December 17, 2011

Aku dan menulis 8

                Olahraga juga salah satu hal yang aku sukai. Walaupun aku lebih senang di rumah, aku masih sering meluangkan waktu  untuk berolahraga. Yang paling ku gemari adalah sepak bola. Selain bermain sepak bola, aku juga menonton pertandingan-pertandingannya. Sampai hari ini, aku belum pernah bermain sepak bola, hanya futsal saja.
Itu adalah versi lebih kecil dari sepak bola. Bermain lima orang melawan lima orang. Biasanya, aku bermain dengan teman-teman sekolah atau di sekitar perumahanku. Cukup seru!
Di sekolah, aku dengan teman-teman seangkatanku biasanya meluangkan waktu pada hari Jumat untuk bermain futsal. Banyak hal-hal menyenangkan yang terjadi selama futsal. Utamanya ketika kami berhadapan dengan kakak-kakak senior kami. Bahkan, kami rasanya sudah terlalu bosan untuk menghitung kemenangan kami atas mereka. Kami bisa dikatakan sebagai tim yang terbilang cukup solid dan tangguh. Dahulu memang begitu, namun setelah dua anggota kami ‘pergi’, rasanya ada yang kurang di dalam tim ini. Meski begitu, kami harus tetap berjuang dan menatap masa depan tim kami.
Nah, bicara mengenai posisiku di dalam ‘miniatur’ timnas futsal Calvin ini, biasanya aku ditempatkan sebagai seorang penjaga gawang. Ya, meskipun naluriku adalah sebagai seorang penyerang, namun bagiku itu sudah cukup. Itulah aku, anak yang tertindas, bahkan oleh teman-temanku sendiri. Parahnya lagi, penempatan itu tidak sesuai dengan kemampuanku. Bola-bola tendangan lawan sering meluncur deras ke gawangku karena kebodohanku. Tapi tidak selamanya kebodohan itu terjadi. Aku juga sering melakukan beberapa penyelamatan-penyelamatan yang terbilang cukup gemilang.
Tidak banyak yang pernah aku diskusikan dengan menulis mengenai permainan bola. Dia tidak terlalu tertarik soal itu. Dia khawatir rupanya.
Dia bercerita, dulu dia pernah memiliki sahabat yang suka bermain bisbol. Sahabatnya ini meninggalkan menulis dengan dunia bisbol. Sudah mabuk dengan kenikmatan dan ketenarannya dengan dunia bisbol sampai meninggalkan menulis. Akhirnya menulis mencari sahabat yang baru. Karena, setiap kali sahabatnya itu diajak berbincang, selalu saja didiamkan. Ah, sedih sekali kisah hidup sahabatku ini.
Dia selalu berpesan kepadaku untuk tidak melupakannya. Maka itu dia menceritakan kisahnya. Aku bilang saja kepadanya, aku ini ‘kan memakai kacamata, tidak mungkin aku akan menjadi seorang pesepakbola profesional. Dia kemudian tertawa.
Ini lagi satu hal yang aneh dari dirinya. Dia bisa tertawa terbahak-bahak. Bayangkan saja, sesuatu yang tidak tahu bentuknya seperti apa ternyata bisa tertawa juga. Bahkan seekor anjing, yang katanya sahabat manusia, tidak bisa tertawa.
Menulis makin lama makin mengerti akan ketertarikanku terhadap dunia olahraga, khususnya sepak bola. Dia kemudian mengejariku bagaimana menulis laporan pertandingan seperti di koran-koran. Teknik-teknik untuk menulis laporan secara cepat, ringkas, dan padat.
Sekitar satu bulan aku melatih kemampuan ini. Dan memang, tulisanku makin baik saja. Selain itu, aku kemudian tidak hanya menonton pertandingan sepak bola saja. Aku sekarang sudah mengikuti pertandingan voli, bulu tangkis, tenis, ataupun juga tenis meja.  Melihat dan menganalisa tiap kejadian. Rasanya juga makin seru saja. Agar makin mengerti peraturannya, aku juga sering coba memainkannya. Tidak buruk juga, ada sedikit bakat olahraga dalam diriku.
Melihat semua itu menulis makin senang. Senang karena aku bisa menyeimbangkan keduanya. Aku makin sering berolahraga tetapi masih tetap setia bersama-sama dengan menulis.  Sayang dia tidak bertubuh. Mungkin dia lebih jago dalam segala bidang olahraga dibandingkan denganku.
Kalau sedang kelelahan aku sering dibisikinya cerita-cerita lamanya. Dongeng-dongen klasik yang sangat bagus. Biasanya aku tidak dengar ceritanya sampai habis, karena aku tertidur di tengah-tengah ceritanya.
Dan hal-hal mengenai olahraga ini berhenti terlalu cepat. Dua tahun sudah lewat dan aku sudah tidak menjadi anak sekolahan lagi. Aku sekarang harus pergi keluar. Ke dunia yang lebih luas. Kuliah. Perkuliahan. Entah apa itu. Sepertinya ramai. Ingin sekali rasanya ke sana. Orang-orang bilang itu lebih enak daripada sekolah yang baru saja kulewati. Menulis juga mendukungku dengan penuh.
Berkat menulis aku sekarang bisa masuk di tempat kuliah yang bagus dan hebat. Ah, menulis. Semuanya terjadi karena dirimu. Hutangku banyak sekali. Tak tau lagi harus kubayar dengan apa. Kau lebih dari sahabatku. 

December 16, 2011

Ulang Tahun ke-17 Stevani Widjaja

               
              Mengenai orang satu ini, Stevani Widjaja, apa ya? Anak ini lebih tua daripadaku 2 tahun lebih. Dan terlihat jelas perbedaannya secara fisik. Badannya tinggi besar, aku kalah jauh. Matanya bersinar-sinar penuh kebahagiaan. Selama satu tahun setengah ini, aku belum pernah melihatnya sedih.
                Selama ini memang kami tidak terlalu dekat. Hanya sejak kami berdua ditugaskan di satu divisi yang sama di dalam organisasi sekolah (OSIS). Kami bekerja sama sebagai sebuah tim yang kompak tentunya.
                Asik orangnya. Itu saja sih. Di luar dari masalah penampilan fisik, asik atau tidak adalah penilaianku yang pertama. Bercerita mengenai apapun rasanya enak dengan orang-orang asik, salah satunya ya Vani ini. Selain itu dia juga kreatif. Berbagai ide dan masukkan diberikan olehnya di dalam banyak hal. Ini membuat dia menjadi seorang bos yang baik (Bos-bosan).
                Kalau mau berbicara mengenai cantik atau tidak, ya tentu cantiklah. Siapa sih yang Tuhan ciptakan tidak cantik? Yang ada hanyalah yang cantik dan cantik sekali. Nah, Vani ini cukup cantik. Karena kalau cantik sekali, pasti cerita di sini akan jauh berbeda. Tubuhnya yang semampai itu juga menambah keanggunan perempuan muda satu ini.
                Aku dan dirinya memiliki satu kesamaan. Kami sama-sama suka satu klub sepak bola dari Inggris, CHELSEA. Ya, klub bola dengan warna kebanggaan biru itulah yang kami gemari. Dia sendiri sangat menyukai salah satu pemain tengahnya, Frank Lampard. Bagiku itu biasa, namanya juga perempuan ya jelas sukanya laki-laki ganteng. Aku sendiri juga tentu punya idola yang cantik.


