December 31, 2014

It will be 'It was in 2014' soon

                Too many things happen to start in 2014 and 2014 is coming to an end just in a few hours. If I do a look back, it’s very amusing. I like to do a lookback, mostly from pictures. But before we even get to the pictures, let me talk about why I’m so grateful that I was not accepted by University of Indonesia (UI) last year.

                Okay. Without losing any respect to my senior, the class of 2013, I really glad that I’m in the class of 2014. From the side of achievement, we achieve more. We have better art festival and we have a very good results in competition. Well, that’s a very good start. Not to mention that at an art competition between departments in my faculty, we won 11 category out of 12. That’s impressive! Amazingly well done.

                Let’s move on from my great college life. Outside the thin walls of my university, I co-founded yaelah.co with 2 of my best friends! It’s a web-portal where wild ideas, satire comment, and a speech on how people should be living their life gets its place. I also wrote some articles there, regularly in English, but I also reviews movie in Bahasa Indonesia. Established this year on July and publicly published a month after that. Since it’s new year, the web will also come up with a new design and format. Here’s to reminisce the beta version:


                These are the things that I’m being grateful for the most just because that one event that happened in 2013. Thank God UI didn’t accept me. If they did, I’d never attend UWRF’s 10th anniversary and met one nice girl from Jogja that has been my chatting friend ever since, and then met my friends in a publishing company called Plotpoint and automatically I’d never have the chance to co-founded yaelah.co.

                One thing that I do fail to accomplish this year is to finish my book. For one year, not even a word added. I’m too busy doing things and I realize that I have to put more energy on this project of mine. Even the last time I blogged was months ago. I still do write letters, poems, and personal stuff. But that’s different. The point is, I still have time to write for pleasure, but it’s not a sharing material. I miss sharing my writings with people. Although, I did read my poem in front of people a couple weeks ago.

                Anyway.. This post is actually just an excuse for me to post pictures of what happen in 2014.
Communication of Universitas Indonesia

Commboys Family

Surrounded by loved ones

Selfieesss


August 26, 2014

Di Samping

Di samping
Berjalan melipir menghindari
Ditawari makan, minum, dan barang sehari-hari
Puluhan pasang kaki-kaki
Berjualan dan membeli
Di area pejalan kaki

Mana kota yang katanya modern?
Trotoar dipakai kaki lima
Yang diam di tempat dan tidak jalan
Sedang kaki dua jalan di jalan raya

Berkali-kali ditangkapi
Masih juga kembali
Ke tempat yang sama

Di trotoar, di samping
--

Puisi ini bercerita tentang hak pejalan kaki yang diganggu oleh adanya pedagang kaki lima yang tidak tertib.

May 9, 2014

Proxemics

            “Udah gue kasih tau ‘kan alasannya. Banyak kuman! Asal lu orang tau aja. Tangan orang tuh udah megang-megang apa tau ga lu? Itu kenapa kita orang ngasih salamnya begini,” anak bocah itu mengepal tangan kirinya dan menempelkan dengan telapak tangan kanannya yang lalu membungkus tangan kirinya, kemudian menundukkan badannya kepada salah seorang laki-laki yang sedang berdiri di sekelilingnya. “Gitu kata kungkung gue!” dia menegaskan sekali lagi.

            Aku berdiri tepat di depan rumahku, kira-kira 5 meter dari depan rumahnya. Anak bocah itu adalah orang Cina atau menurut peraturan presiden yang baru dia orang keturunan darah dari negara Tiongkok, alias orang Tionghoa. Masalah sepele soal penyebutan dan ketersinggungan berlebihan. Sepertinya memang itu sifat dasar mereka, ya seperti si Hua Ting ini.

            Ting dididik keras oleh kedua orang tuanya untuk bersikap selayaknya orang Tionghoa. Dia tidak pernah ingin bersalaman dengan orang lain. Jaga jarak, begitu katanya. Orang barat, si etnis lain itu, yang membuat cara aneh dalam menyambut orang lain. Apalagi kalau ternyata orang asing yang baru saja kenal dijabat tangannya, bagi Ting itu salah parah.

