April 30, 2014

Langkah-langkah

                Dalam setiap langkah, kita terpaut satu sama lain. Merambah cahaya baru yang penuh warna-warni, sama sekali bukan hal yang feminin. Laki-laki juga bisa jadi mellow seperti perempuan, hanya tinggal buang segala bualan. Karena melangkah bukan bicara, melangkah berarti diam dan berusaha tidak bertahan. Tidak harus selalu maju, yang penting berjalan.

                Sudah lama terikat berdua. Secara hubungan atau bahkan secara fisik kita. Ada untuk terus bersama. Jangan lagi dipaksa berlama-lama. Ini keputusan kita. Melangkah demi pergerakan cinta.

                Semoga bukan hanya kaki yang bergerak. Tapi, rasa di dada yang juga berdetak. Memang kedengarannya cerita kita akan berakhir buruk. Tidak berarti kita harus berhenti melangkah untuk menghambat yang sudah rusak. Biar saja yang rusak menjadi berantak. Asal kita tahu kalau prioritas utama adalah masing-masing hak.

                Kita mau hal yang berbeda. Dalam sepak bola, bercinta, atau hal yang sekedar di atas udara saja. Berbeda memang seru, harus diakui, hanya saja kita tidak memiliki hal yang sama. Hal yang tidak penting dan masih harus diutarakan teman kita yang bodoh tentang kesamaan kita adalah kita berdua sama-sama mencari hal yang sama dari satu lainnya.

                “Bukankah sama itu bosan? Seragam itu tidak menarik. Langkah yang berbeda dengan tempo berantakan jauh lebih menarik untuk dianalisa daripada langkah seragam yang hanya bisa berarti satu hal, bukan begitu?” tanya Aru saat sedang mengendarai mobil sedannya yang tertempel stiker di mana-mana.

                Aru brengsek, benar itu. Aru selalu benar, benar juga itu. Masalahnya, langkah kita yang selalu tersandung batu. Jatuh berkali-kali tanpa kenal waktu. Rasanya seperti dihujani peluru. Terlalu tegang akan kondisi  sendiri, lupa perhatikan langkah, dan tanpa disadari jatuh di atas tanah abu.

                Kita sama sadarnya kalau kita lelah melangkah. Ingin sekali rasanya bilang sudah. Cukup sampai di sini saja, mau muntah. Tidak tahu lagi alasan untuk berjuang lebih. Satu-satunya yang kita pegang dari dulu hanya prinsip dasar melangkah. Sekali melangkah, berhenti itu haram menurut petuah.

                Bapak kita zaman dulu itu tidak pernah berhenti. Tidak bahkan untuk sekedar makan roti. Jangankan makan dan minum, mau pipis saja harus ditahan setengah mati. Kita ini masih muda, tidak bisa kita berhenti di sini. Apa kata mereka nanti?

                Intinya, langkah kita itu berharga. Lebih baik berpisah sekarang sebelum menyesal di waktu tua. Melangkah masing-masing ‘kan juga bisa. Apa salahnya?

                Sudahlah, ini bukan waktunya mendukakan langkah-langkah yang sudah lewat di masa lampau. Ini langkah untuk masa depan aku dan kau. Mau maju atau mundur, itu urusanmu. Jangan sekali-kali menghentikan langkah baru. Boleh saja kembali meniti langkah-langkah lama kalau kau mau. Apalah urusanku melarang pergerakan hatimu.

                Jadi kita sekarang, melangkah. Mencari berlian berharga yang perlunya sebongkah. Atau mawar yang sedang merah merekah. Karena kita beda, langkah kita beda, dan itu tidak bawa berkah.


                Titipkan salam untuk Aru. Katakan padanya, dia benar selalu.

April 10, 2014

Perokok Intelek

                Setiap orang punya adiksinya masing-masing. Kita bisa maklumi itu. Contohnya ada banyak, tapi yang sedang diomongin ya rokok ini. Masalahnya di komunitas tuh apa sih? Kalau yang melarang keluarga, ya normal ajalah. Tapi kalau komunitas yang melarang, berarti ada yang aneh. Mau bilang rokok itu tidak sehat? Hampir semua adiksi tidak sehat, rokok hanya salah satunya. Kenapa penggemar kopi (yang sampai adiksi) dirasa biasa saja?

                 Mungkin karena kebanyakan dari para perokok suka ngasal. Matiin rokok di sembarang tempat, buang asap tanpa peduli ada orang yang tidak merokok di sampingnya, dan sering banget ga tau tempat untuk merokok.

Pernah suatu kali di angkot yang gue tumpangin, ada laki-laki bertampang bego dan cengo naik. Dia masih pegang rokoknya dan masih nyala. Kondisi angkotnya sih ga padet, tapi lumayan berisi. Eh, tiap beberapa saat dia cuek aja isep rokok di dalem mobil angkot. Berasa seperti di rumah sendiri. Normalnya sih ya, matiin aja dulu rokoknya waktu naik, simpen sisanya, lalu sulut lagi nanti setelah turun. Sulitnya jadi anak jalanan ya harus berhadapan dengan orang-orang seperti itu dan bukan hanya satu kali.

Jadi, ngerokok hanya boleh di smoking room dan rumah sendiri? Engga juga. Malah, smoking room itu parah banget. Gue ngerokok bukan karena rokok itu wangi. Kalo rokok elektrik (seperti punya Johnny Depp waktu dia main di The Tourist) itu murah, mau deh gue. Gue sendiri setuju kalau asap rokok itu bau. Pernah sekali, di airport, gue coba masuk ke smoking room. Rokok gue baru abis setengah, gue udah ga tahan sama bau badan gue sendiri dan langsung keluar.