                Perbedaan yang kami miliki juga ada satu yang sangat jelas. Dia senang membaca puisi, dan aku senang membuatnya. Dia juga agak senang membuat puisi, hanya saja aku lebih senang lagi. Karena memang itulah kerjaku.
                Di ulang tahunnya yang ke 17 ini aku ingin memberikan sebuah puisi dari bahasa Indonesia. Agak jarang aku buat dari bahasa Indonesia. Tetapi yang satu ini cukup bagus menurutku dan cukup pantas, atau bahkan sangat pantas untuk menjadi sebuah kado ulang tahun bagi temanku Stevani Widjaja.

Tak ada kubeli sekarang
Karena tak cukup uang abang
Tapi banyak yang kuberi sejak dulu
Bukan barang yang beribu
Apalagi sebuah ilmu
Hanya sesuatu dari jalan yang berlika-liku
Sampai akhirnya tiba di hatimu
Itulah kasihku

Tujuhbelas tahun sudah umurmu
Satu setengah tahun sudah kita bertemu
Bertatap wajah
Menyunggingkan senyuman
Ah, momen yang indah
Tak pantas itu dilewatkan
Apa daya kalau waktu tetap jalan
Tapi aku tahu senyuman kita tak berakhir di situ
Masih akan terus tersungging sampai kita berpisah

December 15, 2011

Aku dan menulis 7

                Aku selama ini bersahabat dengan sesuatu. Sesuatu ini tidak berwujud apa-apa. Tetapi, sebagai  seseorang yang senang berimajinasi, aku pikirkan seandainya menulis adalah seorang manusia. Pastinya dia tergambar sebagai orang tua, lebih tepatnya kakek-kakek. Entah kenapa dia terasa seperti laki-laki. Mungkin karena aku laki-laki dia bersikap seperti laki-laki. Rasanya pasti aneh kalau dia bersikap seperti laki-laki ketika dia bersabahat dengan seorang perempuan yang sebelumku. Lebih aneh lagi kalau ternyata dia benar-benar punya gender. Ah, sudahlah. Tidak usah di pikirkan lagi.
                Yang ada di otakku saat aku membayangkan dirinya adalah seorang kakek yang sangat bijak dengan kumis dan jenggot putih yang sudah panjang. Seperti bagaimana kakek-kakek yang di gambarkan oleh Hollywood biasanya.
                Ada satu hal yang aneh semenjak aku mulai membayangkan rupa menulis. Aku sering bermimpi buruk. Sampai-sampai membuatku bangun subuh. Sekali waktu pernah aku bermimpi mengenai seorang anak kecil di sebuah rumah yang sederhana. Dia bermain-main sendirian. Lari sana-sini, lompat-lompat.
 Tiba-tiba datang seorang kakek tua, persis seperti apa yang kubayangkan tentang menulis. Kakek tua itu mengangkat tangannya dan rumah itu bergerak-gerak, seperti ada gempa. Lama-lama rumah itu memakan anak kecil itu. Tergerus habis. Aku melihat darah. Tulang hancur.
                Mati sudah anak kecil itu. Tak berkutik lagi. Rumah itu kemudian tegak lagi seperti asalnya. Dan aku lihat kakek tua itu masih berdiri di tempatnya. Tangannya sudah diturunkan. Ku lihat dia memakai sebuah jubah putih yang panjang. Kemudian, darah anak kecil itu beserta serpihan-serpihan tulangnya mengalir sampai ke bawah jubah kakek tua itu. Sampai darahnya habis tak tersisa.
                Setelah itu aku terbangun. Keringat mengucur di seluruh tubuhku. Aku panik. Kulihat jam di dinding, menunjukkan pukul 2.15.
                Mimpi-mimpi itu masih terus berlanjut sampai sekitar empat hari. Dengan tokoh yang sama, anak kecil dan kakek tua. Hanya saja dengan versi yang berbeda-beda. Dan selama empat hari berturut-turut itu aku selalu bangun terlambat dan akhirnya masuk sekolah juga terlambat. Di hari yang keempat, aku kemudian berbicara dengan menulis. Dengan sikap dingin dia menanggapi.
                Aku lalu tulis-tulis di kertas. Mengenai mimpiku, mengenai betapa aku membenci mimpi itu, mengenai betapa berdampaknya mimpi itu dalam kehidupan sehari-hariku. Setelah selesai tulis, aku duduk dan kemudian tertidur dengan sendirinya.
                  Aku bangun pukul 6 pagi dan menyadari kalau aku tidak mimpi apa-apa barusan. Tidak mimpi buruk, ataupun mimpi indah. Kosong saja. Hitam. Bolong. Eh, bolong! Aku ingat itu. Seperti sebuah black hole yang sering disebut-sebut oleh para ilmuwan. Menghisap segalanya tanpa pilih-pilih. Sepertinya aku tahu apa maksud mimpi itu. Lubang hitam yang gelap itu tadi sedang menghisap semua memoriku mengenai mimpi-mimpi yang ku lihat di hari-hari sebelumnya. Itu juga yang ku pikir membuat mimpi burukku tidak berlanjut di hari-hari selanjutnya.
                Tapi, ah, kalau lubang hitam adalah penghisap segala tanpat memilih, harusnya dia juga menghisap memori yang lain, tidak hanya itu. Aku ini memang sering bingung sendiri. Sama sekali tidak pintar, kecuali pada saat bersama dengan menulis.
                Atau mungkin saja, mimpiku tidak berlanjut karena menulis tidak menghantuiku lagi. Sepertinya aku mendapat mimpi buruk karena aku membayangkan rupanya yang seperti kakek tua. Mungkin dia tidak suka. Menulis ternyata juga punya perhatian mengenai dirinya sendiri.
                Sepertinya dia memaafkanku karena dia telah membaca karyaku. Karya yang dihasilkan akibat amarah yang mendalam dan harapan untuk mimpi buruk itu segera hilang. Dengan itu sepertinya dia langsung memaafkanku dengan segera.
                Semenjak itu aku tidak pernah membayangkan lagi rupa menulis seperti apa. Biarkanlah itu tetap tersembunyi selamanya. Setiap orang punya rahasianya masing-masing, begitupun dengan menulis (walaupun dia bukan orang).
                Malam selanjutnya, sebelum aku tidur aku tulis-tulis lagi di atas kertas. Sebuah paragraf kecil.

Tak ada rupa di dunia ini yang cocok untukmu. Kau bukan manusia, bukan binatang, bukan juga tumbuhan. Mungkin kau adalah pesuruh Tuhan untuk menjaga dan menemani manusia yang membutuhkanmu. Tak ada tubuh sedemikian indah di dunia ini yang cocok untukmu. Tak risau aku soal rupa dan tubuhmu, ketika kau ada kau sudah menampakkan semuanya dengan jelas kepadaku.