            “Nih ya, asal lu orang tau aja, cara kita sama mereka beda. Kita sama-sama nunduk dan pasti harus ada jarak. Artinya hormat, ya gak? Apaan tuh caranya pegang-pegang tangan gue,” protesnya lebih lanjut.

            Ting bukannya tidak ramah, tetapi memang begitulah cara dia hidup. Senyumnya pun berprinsip keras. Tidak gampang digoyah. Yang pasti ia tahu, jarak harus dijaga dan kepercayaan pada orang lain tidak boleh sembarang diberi. Kepercayaan itu harus diraih.

            Berteman dengan Ting sejak kecil membuatku mengerti akan prinsip itu. Namun, karena aku memang bukan orang Tionghoa, tentu saja aku tetap berjabat tangan. Akan aneh kalau aku tiba-tiba menyambut orang dengan gerakan itu. Kulitku coklat, wajahku sangat Jawa, dan apa kata dunia kalau aku tiba-tiba begitu?

            Sayangnya  tidak ada yang sadar, bahkan diriku sendiri, kalau ternyata prinsip itu mengubahku saat sudah lebih dewasa. Sedikit teman, lebih sedikit lagi teman dekat, dan aku selalu berusaha menjaga jarak pada laki-laki yang sangat aku suka.

***
           
           “Vic, boleh pinjem catetan Fisika kemarin ga? Aku kemarin sakit dan ga masuk,” tanyaku padanya malu-malu. Sebenarnya aku tidak terlalu butuh, namun teman-temanku memaksa. Mereka berdua sekarang sedang duduk di kursi paling belakang dan pura-pura tidak tahu.
            
           “Boleh aja. Sebentar ya,” Vico mengorek-ngorek isi tasnya, sementara aku melihat kebelakang dan memerhatikan kedua temanku yang sedang tertawa-tawa kecil. “Ini. Besok balikin, ya.”

            Tubuhnya tiba-tiba hanya berjarak sekitar 30 sentimeter dariku, aku reflek mundur satu langkah. “Oke. Makasih, Vic.”

            Pelan-pelan langkahku makin ke belakang, lalu langsung berbalik badan dan berjalan ke arah tasku.

          “Jadi gimana, Na?” mereka berdua langsung bertanya sambil berjalan ke arahku tak sabaran. “Lumayan ‘kan?” lanjut mereka.

            “Ah, biasa aja. Gitu doang,” jawabku sedikit melecehkan tantangan mereka. Padahal jantungku berdebar lumayan keras juga.

            Yuni dan Andhina memang selalu mendorong-dorongku untuk lebih dekat lagi dengan Vico. Aku sendiri merasa belum saatnya aku memasukan dia dalam lingkaran intimku, bahkan lingkaran personal. Dia masih jauh di lingkaran publik, harus 45 cetimeter atau lebih.

            Biasanya hanya sebagai objek pemandangan di saat kelas sedang membosankan atau saat dia sedang menjadi pusat perhatian saat tim Voli sekolah kami bermain.

            Aku dan kedua temanku ini juga tidak sedekat itu. Sejarang mungkin aku melakukan kontak fisik kepada mereka, seperti merangkul atau bahkan bertatap mata. Saat berbicara, biasanya mataku terpaku pada batang hidung atau dahi orang lain. Hanya pada Ayah dan Ibu dan kedua adikku saja aku menatap mata.

            Di antara begitu banyak jarak yang bisa kuatur, waktu adalah yang paling kejam. Jaraknya selalu sama, temponya teratur. Terkadang ingin lebih lama di suatu detik yang berharga, namun waktu tetap bergerak dan memakan sebuah peristiwa baru langsung menjadi sejarah. Tidak terasa, waktu membuat jarakku dan Vico menjadi lebih dekat selama dua bulan terakhir.

