru menyadari betapa waktu itu uang. Lebih lama pulang, lebih mahal ongkos hidupnya.
                Selama beberapa minggu yang sibuk ini, saya juga belajar satu hal sebagai seorang penulis muda. Rasa rindu akan berkata-kata lewat tulisan. Saya ini bawel, seringkali kepuasan berkata-kata oral terpuaskan dengan baik, tetapi saya juga suka menulis. Kerinduan saya selalu terbendung oleh banyaknya hal yang harus dikerjakan dan juga kondisi hati yang makin jarang bahagia. Walaupun begitu, saya juga masih suka menulis puisi di kertas coretan sewaktu ujian matematika, atau menulis artikel protes kepada sekolah di selembar kertas (dan parahnya, saya suka sengaja berusaha terlihat sedang menulis dan tidak memperhatikan, supaya guru saya baca keresahan hati saya, dan mungkin, teman-teman juga), dan beberapa kali saya juga menulis cerita-cerita pendek.
                Menulis esai untuk tugas masih hal yang menyenangkan bagi saya, tidak terasa seperti tuntutan, kecuali pelajaran sejarah. Saya masih menikmati proses itu. Penjabaran sebuah masalah, lalu memecahkannya seperti sebuah ahli yang datang dan sedang menyelamatkan dunia intelektual.
                Dalam masa-masa kerinduan yang amat sangat, pikiran jernih saya lahir kembali dengan sebuah prinsip baru. Sebuah sentuhan penuh arti dalam jiwa dan sebuah ketukan ilahi dalam pikiran. Saya terselimuti oleh kata-kata ini sepanjang beberapa minggu, sampai saya menjadi panas, ingin cepat-cepat keluar lagi.
                Jadi begini, ini adalah mengenai jawaban dari pertanyaan “Mengapa manusia harus menulis?” Manusia tercipta dari kata-kata. Manusia hidup dengan nama, sebuah bagian dari kata. Manusia bersosialisasi dengan manusia lain, dengan binatang, dengan tumbuhan lewat kata-kata. Simbol dan sandi pun melambangkan sebuah kata. Manusia tak dapat terpisah dengan kata. Bahkan, penyebutan “manusia” membutuhkan sebuah kata.
                Selama di kendaraan umum, di kelas selama belajar, di kelas selama mengajar, terkadang di gereja sewaktu mencatat khotbah, selama termenung menatapi hujan, dalam berbagai macam kondisi, selama itulah saya memikirkan kata-kata saya yang itu. Ketika terungkap, bahwa manusia tak terpisahkan dari kata, di situlah semangat membara keluar dari hati.
                Hati itu memang kompleks. Butuh lebih dari jutaan hadiah materi untuk memuaskannya, tetapi hanya dengan satu janji manis, maka sang pemilik hati akan tersenyum. Ini mengapa cinta itu topik yang laku, karena cinta menawarkan janji termanis yang pernah ada. Dan cinta, tak dapat lagi diungkapkan dengan kata.
                Karena itulah. Karena itulah saya masih terus. Terus menulis. Terus memiliki hati yang berkobar. Karena, saya cinta menulis.  Menulis itu refleksi hati, refleksi hidup, refleksi cinta dengan manusia. Saya cinta merefleksikan cinta saya.
                Ah, kata-kata itu mudah dipermainkan, tetapi susah dipegang. Kalau tidak dipaksa berhenti menulis, saya tidak bisa berhenti, maka tulisan manusia berhenti.  Biar iluminasi dan afeksi yang diberikan mengalir sendirinya dalam pikiranmu, ya.

Rokok+Polusi

                Sekarang, saya bukannya sedang ingin bicara bahwa rokok menyebabkan polusi udara, lalu maka itu saya menentang orang untuk merokok agar udara bersih. Bukan itu poinnya.

Memang, rokok itu menyebabkan polusi udara, tetapi tidak secara makro. Polusi udara yang disebabkan asap rokok tidak lebih besar dampaknya dari asap kendaraan atau asap pabrik. Kita yang tinggal di Jakarta, pasti mengerti.

Kita, yang adalah orang-orang aktif, orang-orang yang selalu bepergian dan melewati jalanan Jakarta Raya yang dipenuhi kendaraan bermotor hingga macet tak karuan, setidak-tidaknya memiliki paru-paru yang sudah tidak lagi sehat. Kandungan zat-zat beracun di paru-paru kita, setidaknya sudah cukup untuk merusak banyak bagian lainnya di tubuh kita, seperti aliran darah, jantung atau apalah yang berhubungan dengan paru-paru. Saya sih percaya seluruh organ di tubuh kita berhubungan. Maaf ya kalau saya kurang mengerti peta biologis, saya anak sosial.

Hanya dengan hidup seperti biasa di kota ini, sudah bisa menyebabkan penyakit. Apalagi, ditambah dengan merokok. Mungkin suatu saat nanti atau mungkin sudah ada orang yang tidak merokok, tetapi terkena kanker paru-paru.

Ini yang ada dipikiran saya ketika saya menyadari hal yang saya tulis di atas: Ekstrimnya, semua orang di kota ini pasti akan mati karena polusi udara. Secara rata, mati karena kanker paru-paru. Lalu, apa yang sebenarnya perokok lakukan? Hanya mempercepat kematian itu. Penyebabnya akan sama, kanker paru-paru juga.

Seorang teman baik saya pernah berkata, orang yang merokok itu, dalam setiap rokok yang dia hisap, menghabiskan 2 menit waktunya untuk menghisap rokok dan 2 menit waktu hidupnya di masa depan. Saya pikir, iya memang. Walaupun tidak setepat itu, tapi iya benar. Merokok itu mempersingkat hidup.

Tahu tidak, betapa hidup itu indah? Betapa kesusahan membawa kita untuk bertumbuh menjadi orang yang lebih kuat dan kegirangan meringankan segala pekerjaan. Jangan merokok untuk kedua alasan itu. Susah, tidak perlu dibius dengan merokok. Senang, juga tidak perlu dirayakan dengan merokok.