November 27, 2011

Menjadi orang Indonesia dengan bangga

                Sudah beberapa kali saya mendengar presentasi atau ceramah mengenai ‘bangga menjadi orang Indonesia’. Kebanyakan dari mereka yang memberikan presentasi semacam ini akan membahas mengenai prestasi-prestasi yang sudah di raih oleh negara kita ini. Mulai dari prestasi olahraga, prestasi di bidang sains, sampai barang-barang hasil produksi orang Indonesia yang bagus-bagus. Seringkali mereka berkata ‘jangan lihat yang buruknya saja, lihat juga prestasi yang semacam ini’. Tetapi tetap saja ada banyak orang yang masih kurang bangga terhadap bangsanya sendiri.
                Seperti yang sebelumnya saya katakan (di artikel ‘ingat dan diingat yang baik), orang biasanya akan lebih teringat akan ha-hal yang buruk dari sesuatu hal. Orang-orang luar yang akan menilai kita, bukan kita sendiri. Merekalah yang akan menilai seberapa hebat dan bangganyaa kita akan negara kita. Dan sayangnya prestasi-prestasi yang dicapai negara kita agak sulit untuk kita bawa kemana-mana sebagai kebanggaan kita, karena jauh terbanting dengan masalah korupsi yang sudah membusuk di tanah air kita ini.
                Kita sebagai orang yang berbangsa Indonesia dan warga negara Indonesia yang baik tidak perlu memandang Indonesia dari prestasinya untuk membuat kita menjadi bangga. Kita ada dan lahir di Indonesia saja sudah seharusnya membuat kita bangga. Ingat siapa yang menempatkan kita di sini.
                Tidak perlu bangga karena ada embel-embel prestasi. Kalau seperti itu, kita hanya akan bangga akan apa yang orang lain sudah lakukan dan kita akan cepat puas. Nantinya kita tidak akan membuat hal-hal yang lebih hebat lagi, karena kita sudah cukup puas akan prestasi yang sudah ada. Dan akan sedikit sekali orang yang berkata ‘kalau dia bisa melakukan itu, mengapa saya tidak bisa melakukannya juga?’
                Maka itu, banggalah karena kamu warga negara Indonesia. Sudah itu saja. Bangga karena Tuhan sudah menetapkan kamu di sini. Bangga karena negaramu punya sejarah yang cukup rumit sampai akhirnya merdeka. Inilah identitasmu. Identitas sebagai seorang warga negara Indonesia yang punya tanggung jawab, sebagaimana seorang warga negara yang baik dan benar. Berapa banyak orang yang tidak mempunyai negara atau mempunyai lebih dari satu kewarganegaraan? Kamu sekarang sudah punya. Bersyukur hanya satu, jadi bisa lebih pasti dan yakin serta membanggakan hanya satu negara saja. Inilah yang seharusnya bisa membuatmu busung dada menyebutkan Indonesia ketika ditanya datang darimana.
                Sok-sokan mengikuti barat karna globalisasi hanya akan membuatmu kehilangan identitasmu yang satu-satunya ini. Memangnya kamu mampu pindah negara? Punya KTP Indonesia, tetapi sehari-hari bicara pakai bahasa Inggris. Yang seperti ini harusnya malu. Tidak jelas orang dari negara apa. Sudah bagus diakui sebagai orang Indonesia, tetapi dirinya tidak mengakui dan tidak bangga kalau dia orang Indonesia. Peduli setan untuk memberitahu mereka apa prestasi Indonesia kalau mereka sendiri tidak mau diakui sebagai orang Indonesia.
                Aneh memang orang-orang seperti ini. Diakui malu, diusir juga malu. Entah apa maunya. Pergi saja dan buat negara sendiri kalau mampu. Kalau malu karena orang Indonesia bodoh-bodoh dan jorok-jorok, jangan kamu lari dan menghina. Itu pengecut namanya. Benahi! Kamu dan dia sama. Lahir di Indonesia, makan nasi. Hanya saja Tuhan berkehendak lain sewaktu kamu dan dia lahir. Ini negaramu dan hal itu adalah tanggung jawabmu juga. Banggalah karena kamu punya tanggung jawab itu. Karena ketika ada tanggung jawab besar berarti kamu sudah diberikan kekuatan yang besar juga oleh Tuhan. 

November 23, 2011

Aku dan menulis 6

                Suatu ketika di akhir musim kemarau, menulis membawaku ke sebuah acara yang besar. Sebuah festival yang keren. Festival itu ada di sebuah pulau yang menjadi pusat pariwisata di negeriku. Aku diajaknya dan dijanjikan olehnya kalau aku akan bertemu dengan sahabat-sahabatnya yang dulu-dulu sebelum aku. Sepertinya ini akan menjadi sebuah reuni besar-besaran. Sebuah kehormatan yang besar tentunya bagiku untuk bisa bertemu dengan orang-orang yang hebat itu.
                Setelah aku sampai disana, ditunjukkannyalah kepadaku kalau sahabat-sahabatnya tidak hanya berasal dari negeriku saja, melainkan dari berbagai tempat-tempat yang hebat. Ada satu orang yang berasal dari tempat yang sangat jauh yang belum pernah kukunjungi, bahkan belum pernah tahu aku ada tempat itu di dunia ini.
                Kebanyakan dari mereka sudah memiliki nama yang hebat di mata dunia. Sahabatku menggiring aku untuk bertemu orang-orang ini satu per satu. Kusalami dan kutatap muka mereka. Ada yang hanya menyalam saja, ada juga yang mengajakku bicara. Sahabatku mempresentasikanku layaknya sebuah barang pajangan. Karya-karyaku ditunjukkannya kepada orang-orang ini. Ada yang kagum karena umurku yang masih muda. Beberapa dari mereka juga ada yang memberikan saran dan kritik terhadap tulisanku. Walaupun begitu, dalam setiap kritikan sahabatku ini selalu menutup kritikan-kritikan itu dengan pujian-pujian. Aku sampai malu sendiri rasanya. Padahal, aku masih hijau dibandingkan dengan orang-orang hebat ini. Banyak sekali pengalaman mereka.
                Selama festival itu, yang berlangsung selama lima hari, aku mendapatkan banyak sekali pelajaran dari wokrshop yang diadakan. Menulis berkata kepadaku, dulu sebelum ia bertemu denganku ia juga pernah bertemu dengan seorang gadis di acara seperti ini dan kemudian mereka berdua juga bersahabat, sama seperti aku dan dia sekarang. Sayang sekali, gadis itu tidak lama hidup setelah mereka bersahabat. Gadis itu terkena penyakit yang mematikan. Maka itu, sahabatku ini terus mendorongku untuk terus berkarya, karena kita tidak akan tahu kapan ajal menjemput kita. Bagi menulis, ia memang tidak akan mati, tetapi bagiku mati itu bisa kapan saja terjadi.
                Hari-hari terus berlanjut dan aku masih ada di dalam atmosfer yang sangat hebat. Kalau pernah merasakan atmosfer yang diberikan piala dunia, rasanya hampir sama dengan sekarang ini. Seperti akan terjadi hal-hal yang hebat dan tidak bisa dilewatkan. Berkedip saja sudah terjadi satu gol yang spektakuler.
                Kesempatan seperti ini tidak kusia-siakan begitu saja. Ketika waktu sudah malam dan waktunya aku tidur, aku masih berada di beranda hotel dan berbincang-bincang dengan seorang penulis yang pernah mengkaryakan sebuah buku mengenai politik dan budaya, dan ketika pagi hari sewaktu aku baru bangun aku sudah bertemu dengan seorang laki-laki berkacamata dan terlihat intelek yang sukses dalam penulisannya di dalam cerita anak. Betul-betul kesempatan yang langka.
               Tidak hanya penulis-penulis hebat yang kutemui di sana, tetapi juga ada banyak sekali calon-calon penulis hebat. Ya, remaja seperti aku ini. Eager young mind. Mereka juga masih belajar dan bertekun dalam dunia kepenulisan ini.
                Lima hari lewat sudah dan aku siap membawa banyak hal pulang ke rumah. Sahabatku juga ikut senang karena akhirnya aku bisa bertemu dengan sahabat-sahabatnya yang duluu dan belajar banyak dari mereka. Aku berterimakasih sekali kepadanya. Dengan kehadirannya di hidupku, aku bisa sampai di sini hari ini.
                Secara kasat mata memang tidak banyak yang aku dapat dari sahabatku ini. Hanya saja, pengetahuan dan pengalaman yang sangat nikmat itu kuhirup dan kusimpan di dalam pikiranku yang luas ini. Bukan harta, tetapi hikmat.