            Aku bahkan mempercantik diriku sendiri demi mendekatkan jarakku dan Vico. Hari ini ia akan mengajakku untuk nonton berduaan di Mal Pluit. Dia ingin mengajakku masuk ke dalam jarak intimnya, begitu pula dengan aku. Bedanya, ia melakukannya dengan polos dan aku tau apa yang sedang ingin aku lakukan.

            Saat berjalan berdampingan dengannya, jarak kami berdua hampir tidak ada. Terkadang lengan kami berbenturan. Ketika menyebrang jalan, tangannya reflek menggenggam tanganku. Perasaan yang aneh. Begitu baru, begitu kasar telapak tangannya, namun gesturnya lembut sekali. Detik yang ingin sekali kutahan sekuat tenaga, tapi apalah aku ini dihadapan sang waktu yang tak pandang bulu.

            Malam hari itu berjalan dengan luar biasa baik. Mulai dari makan malam, hingga film yang kami tonton, sampai saat ia mengantarku pulang. Perjalanan dari titik nol yang sangat halus menuju klimaks begitu juga saat kembali ke titik semula, seperti parabola yang indah.

            Begitu rasanya punya teman dekat. Jarak yang selama ini kujaga sudah lebur. Masuk ke dalam tahap baru, punya pacar.

            “Ting, gue sekarang punya pacar, lho!” aku dan Hua Ting sedang duduk di teras rumahnya. Hari Minggu yang tenang ini memang sudah biasa kami habiskan bersantai, bersahaja di sini. Jarakku dan Hua Ting tidak pernah berubah sejak dulu, selalu dua badan. Seperti mata yang jaraknya selalu satu mata, begitu kata guru seni di sekolah.

            Tubuh manusia normal itu punya ukuran yang pasti dalam seni lukis klasik. Golden Rule namanya. Tinggi tubuh kita itu sama dengan susunan delapan kepala kita, lalu telinga itu panjangnya dari mata hingga ujung hidung. Kalau semua jarak itu dilanggar, ya sudah pasti manusia itu tubuhnya tidak normal.

            “Hati-hati aja, biasanya orang sakit hati makin gampang kalo udah ga jaga jarak,” balasnya tanpa melihat ke arahku. Di hadapan kami berdua memang ada anak-anak tetangga yang suka sekali bermain sepak bola di jalan depan rumah Ting. Bermodalkan bola plastik dan dua pasang sandal sebagai gawang. Mereka semua selalu menjadi hiburan sore, aku dan Ting seperti sedang nobar (nonton bareng).

            Seperti yang kubilang sebelumnya – dan yang orang lain sudah tau tentang Ting – dia selalu mewanti-wanti dirinya kalau orang lain jangan diberi masuk ke dalam jarak yang terlalu dekat. Aku tidak heran, dulu Ibu juga pernah bilang, lambat laun semua orang akan mengecewakan kamu. Memang sih, Ibu tidak berhenti sampai di situ saja. Ibu juga bilang kalau kecewa itu bagian dari hidup, jadi harus belajar mengampuni orang lain juga.

            Tidak seperti Hua Ting, aku pikir pacaran adalah ide yang bagus. Akhirnya, aku bisa bersama laki-laki yang aku inginkan, yang aku pilih. Beberapa orang berpacaran dengan laki-laki yang memilih mereka, laki-laki yang mendekati dan membuat si perempuan jadi tertarik untuk berpacaran dengan dia. Untungnya, aku tidak.

            Kecewa atau tidak kecewa akan laki-laki ini, kiranya aku bisa memaafkan. Kalau tidak bisa lagi dimaafkan, soreku dengan Ting pasti akan lebih lama, karena aku harus mendengarkan ceramah sambil menarik-narik biji tasbih dan meditasi. Semoga Hua Ting salah.

***

            Cintaku pada Vico teratur. Selalu ada, setiap hari, seperti sinar matahari yang terbit di ufuk timur dan pamer habis-habisan kepada seluruh daratan kota saat siang hari, lalu kembali malu-malu menuju malam di sebelah barat sana.