Yang penting adalah di tempat terbuka di mana ada udara dan pepohonan yang bisa menghisap asap dan mendaur ulang menjadi gas oksigen untuk kita semua hidup esok hari.

Nah, terus.. Kalau sedang jalan kaki dan merokok, orang sering mematikan rokoknya di trotoar jalanan dan diinjak setelahnya. Orang Jakarta, sering banget marah-marah soal kebersihan kotanya, padahal ya salah sendiri. Ga perlu ngomongin soal limbah pabrik atau orang pinggir kali buang sampah sembarangan deh, perokok aja matiin puntung sembarang. Sama aja.

Masih di trotoar yang sama, kadang perokok tuh ga sadar kalau yang jalan di trotoar bukan hanya dirinya sendiri. Waktu buang asap, tiba-tiba bisa ke arah muka orang. Paling parah kalau ternyata yang lewat adalah ibu hamil atau anak bayi yang sedang digendong ibunya. Bukan masalah penyakit, tapi masalah kenyamanan soal baunya. Sama seperti betapa seringnya gue protes sama orang-orang kantoran yang bau banget keteknya waktu pulang kantor dan di KRL kita semua berdempet-dempetan.

Kalau saja, para perokok lebih intelek, lebih sopan. Pasti lebih kurang dibenci. Coba perhatiin bau badan setelah merokok, coba disamarkan dengan parfum atau keringet sekalian (kayak cara ngilangin bau pete, ya makan jengkol), perhatiin juga tempat untuk merokok. Ada kemungkinan besar lama-kelamaan rokok dianggap sebagai adiksi yang biasa saja seperti kopi. Dan, please, jangan samain ini untuk pengguna obat-obat terlarang. Beda jauh parah itu sih kasusnya. Gue sendiri selalu mencoba sebisa mungkin untuk ga matiin puntung di trotoar, apalagi ngerokok di dalem angkot.


Ini hanya tebakan liar anak lulusan SMA yang belum dapet kampus. Kalo enggak setuju, ya wajar aja.

April 3, 2014

Review The Raid 2: Berandal

THE RAID 2: BERANDAL
Via 21cineplex.com


                Mengerikan sekali. Brutal luar biasa. Kali ini filmnya jauh lebih panjang dari yang pertama. Lebih banyak bicara. Politiknya lebih terasa. Haus akan kekuasaannya nyata. Yang pertama jadi lebih terasa seperti percikan kecil dari yang kali ini.

                Sebagai seorang penggemar TV serial, saya yakin ini akan jauh lebih seru kalau dibuat serial. Mafia-mafiaan makro. Bicara soal pembagian wilayah (yang terdengar sangat klise di pembicaraan-pembicaraan yang ada) sudah seperti hal yang enteng. Ngasih Menteng dan Sabang sudah seperti memberi uang upeti. Saya yakin lebih seru jadi serial, apalagi ini “ga ada habisnya”, seperti kata Eka.

                Hal paling seru saat menonton adalah memerhatikan tempat. Biasanya, kita (orang Jakarta), nonton tempat-tempat luar negeri. New York, Los Angeles, London, Paris, Roma, Moskow, dsb. Saat kita tau ini terjadi di kota sendiri, serunya ada saat kita tahu adegan yang itu mengambil tempat di mana. Seperti saat kejar-kejaran mobil yang terjadi di Kemayoran atau di dalam KRL/commuter line atau saat Rama diserang dalam taksi di Blok M.

                Aktor yang berperan sebagai Prakoso pun lumayan membingungkan, karena di The Raid: Redemption dia berperan sebagai Mad Dog dan mati. Mati! Ga mungkin salah kalau itu. Ya, mungkin aja Evans dan kru casting kehabisan pilihan.

                Munculnya perempuan Asia Timur (ga yakin Jepang atau Cina) yang super hot dan punya senjata dua palu itu keren banget. Di antara tiga orangnya Bejo itu, saya pilih dia sebagai favorit. Dari senjata, cara pakai, dan karakternya yang buta (sebelah?) plus tuli. Sebaliknya, temannya yang pakai bat baseball itu aneh. Waktu duet, mereka berdua mantep. Tidak masuk akal ketika Rama berhasil bunuh dua-duanya, padahal waktu lawan Mad Dog berdua pun kewalahan. Percuma rasanya kalau lawannya Rama dibuat super strong, tapi kalah dengan cepat. Di saat duel terakhir, jauh lebih memuaskan. Satu bioskop tempat saya nonton tertawa saat Rama dan orang itu sama-sama ambil kuda-kuda yang dempet. Kelihatannya lucu memang. Saat orang keren tanpa nama itu kalah, satu bioskop tepuk tangan.

                Berpaling soal hal-hal lucu, fakta bahwa Prakoso punya pager itu lucu. Saya sendiri ketawa-tawa. Di beberapa adegan lain saya juga tertawa, tapi ternyata bukan tertawaan umum, jadi tidak perlu dibagi di sini.

                 Kejadian yang aneh adalah waktu Prakoso keluar dari club ada salju. Gimana ceritanya ya itu? Apa saya salah liat dan itu bukan salju? Masa sih bukan di Jakarta? Ah, ya sudahlah. Lalu Eka yang ditembak di kaki kanannya masih bisa injek gas mobil, impressive.

                Oke, ada satu hal yang saya sendiri sangat amat suka. Pose Uco waktu menembak Bangun. So cool and flawless. Pose kelas dunia. Luka-lukanya yang jadi tanda “anak berengsek” itu bikin tambah keren (kayak Zuko atau Scar, saya kebanyakan nonton kartun).


                In one word only: Overwhelming. Film ini terlalu. Lama, berdarah, mengerikan, dan berani.