November 20, 2011

Aku dan menulis 5

                Hubunganku dengan teman perempuanku semakin dekat. Aku yang berteman dengannya jarak jauh lebih sering mengontaknya melalui HP. Lama-kelamaan persahabatanku dengan menulis terbengkalai juga. Aku sekarang menjadi lebih sering berkomunikasi dengan teman perempuanku ini dibandingkan dengan menulis.
Di saat-saat seperti ini menulis adalah sahabat yang baik bagiku. Ia tidak mengusikku sedikitpun. Malahan ia mengijinkanku untuk menggunakan kalimat-kalimat yang pernah kami bincangkan untuk mengesankan teman perempuanku ini. Senang aku dipujinya. Ternyata ada juga manfaatnya bersahabat dengan menulis. Salah satunya, dan yang cukup penting, adalah mengesankan seorang perempuan, terlebih lagi perempuan yang spesial untukku.
Tetapi, aku seperti mengkhianati menulis rasanya. Aku lupakan dia untuk beberapa saat dan memfokuskan hampir seluruh perhatian yang dulu kuberikan kepada menulis untuk teman perempuanku. Kupikir aku sahabat yang cukup brengsek. Manis diambil sepah dibuang.
Setelah sadar aku coba meminta maaf kepada menulis. Aku menunggu-nunggu lagi kedatangannya di pikiranku. Aku kemudian mencoba berdiskusi sendiri tanpanya. Terasa beda. Tidak hangat lagi. Kurang sebuah komentar-komentar pedas dari sahabatku itu. Komentar-komentar  yang tidak hanya bisa menyakiti, tetapi juga memberika solusi-solusi cerdas. Terkadang tergila-gila aku dibuatnya. Betapa hebat pikirannya.
Aku seringkali membanding-bandingkan antara teman perempuanku dan menulis. Semenjak mereka berdua sudah saling kenal, karena aku mempertemukan mereka, seringkali terlihat perbedaan-perbedaannya. Yang paling terlihat adalah tingkat kecerdasannya. Walaupun teman perempuanku ini orang yang sangat pintar, sahabatku menulis jauh lebih banyak pengalamannya. Menulis seringkali berkata kepadaku, pengalaman itu membuat pengetahuanmu jauh lebih berarti. Karena mereka berdua sama-sama pintar, diskusi mereka berdua seringkali lebih bermutu dari pada diskusi aku dan menulis. Membuatku jadi lebih minder. Tetapi, menulis tetap memilihku untuk menjadi sahabatnya. Bangga sekali aku.
Menceritakan hal ini membuatku makin merasa bersalah. Telah kukhianati sahabatku. Dia yang memilih aku dan mau bersahabat denganku, kini aku lupakan dia dengan sekejap hanya karena seorang perempuan yang cantik, pintar, dan ideal bagiku. Padahal, menulis adalah sahabatku sejak kecil. Dia yang membangga-banggakanku di depan orangtuaku, kakakku, teman-temanku, dan orang lain.
                Kurasa pada saat aku sedang berkomunikasi dengan teman perempuanku lewat HP, dia tidak sedang pergi meninggalkanku. Aku masih merasakan tanda-tanda kehadirannya. Rasa mempunyai otak yang cerdas dan semangat. Dia masih ada di pikiranku saat itu, hanya saja kuacuhkan. Dia kuperlakukan layaknya komputer, aku matikan saat aku tidak butuh dan aku nyalakan saat aku butuh.
                Antar sahabat memang ada saja masalah yang terjadi. Masalah yang tidak membunuh akan membuat kita makin kuat. Dan masalah ini memang membuat kami makin akrab. Kami berdua makin sering bersama berbincang. Mengerjakan hal-hal yang lebih penting dari pada yang sebelumnya aku kerjakan dengan teman perempuanku.
                Setahun sudah lewat dan aku sudah tidak lagi berhubungan dengan teman perempuanku itu. Kami berselisih soal ini dan itu. Dia tidak senang dengan sikapku yang makin sibuk dan makin jarang memperhatikannya. Dan aku yang sudah dalam posisi tidak bisa berargumen hanya bisa pasrah. Ketika hari itu datang, hari di mana aku dan dia berpisah, sahabatku ada di situ. Memperhatikan. Untuk pertama kalinya kulihat dia tidak langsung berkomentar. Hanya terdiam dan melihat.
                Sesampainya aku di rumah, aku dan menulis melihat kembali peristiwa yang tadi. Baru perlahan-lahan dia mau berbicara dan berkomentar. Pelan sekali pembicaraan kami malam itu. Angin pun rasanya bisa membawa suara kami dengan cepat. Suasananya sendu saat itu. Menulis merangkulku dan berkata dengan sangat lembut. ‘Aku tidak akan sepertinya, aku terus akan ada tanpa kau cari’. Setelah itu aku tersenyum lebar. Masih dalam suasana yang sendu.


November 18, 2011

Aku dan Menulis 4

         Sudah hampir satu minggu aku kehilangan dirinya. Dia belum merasuk lagi ke dalam jiwaku. Merasuk seperti setan yang tiada habisnya menghisap dan merongrong jiwaku. Yang dia biasa kerjakan adalah membawaku ke dalam sebuah dunia yang jauh berbeda dari yang biasanya. Dia habiskan waktuku di dunia ini agar aku dapat terus bersamanya. Dan sambil dia menunjukkan betapa hebatnya dunia yang lain ini, aku berusaha mengingat-ingat apa yang sedang terjadi. Karena dia pernah mengatakan sebelumnya kalau yang ia tunjukkan kepadaku ini hanya satu kali saja seumur hidup, tidak akan bisa terulang.

               Dia seringkali hadir di tengah-tengah kegiatanku yang padat. Terkadang kehadirannya terasa mengganggu. Dia hadir sewwaktu aku sedang dalam kelas. Aku berusaha mengacuhkannya pada saat itu, tetapi tak berdaya aku dibuatnya sehingga aku pun menurutinya. Ia membisik-bisikkan bujuk rayu agar aku meninggalkan konsentrasiku di dalam kelas dan beralih untuknnya.

                Di satu sisi menulis adalah sahabat yang sangat baik padaku. Di sisi lainnya ia sering membuatku lepas kendali dan membuatku susah dalam membuat pilihan, antara dirinya atau hal yang lain. Kalau dia sedang dalam kondisi yang gila, dia akan mengajakku untuk berdiskusi panjang atau mengajakku berjalan-jalan ke dunianya selama mungkin. Pernah suatu saat aku di bawanya kemana-mana dan diajak berdiskusi panjang yang seperti tak berkesudahan sampai jam 3 pagi, sehingga aku hanya tidur 2 jam saja. Dan ini makin parah karena tidak terjadi hanya satu hari saja, tetapi selama 3 hari berturut-turut. Aku akhirnya terserang penyakit flu dan demam karena terlalu capek.