            Sedang menopang dagu di atas meja kelas, tiba-tiba Vico mencolek dari belakang, “Kirana, nanti malem aku jemput, ya!” bisiknya. “Jangan tanya ke mana,” lanjutnya lagi.

Aku hanya balas mengangguk dan akhirnya memerhatikan Pak Bibit yang sedang menggambar tabel statistik matematika dengan mulut sedikit menganga dan tanganku menggaruk bagian belakang kepalaku. Pikiran ini kutahan-tahan untuk tidak menghayal akan tempat seperti apa yang Vico ingin ajak aku pergi atau apa yang ingin Vico lakukan padaku nanti malam atau makan apa nanti malam.

Satu lagi dari banyak hal yang Ting ajarkan padaku, jangan berekspektasi terlalu tinggi, malah kalau bisa tidak perlu berekspektasi. Biarkan saja semua mengalir sebagaimana realita ingin kejadian itu terjadi. Dalam hal ini, dan kiranya dalam hal ini saja, aku menurut pada sarannya.

Jangan salah, Ting itu tidak asal-asalan. Aku mengerti betul semua maksudnya. Isi pikirannya melebihi usianya yang masih bocah. Hanya saja, cara hidup yang ia pilih sangat dingin. Aku tidak ingin menjadi dirinya. Cinta itu penting dan mendekatkan jarak itu hangat.

Aku jadi ingat akan satu sore ketika kami melakukan hal yang biasa kami lakukan.

“Eh, Na, lu sadar gak kalo di lift, orang semua pada ngeliatin angka lantai doang?”

“Maksud lo?”

“Ya ngeliatin indikator lantai di lift, maksudnya. Trus, gak ngeliat apa-apa lagi selain itu. Gak ngeliat orang lain, biasanya diem. Kecuali kalo kenal, ya.”

“Hmm.. Iya juga ya. Emang kenapa?”

“Soalnya kita orang ada jarak sosial masing-masing. Ya ‘kan gak enak ngelirik-ngelirik. Pilihannya kalo gak ngeliat itu, ya nunduk aja,” Ting tertawa kecil. “Coba aja lu waktu masuk lift ga balik badan, tapi ngarah ke orang-orang. Pasti aneh deh,” lanjutnya sambil tertawa lebih keras.

“Bener juga ya,” sahutku sambil ikut tertawa.

Sampai saat ini, aku masih tidak tahu dari mana ia bisa punya teori-teori seperti ini. Entah buku apa yang ia baca atau dengan teman macam apa ia bergaul, pastinya dengan orang-orang pintar. Aku, si bodoh ini, pengecualian.

Sempat sekali waktu di sebuah mal aku mencoba masuk lift dan tidak membalikkan badanku ke arah pintu lift. Aku dan Vico berhadap-hadapan. Dia menatapku dengan aneh. Kami berdua cekikikan dan aku langsung membalik badanku. Tidak tahan juga, rasanya aneh. Seperti memang seharusnya kita semua balik badan saat masuk lift.

Rasa apapun yang aku miliki terhadap Vico tidak mengubah aturan budaya dan sosial di sekitarku. Jarak kami yang sudah melebur tetap menyisakan ruang untuk kewarasan sosial. Tentu saja aku tidak membiarkan ia menyentuhku di bagian-bagian sensitif, seperti pinggang, paha, dan (apalagi) payudaraku. Sebanyak apapun kami menonton film-film barat, dalam budaya sosial Timur, itu semua masih pantang rasanya.

Ketika satu saat ia mencoba menciumku tepat di bibir, aku langsung memundurkan kepalaku dan mataku melotot. “Eh, eh. Kamu mau ngapain?”

“Em, aku pikir. Em. Eh. Iya. Enggak kok. Enggak jadi,” gumamnya. Vico langsung memundurkan badannya dari sofa. Aku dan dia sedang berada di ruang tamu rumahnya. Siang itu sedang kosong, jadi kami bebas menyalakan TV dengan suara keras dan melakukan hal-hal lain.