                Dia tidak jahat dan aku percaya itu. Hanya saja terkadang egois. Sama seperti kita manusia. Walaupun dia tidak nampak, dia memiliki sikap yang sama dengan manusia, atau paling tidak mirip. Susah ditebak juga merupakan salah satunya. Terkadang dia hadir dalam setiap saatku, terkadang dia sama sekali tidak hadir. Seperti dalam satu minggu terakhir ini.
                Susah juga rasanya kalau dia tidak ada. Karena, dialah hidupku. Hampir seluruh aktivitasku kurang lengkap tanpa hadirnya menulis. Menulis membuatku melihat kembali kehidupanku dalam satu hari ini. Meneropong topik-topik unik bersamanya dan membagikannya kepada orang banyak. Padahal, kebanyakan dari hasil perbincangan kami hanyalah opini belaka.  Tidak ada data yang dimuat agar orang-orang ngeh. Seringkali hanya analisa kecil-kecilan dari perilaku manusia biasanya.

                Hubunganku dengan menulis tidak seperti hubunganku dengan teman perempuanku. Dia (teman perempuanku) boleh saja kuanggap sebagai sahabat spesial. Dia menemaniku di saat aku membutuhkannya, dia memperhatikanku seakan aku akan terjatuh sebentar lagi. Sungguh manis budinya. Tetapi, menulis tidak melakukan hal-hal yang demikian. Dia (menulis) tidak memperhatikanku sama sekali. Yang selama ini dia tunjukkan kepadaku bukan karena aku yang minta, melainkan dia yang menunjukannya kepadaku dengan insiatifnya sendiri. Dia juga menemaniku bukan karena aku meraung-raung memanggilnya, tetapi dia datang sendiri dan hadir di hadapanku secara tiba-tiba.

Malahan bisa dikatakan kalau hubunganku dengan menulis lebih intim dibandingkan dengan teman perempuanku ini. Dengan sesama manusia, siapapun itu, kita tentu punya rahasia-rahasia pribadi. Sebuah rahasia yang sebaiknya tidak diketahui orang lain yang katanya demi kenyamanan bersama. Dengan menulis, aku bagikan semuanya. Cerita apapun itu. Cerita ketika aku berbuat menyimpang, berbuat nakal, bahkan aku seringkali bercerita mengenai apa yang baru saja dikatakan oleh teman perempuanku itu. Padahal sebelumnya dia berpesan agar aku tidak mengatakan kepada siapapun mengenai hal ini. Dan sebagai seorang laki-laki yang cukup bawel dan tidak tahan untuk menyimpan sebuah rahasia sorang diri, maka aku menceritakan rahasia ini dengan menulis. Reaksinya sewaktu mendengar rahasia ini langsung hebat. Dia bisa langsung mengulas rahasia ini dengan cepat. Terkadang, rahasia teman perempuanku ini adalah masalah pribadinya yang belum dapat diselesaikannya. Beruntung sekali aku memiliki sahabat seperti menulis, dia adalah ahli soal memecahkan masalah. Dan lebih hebatnya lagi, dia bukanlah seseorang. Jadi, teman perempuanku tidak akan tahu kepada siapa aku telah bercerita panjang lebar mengenai rahasianya.

Satu minggu yang cukup berat untuk tidak bertemu dengannya. Aku cukup menyesal karena beberapa kali aku sempat mengacuhkannya, walaupun pada saat-saat tertentu aku memang harus mengacuhkannya. Tetapi kali ini lain halnya. Aku rindu sekali dengannya. Mungkin dia sekarang sedang bernostalgia dengan sahabat-sahabatnya yang lama. Mungkin kali ini dia yang sedang beristirahat dengan tenang di dunianya yang luas itu. Suatu saat nanti dia juga akan kembali lagi dengan sendirinya, tak perlu aku meraung-raung. Toh tak didengar juga olehnya. 

November 12, 2011

Ingat dan diingat yang baik

                Suharto sebagai icon dari masa orde baru sering disebut-sebut kejahatannya. Baik dari orang yang berpendidikan maupun yang tidak. Beberapa waktu yang lalu saya membaca sebuah artikel mengenai konflik sosial. Dan menurut penulisnya, konflik-konflik sosial di Indonesia pada hari ini bersumber dari masa orde baru yang bersifat militeristik.
                Memang lebih baik rasanya kita jadi orang Jahat daripada jadi orang yang baik. Karena orang yang jahat banyak diingat sepanjang masa, sedangkan orang baik jarang sekali. Seperti Soeharto, Hitler, Mao Zi Dong, Josef Stalin, atau bahkan orang-orang yang berada dilingkungan kita sendiri. Alasan yang biasanya diberikan oleh orang ketika mereka lebih sering mengingat orang-orang jahat ini adalah ‘Lewat yang buruk kita bisa tau yang baiknya’. Memang, siapa yang tidak setuju hal itu? Tetapi, kemudian apakah itu menjadi sebuah excuse untuk kita boleh lebih mengingat yang jahat-jahat ini? Tentu tidak. Walaupun tentu perlu mengingat orang-orang yang jahat dan kejam ini untuk kita bisa tahu kalau itu jahat dan kita jangan berbuat sedemikian rupa, tetapi yang baik harus jauh lebih diingat.
Nah, alangkah baiknya kalau kita lebih mengingat yang baik-baik. Dengan mengingat yang baik, kita akan dengan mudah mencontoh hal-hal baik itu. Karena memang, sifat manusia itu turunan dan duplikatif, bisa melakukan sesuatu dengan cara menduplikasi/mencontoh. Seperti berbicara misalnya, kita pertama kali bisa berbicara tentu saja karena mencontoh orang tua kita dalam berbicara. Maka dari itu, kalau yang lebih diingat adalah yang jahat-jahat tentu kita akan lebih mudah mencontoh yang jahat-jahat, tetapi kalau kita ingat yang baik-baik tentu juga kita akan lebih mudah mencontoh yang baik-baik.
Lagipula, yang jahat-jahat itu memang tidak seharusnya yang kita ingat sebagai yang utama di kepala kita. Yang jahat-jahat itu hanya sebagai sebuah peringatan atau pembelajaran agar kita tidfak melakukan hal yang demikian, dan kemudian kita mengingat contoh-contoh yang baik agar kita bisa melakukan hal-hal yang baik juga.
Mengenai diri kita untuk ingin diingat orang, saya yakin kita semua ingin diingat.                Tentu saja kita mau diingat oleh orang banyak, dan saya percaya tidak ada yang jawab tidak. Kalau sampai ada yang tidak ingin diingat, berarti orang itu memiliki suatu kelainan. Bukti sederhananya adalah Tuhan kita, yang mencipta kita, pun ingin kita mengingat nama-Nya dan beribadah kepada-Nya setiap waktu, bukan? Apalagi kita ini.
                Jika demikian, apakah kita lalu ingin menjadi jahat untuk tetap diingat oleh orang? Karena memang orang jahat yang selalu diingat orang, sedang yang baik jarang sekali. Tentu saya katakan jangan.
                Satu hal yang perlu diingat oleh kita semua, adalah kita di dunia ini hanya sementara dan satu kali saja. Dengan demikian, tidak terlalu penting apakah orang di dunia ini akan mengingat kita akan kebaikan kita. Kalau memang kita sudah berbuat baik di dunia ini, mengasihi sesama kita dan juga mengasihi Tuhan sebagaimana Ia mengasihi kita, maka kita tidak perlu takut untuk tidak diingat oleh orang-orang itu. Yang penting adalah ketika Tuhan mengingat kita sebagai ciptaan yang dikasihi dan diperkenannya. Ingat, yang menjadi juri sebenarnya atas segala perbuatan kita di dunia bukanlah orang-orang di sekelilingmu, bukan juga teman-temanmu atau saudara-saudaramu, tetapi Tuhan yang melihat perbuatan kita di manapun dan kapanpun kita berada.
                Orang hidup di dunia penuh dengan pilihan. Menjadi jahat atau baik adalah salah satunya. Dengan bijak engkau harus memilih. Dari sekarang.

November 10, 2011

Aku dan Menulis 3

                Tidak ada yang pernah menginginkan kami bersahabat awalnya. Aku sendiri tidak pernah berusaha agar bisa bersahabat dengan menulis. Sungguh minder diriku pada saat aku tahu siapa-siapa saja yang pernah bersahabat dengan dia. Semua sahabat-sahabatnya yang lama sangat bisa dibanggakan. Mereka semua itu dapat berjaya bersama menulis. Sungguh hebat orang-orang demikian. Sedang aku, hanya seorang pelajar biasa yang secara tidak sengaja bertemu dengan menulis.

                Selama ini aku belum pernah bisa dibanggakan bersama menulis. Belum satupun cerita yang dapat diterbitkan di harian cetak atau di majalah bulanan. Hanya teman-temanku saja yang membaca dan menikmatinya. Terkadang kalau aku tidak merasa yakin dengan ceritaku, aku minta mereka menilainya. Tetapi, penilaian mereka tidak terlalu berarti bagiku, penilaian menulislah yang jauh lebih berarti.

                Dengan menulis aku selalu bertambah ilmu baru setiap harinya. Tiap ingin membuat sebuah karya yang baru, aku selalu diajari untuk bisa memodifikasi karya yang lama dan menambah diksi kata setiap harinya. Karena ini hubungan kami makin erat sekarang. Hampir setiap hari aku duduk di atas kasur dan memulai suatu perbincangan agung dengan menulis yang nantinya akan menghasilkan sebuah karya yang juga indah dan apik.

Sekali waktu, aku sudah mengantuk dan mataku sudah tidak kuat lagi untuk bertahan terbuka. Aku masih berusaha membukanya dan menatap layar komputer untuk memulai proses pembuatan sebuah tulisan. Tetapi apa daya, tertidurlah aku di tengah-tengah dan gagallah hubunganku dengan menulis pada malam itu. Hebatnya adalah menulis bisa memaafkanku. Esoknya aku diberikan ide baru olehnya. Ide yang lebih baru dan lebih segar dari yang sebelumnya. Dia tidak hanya memaafkanku rupanya, dia juga makin menyemangatiku.

Kalau dilihat-lihat, persahabatan kami seperti simbiosis komensalisme, di mana yang satu diuntungkan oleh yang lain, tetapi yang lain itu tidak dirugikan sama sekali. Bagiku itu tidak seperti itu. Persahabatan kami bukan hanya sekedar simbiosis. Persahabatan kami adalah sebuah hubungan yang sudah sangat intim. Semua rahasiaku kubeberkan dengan menulis. Menulis tahu segalanya mengenai diriku sampai hal yang paling kecil.

Dia tidak pernah menanggapi apa yang selalu kukatakan kepadanya. Seringkali aku berpikir kalau aku ini sudah gila. Aku tidak gila. Menulis itu hidup di dalam segala aspek kehidupanku dan dia selalu ada dan hadir menemaniku. Di saat sedang penat, atau bahagia, di saat tidur, dan terlebih di saat aku bangun.

Satu-satunya sahabatku yang tidak pernah aku kangeni adalah dia ini. Sebernarnya alasannya gampang saja, karena aku dan dia selalu bertemu di setiap saat. Dia ini juga satu-satunya sahabat yang aku tidak pernah bosan untuk membagikan segalaku kepadanya. Dengan setia dia mendengar dan mencatat semua ceritaku sehingga kami berdua sekali lagi menghasilkan cerita yang indah dan apik.

Monoton memang persahabatan kami. Bertemu, berbincang, berpisah. Begitu seterusnya. Tidak ada aktivitas lainnya. Hanya dalam setiap perbincangan, dia bisa membawaku ke berbagai tempat yang aku tidak pernah lihat sebelumnya. Ke tempat-tempat yang menakjubkan. Ini yang membuatku terus dan semakin menyukai menulis. Ini juga yang mungkin dia lakukan terhadap sahabat-sahabatnya yang lama. Dan suatu ketika, aku yakin dia akan melakukan sesuatu denganku yang belum pernah ia lakukan dengan sahabat-sahabatnya yang lama. 

Ketika Korupsi Menjadi Budaya Pop

Orang-orang Indonesia memang diisi oleh orang-orang dengan akal yang banyak. Banyak sekali yang mereka akali sehingga yang tidak mungkin pun bisa menjadi mungkin. Dan akal-akalan mereka itu biasanya adalah akal-akalan yang berdampak buruk. Misalnya di kereta, karena untuk mendapatkan sebuah tempat duduk di kereta adalah kemungkinan yang sangat kecil, maka banyak penumpang kereta yang membawa kursi lipatnya sendiri untuk dia bisa taruh kursi lipat itu di mana saja dan kemudian duduk di situ. Perilaku orang-orang ini sangat mengganggu bagi orang yang sedang berdiri, karena orang-orang itu mengambil tempat yang cukup luas.

Ketika saya sendiri melihat hal itu, saya pikir untuk apa saya belajar tinggi-tinggi kalau nantinya ilmu saya akan dipakai untuk memperjuangkan orang-orang Indonesia yang seperti mereka ini? Untuk apa saya mengeluarkan keringat bagi orang-orang yang tidak punya pengertian ini?

Mungkin itu juga yang ada dipikiran para pejabat-pejabat tinggi negara kita. Mereka jadi ogah untuk bekerja bagi rakyatnya yang tidak benar itu. Parahnya kalau mereka sampai bias berpikir rakyat yang ada di negara ini hanya sebagai suatu pemenuhan syarat untuk terbentuknya suatu negara dan bukan merupakan tanggung jawab pemerintah untuk mereka benahi.

Karena pikiran-pikiran demikianlah mereka berani untuk melakukan tindak korupsi. Sudah tidak ada lagi rasa peduli pada rakyatnya yang walaupun nakal-nakal, tetapi memiliki hidup yang susah. Tidak ada lagi suatu rasa kasihan terhadap rakyatnya yang merupakan tanggung jawabnya. Seharusnya anak nakal dimarahi dan dinasehati, bukannya dibuat makin susah dengan cara diambil uangnya.

Para koruptor itu bagaikan kanibal. Mereka memakan anaknya sendiri dan dihabisi secara perlahan hanya untuk mengisi perut-perut buncit mereka yang lapar. Disuruhnyalah rakyat untuk membayar pajak sebesar sekian rupiah. Diambilnya seperempat untuk biaya pembangunan dan sisanya untuk dibagi-bagi kepada sesama koruptor.