Vico salah tingkah bukan main. Ia langsung membicarakan acara TV yang sedang berlangsung, yakni berita siang yang isinya kebakaran gedung di daerah luar Jakarta. Aku sendiri langsung membetulkan dudukku, memakukan pandanganku pada TV. Terberkatilah orang yang menciptakan TV, kiranya dia tahu betapa berfungsinya alat ini dalam suasana-suasana aneh.

Kepalaku langsung berputar-putar, berusaha menguak misteri aneh ini. Kenapa Vico bisa tiba-tiba bergerak ingin menciumku, apa yang barusan aku katakan? Jangan-jangan aku menyentuhnya di tempat-tempat sensitif secara tidak sengaja. Oh, tidak. Salah sinyal, mungkin.

Pikiranku kembali lagi, jauh ke arah utara dari rumah Vico, sekitar tujuh kilometer. Ke rumah besar berisi anak keturunan Tionghoa dengan sensitifitas sosial yang tinggi. Sialan, makiku dalam hati. Teringat jelas dalam otakku. Wajahnya yang belagu itu, bibir kecil dan tipis yang banyak bicara, mata kecil yang memandang orang lain dengan ukuran yang sama, dan rambut jabrik dengan buntut pelitnya.

Pertama kali aku kecewa dengan perlakuan Vico padaku. Namun, kali ini aku maafkan. Sore hari itu aku pulang dalam penyesalan.

***

            Kepercayaan itu harus diraih, bukan diberi. Aku tersenyum sambil telungkup di kasur, masih memikirkan kejadian tadi sore. Kapan ya Vico meraih kepercayaannya?
            
Aku berusaha mencari-cari kejadian saat dia melakukan sesuatu yang membuatku bisa sepenuhnya percaya, namun sia-sia. Apapun yang ia lakukan, ia bisa lakukan karena kepercayaannya sudah kuberi lebih dahulu. Yang duluan naksir, aku. Hm, jelas betul sekarang.

Kubalikan tubuhku telentang. Menimbang-nimbang. Kalau harus menceritakan ini ke Ting, sisi positifnya pasti tidak sebanding dengan sisi negatifnya. Kalau cerita ke Ayah dan Ibu, ah, kalau yang ini tidak perlu timbang-timbang lagi. Sudah pasti jawabannya tidak. Yuni dan Andhina mungkin bisa diajak bicara.

“Trus, trus? Gila lo! Nolak Vico? Buset deh! Gue aja deh yang dia cium,” mulut Yuni langsung bercuap-cuap seperti pantat ayam, tidak berhenti-henti. Membuat pagi hariku tidak tenang.

“Eh, jangan ngawur lo. Bisik-bisik aja, kenapa? Malu kali di denger orang,” sambarku sambil menutup mulutnya dengan tanganku. Lama-lama diperhatikan, bibirnya bikin geli sendiri. Monyong-monyong tak karuan.

“Eh, tapi,” Andhina berbisik pelan. “Si Yuni ada benernya juga. Gila lo nolak Vico! Trus gimana?”

“Ya gak gimana-gimana amat. Abis itu yang ngobrol biasa, nyantai aja kali. Yang pacaran siapa, eh yang panik malah lu berdua.”

“Ya kita berdua khawatir aja, kirain sampe putus,” balas Andhina masih berbisik. Yuni hanya mengangguk pelan sambil melirik ke Andhina, mulutnya masih kutahan dengan tanganku.

“Enggalah. Yang pasti hubungan gue sama Vico batasan jaraknya jelas. Ga boleh bablas, titik.”

***

            Denyutnya sudah berubah, tidak lagi teratur. Seperti orang yang lomba lari di tanjakan. Cepat, namun ingin melambat. Lelah sekali, tapi sayang kalau kalah. Tidak apa kalah, yang penting selesai dengan terhormat. Pastinya tidak boleh menyerah. Sekarang bukan saatnya untuk berkata tamat.