Benar-benar tikus yang sangat cerdik koruptor-koruptor itu. Mereka bahkan tega mengambil uang begini banyak orang di negaranya sendiri dan hidup dari uang itu. Bahkan mereka tidak malu ketika mereka melakukan korupsi. Bukti dari betapa tidak malunya mereka adalah mengajarkan bawahannya untuk ikut-ikut korupsi. Takut untuk dilaporkan kasusnya oleh bawahannya, mereka membagi sedikit sebagian dari uang mereka. Lama-kelamaan bawahannya makin mengerti cara atasannya korupsi. Dan akhirnya, the student has become the master. Bawahannya itu sekarang sudah bisa korupsi mandiri.

Begini kejamnya tindak kriminal yang sekarang sudah menjadi budaya ini. Korupsi tampaknya sudah menjadi pop culture, di mana semua orang yang tidak mengikuti budaya yang sedang populer ini adalah tidak keren, kurang berani, dan sebagainya. Rakyat Indonesia makin lama memang makin gila jalan pikirannya.

Kita butuh lebih dari sekedar orang yang berani dan pintar. Orang yang bisa memberantas korupsi juga harus kuat. Maksudnya adalah orang-orang kuat yang tegas, yang bisa menggerakan massa, dan yang bisa menahan segala siksaan selama bekerja memberantas budaya besar ini. Bagaimana bisa ada orang seperti ini?

Yang pertama pastinya adalah belajar di sekolah dengan tekun. Jangan kita sebagai seorang rakyat hanya kerjannya mengkritik pemerintah yang kerjanya tidak benar di saat kita sendiri tidak mengerjakan tugas-tugas kita. Kemudian kita lihat, lewat apa yang kita bisa lakukan, kita bisa membantu apa untuk memberantas korupsi,  ataukah ternyata kita adalah pelopor besarnya nanti. Siapa yang tahu?

November 8, 2011

Aku dan Menulis 2

                Seperti yang sudah kuceritakan mengenai diriku sebelumnya, aku adalah seorang yang hidup dengan menulis. Maksudku bukan mencari nafkah dan hidup lewat hasil dari apa yang kutulis, aku masih terlalu pemula untuk itu, tetapi aku hidup bersama dengan kegiatan tulis menulis ini. Ya, aku dan menulis sudah hidup bersama dan menjadi teman baik yang cukup lama.
                 Aku tidak setiap hari menulis di atas selembar kertas atau mengetik di komputerku, namun seringkali aku menulis di dalam pikiranku. Aku membuat kerangka-kerangka penulisan yang nantinya pasti aku akan tuliskan di atas kertas atau kuketik di komputer. Terkadang lama sekali jarak waktu dari sejak aku memikirkan mengenai cerita itu sampai aku berhasil menyelesaikan tulisan itu di atas selembar kertas.
                Biasanya aku berpikir sewaktu di jalanan atau di tempat-tempat umum lainnya. Aku bisa berpikir ketika banyak hal-hal yang ada bagiku untuk disaksikan. Misalnya di dalam sebuah kereta yang sering aku tumpangi, aku melihat banyak sekali fenomena-fenomena sosial yang terjadi di dalam sebuah gerbong kereta. Hanya satu gerbong saja aku bisa melihat banyak ibu-ibu yang berebut kursi untuk duduk, seperti puluhan singa mengincar seekor mangsa. Parahnya, ketika tidak mendapat kursi untuk duduk, ibu-ibu itu sudah menyiapkan kursi lipat untuk dipakai duduk di area tempat orang seharusnya berdiri.
                Ketika di rumah, semua ide dan keinginan untuk mengerjakan sesuatu hilang rasanya, sudah tidak bergairah lagi. Tidak ada sesuatu yang dapat dilihat untuk memacu aku berpikir mengenai sesuatu. Bahkan, salah satu hal yang tentu saja bisa membuatku memiliki sebuah ide untuk menulis, yaitu membaca buku, tidak bekerja sama sekali saat berada di rumah. Jadi, yang kukerjakan di rumah hanyalah menulis ulang dari apa yang sudah ada di pikiranku atau mengetik apa yang sudah aku tulis di kertas untuk ‘diabadikan’. Percaya atau tidak, bahkan dalam penulisan ulang pun itu bisa berlangsung lebih dari 1 jam, hanya karena kurang berhasrat untuk membaca ulang di rumah.
                Pernah suatu kali aku menulis secara acak mengenai isi pikiranku, apapun itu. Yang pasti aku hanya ingin tulisannya mengalir seperti otakku bocor ide. Akhirnya keluarlah semua unek-unekku mengenai bahasa Indonesia yang seringkali disalahartikan oleh banyak remaja Indonesia. Tetapi, ketika aku membacanya ulang beberapa hari kemudian, ada banyak sekali ketidaksinambungan antara satu paragraf dengan paragraf lainnya, dan yang lebih membuat itu tambah hancur lagi adalah aku sendiri bahkan tidak bisa menangkap ide dari tulisan ini. Karena memang diawali benar-benar tanpa ide sama sekali.
                Itulah rumah bagiku. Sebuah tempat dimana aku dan menulis jadi tidak bersahabat. Seperti semua kisah persahabatan lainnya, pasti ada suatu hal yang membuat kedua orang sahabat selalu bertengkar karenanya.
                Seperti pada definisi awal dari sebuah rumah, adalah tempat untuk kita boleh kembali pulang dan beristirahat di dalamnya. Dan rumah sebagai tempat istirahat adalah tempat dimana hubunganku dengan menulis harus berhenti sementara waktu, karena aku juga perlu istirahat, begitu juga kiranya dengan menulis.  

Terang itu

                Tempat itu gelap. Walaupun hangat dan nyaman, Reno tetap merasa ada yang kurang. Dia meraba-raba tubuhnya sendiri, mencari apa yang kurang. Tidak didapati apapun di tubuhnya. Ia menengok ke kiri dan ke kanan. Tidak terlihat apapun. Ia bisa merasakan ruangan itu tidak kecil dan sempit, tetapi besar dan kosong melompong. Seketika ia sadar, tidak ada terang di ruangan besar ini.
                Reno sendiri tidak mengerti bagaimana caranya ia bisa ada di dalam ruangan ini. Mungkin ia dilahirkan di sini, atau mungkin ia diculik dan disekap di ruangan ini serta dicuci otak. Yang pasti, ia tidak ingat apapun mengenai dunia di luar sana. Ia tidak tahu apa rasanya berada di dalam terang. Reno sendiri sudah berada disini cukup lama rasanya.
                Menyanyi. Hanya itu kerjanya sepanjang hari. Suara nyanyiannya membuat ruangan itu terasa penuh. Besar dan indah suaranya, seperti layaknya penyanyi opera profesional. Yang Reno nyanyikan adalah lagu-lagu berbahasa latin yang indah-indah artinya. Sesaat ketika Reno berhenti bernyanyi, sunyi sepilah ruangan besar itu. Kesepian itu langsung menyergap dirinya tanpa permisi. Menyergap lebih cepat dari pada cahaya.
                Sudah berbulan-bulan rasanya sejak Reno berada di tempat gelap itu. Reno sendiri tidak tahu kalau hari terus berganti. Ia tidak bisa melihat keluar dari ruangan ini. Tetapi tampaknya Reno sudah makin terbiasa dengan kondisi ini. Ia bahkan sering berbicara sendiri, untuk mengusir rasa sepi itu. ‘Menurutmu seperti apa terang itu?’ Reno bertanya kepada dirinya sendiri ‘Terang itu pasti lebih baik daripada gelap, aku bisa melihat segalanya dengan terang.’ Reno menjawab pertanyaannya sendiri, dengan nada yang dibuatnya berbeda.
                 Semakin sering Reno berjalan dan berkeliling ruangan ini, semakin hapal dia akan betapa besarnya ruangan ini. Tidak hanya terasa seperti ruangan yang amat besar, tetapi terasa seperti sebuah istana kerajaan. Ia hanya bisa merasakannya, tidak bisa melihat.
                Suatu ketika, Reno menemukan sebuah jalan yang tidak biasa ia lewati. Terasa seperti sebuah lorong panjang. ‘Hoi..!!’ Teriakan Reno menggema sampai ke penghujung lorong itu. Jauh dan besar sekali rasanya lorong itu. Reno mencoba untuk masuk ke lorong itu dan mengikuti jalannya perlahan.
                Jalan itu hanya sebuah jalan lurus. Tidak ada persimpangan untuk belok. Cukup lama Reno berjalan. Ia tidak menemukan apapun sejauh ini. Langkahnya makin pasti dan makin besar. Ia yakin perjalanan ini masih jauh.
                Baru beberapa langkah ia berjalan dengan pasti, ia menabrak sebuah tembok. Reno sempat terhuyung ke belakang dan kembali menyeimbangkan dirinya lagi. Ia kemudian meraba-raba tembok itu dan menemukan sebuah kenop pintu. Kenop itu diputarnya dan terbukalah pintu itu.
                Tiba-tiba cahaya yang sangat terang menyinari seluruh badannya. Matanya tersambit cahaya terang itu dengan sangat keras. Karena tidak kuat lagi maka ia menutup matanya. Reno sempat meringis, tetapi kemudian ia berteriak dengan kencang ‘Oh.. Terang, sudah lama aku ingin bertemu denganmu, hampiriliah aku.’ Setelah itu dibukanya lagi matanya dan ia tidak menutupnya sampai terang itu mengisi matanya dengan penuh dan kemudian Reno menjadi buta. Gelap itu sekarang ada  di dalam Reno. 