            Kagetnya memang di luar dugaan. Sakitnya tidak lagi bisa ditahan. Setiap hari, pilu hati ini menjadi beban. Dalam kepalaku ada bunyi riuh tepuk tangan. Sebuah salut kepada Ting yang benar. Aku harus kembali berguru padanya dengan tubuh setengah hancur.

Ampun, Hua Ting yang cerdas, ini diriku. Kiranya sudi ditampung. Ajari lagi tentang betapa kerasnya dunia pertemanan yang kau ajarkan dulu. Supaya ilmunya rampung. Kali ini jangan tanggung-tanggung.

Patah hati itu seperti babi, ya, Hua Ting. Hanya mau makan, tidur, dan mengorok sepuasnya. Atau seperti orang tua yang katanya mencari uang pakai tulang yang dibanting-banting. Sakit sekali, ya?

            “Ah, lu. Maklumlah, baru pertama kali. Untung aja Cuma pacaran. Coba kalo lu sama dia bisnis. Ga Cuma sakit hati, Na. Uang lu juga ludes, kira-kira begitulah,” Ting mencoba memberi penjelasan yang sama sekali tidak melegakan hati.

            “Ga tau diri! Udah bagus gue kasih masuk di jarak yang deket banget, eh minta-minta masuk lebih dalem. Giliran gak dikasih, eh, malah pergi keluar petantang-petenteng.”

            “Pengalaman hidup, ya gak?”

            “Ga adil, ah. Pengalaman lo mana, Ting? Sok tau soal hal kayak gini, padahal lo ga pernah ngerasain.”

            “Ya buat apa dirasain kalo udah tau bakal ga enak? Gelo eta mah,” lagaknya meniru-niru orang Sunda, etnis paruhannya.

            Sore hari itu, kami akhiri dengan tidur telentang di atas rerumputan hijau halaman depan rumah Ting. Sedang bulan puasa, tidak ada anak-anak yang bermain bola menjelang adzan Maghrib. Nanti cepet haus, kata salah seorang anak. Langit berwarna biru cerah dan awan membumbung seperti membentuk ombak di lautan. Tandanya ikan sedang banyak di pantai.

           “Na, lu pasti sadar deh kalo kita jaraknya selalu dua badan. Ya, kan? Nah, lu tau ga kenapa?” Ting bertanya tanpa menoleh ke arahku.

            “Karena kita bukan BFF?” candaku. Kami berdua tertawa saat itu juga.

          “Bukan, bukan. Kalo kita bukan BFF ya, lu orang ga akan masuk dan injek rumput di rumah gue. Bener deh,” katanya masih sambil sedikit tertawa. “Jadi, satu badan tuh karena lu cewe. Kalo lu cowo, pasti jarak kita setidaknya satu badan. Terus, satu badannya lagi karena kita ga sedarah. Bukan karena lu Ti Ko, maksud gue. Lu ngerti lah,” jelasnya.


            Setelah selesai bicara, dia menengok ke arahku. Aku langsung mengangguk pelan sambil masih menikmati matahari terbenam dan awan berombak. Berandai apa yang terjadi kalau langit langsung jatuh.

            “Eh, Ting. Jarak kita ke langit kenapa jauh? Ada teorinya ga tuh?” aku bertanya di tengah perenunganku.

            “Soalnya di atas itu surga. Isinya Dewa, Tuhan, Allah. Mereka itu suci, gak kayak kita. Jadi, mereka bikin jarak jauh-jauh. Kita nih kotor,” jelasnya.

            “Coba aja jaraknya langit deket sama kita, asik kali ya. Bisa pegang-pegang awan. Penasaran deh gue.”

            “Ga usah ngebet. Mana mau mereka. Mereka ‘kan gak bego.”
            
Kepalaku langsung menoleh ke kiri dengan cepat. Mataku menatap kosong pada wajah bagian kanannya. Ingin tertawa, namun aku tahu ia benar.

---