November 2, 2011

Aku dan Menulis

                Belum pernah sekalipun kutulis mengenai diriku sendiri. Bahkan ini pertama kalinya kugunakan kata ganti ‘aku’ untuk diriku sendiri. Mungkin memang sesekali perlu juga kutuliskan mengenai diriku. Tulisan yang isinya berpusat hanya kepada diriku. Ini sama sekali tidak bertujuan untuk narsis kepada pembaca. Hanya agar pembaca tahu siapa aku ini.
                Selama ini aku selalu menceritakan hal-hal yang ada diluar diriku, teman-temanku, keluarga, atau juga mengenai hal-hal yang lainnya. Terkadang terlintas dipikiranku untuk menulis mengenai diriku sendiri. Tetapi tidak jarang juga aku tepis pikiran itu, karena takut dikira narsis. Mungkin di dalam kehidupan sehari-hariku seringkali aku narsis dan memuji diri, seperti mengatakan diriku ganteng atau lucu. Aneh memang, tetapi mau bilang apa lagi? Itulah diriku. Hanya saja, hampir tidak pernah aku menuangkan hal-hal seperti itu di dalam tulisan-tulisanku.
                Menulis bagiku lebih dari sekedar hobi. Bagiku itulah hidup. Sejak kelas satu sekolah dasar, bakat menulisku memang sudah sedikit terlihat. Cerita pertamaku adalah cerita mengenai liburan tahun baru pada tahun itu. Di sekolah dasar, tugas itu memang hampir setiap liburan selalu ada. Cerita itu kemudian dibacakan di depan kelas. Nah, bakat itu terlihat ketika aku maju dan membacakan ceritaku. Sebelumnya cerita teman-temanku tidak terlalu panjang. Ada yang bercerita hanya di Jakarta dan tidak kemana-mana atau dia pergi keluar kota dan berlibur bersama keluarganya, hampir semua bercerita singkat. Ketika giliranku tiba, ceritaku cukup panjang. Hari ini aku sudah tidak lagi ingat akan cerita apa yang kuceritakan, tetapi aku ingat kalau cerita itu cukup panjang, setidaknya lebih panjang dibandingkan dengan teman-temanku.
                Walaupun begitu, namanya juga anak kecil, aku masih tidak tahu kalau itulah bakatku. Cita-citaku pada saat itu adalah sebagai pilot. Sejak kecil aku sangat kagum dengan kebebasan burung yang dapat terbang kemana-mana, dan akhirnya aku bercita-cita sebagai pilot.
                Seperti anak-anak normal lainnya aku bertumbuh dan bertambah usia. Pada usiaku yang kesepuluh aku dan ayahku pergi dan memeriksa mata di sebuah optik. Ayahku yang sudah mengenakan kacamata yang cukup tebal memeriksa seperti biasa dan tidak ada perubahan. Ketika aku memeriksa, aku terkejut. Ternyata mataku sudah tidak normal lagi, mataku silinder. Walaupun tidak sampai silinder satu, aku tetap harus segera memakai kacamata. Pada awalnya aku sangat senang ketika aku dinyatakan harus memakai kacamata. Aku akan menjadi seperti ayahku, begitu pikirku. Akhirnya terwujudlah keinginanku memakai kacamata. Rasanya biasa saja, tidak terlalu berbeda dengan saat aku tidak memakainya.
                Setelah memakai kacamata aku langsung pesimis mengenai cita-citaku untuk menjadi pilot, karena salah satu syarat untuk menjadi seorang pilot adalah matanya harus normal.  Akhirnya aku berusaha mencari sebuah cita-cita yang lain. Yang terpikirkan saat itu adalah menjadi seorang pelukis. Padahal nyatanya gambarku sama sekali tidak bagus. Kembali lagi aku memikirkan dari awal akan jadi apa diriku waktu besar nanti.
                Aku kemudian melihat kakakku yang kuliah di jurusan komunikasi massa. Saat itu dia sudah lulus dan bekerja di sebuah majalah. Di sana ia menjadi salah seorang penulisnya. Seringkali aku melihatnya menulis di laptop IBM tuanya. Seperti yang kita tahu, figur orangtua atau seorang kakak sangatlah penting untuk contoh bagi seorang anak. Karena aku menganggap pekerjaan kakakku adalah pekerjaan yang sangat menyenangkan, aku kemudian mulai mencoba menulis cerita.
                Sejak pertama, aku tidak pernah menulis dengan sebuah pensil dan kertas. Tulisan pertamaku kuketik di laptop yang sama dengan yang digunakan kakakku. Aku terduduk di samping ayahku yang sedang bekerja menggunakan laptopnya. Selama menulis suasananya tenang. Kebetulan di sampingku ada saudaraku yang masih kecil yang menjadi saksi mata sewaktu aku menuliskan cerpen pertamaku, entah dia masih ingat atau tidak. Cerpen pertama itu jadi setelah dua jam lamanya. Sekarang aku sudah tidak tahu lagi ada dimana cerita itu.
Cerpen itu bercerita mengenai pertarungan dan perebutan kekuasaan wilayah antara sekelompok serigala melawan sekelompok singa. Serigala tidak ingin kalau singa menjadi raja rimba, mereka ingin memberontak terhadap hukum alam tersebut. Akhirnya sekelompok serigala itu kalah dan tiga per empat populasi mereka mati dihabisi para singa. Dan pesan dari cerita ini adalah jangan pernah mencoba melawan hukum alam yang sudah ada, karena itu hanya akan menjadi sia-sia.
Itu adalah cerita pendek pertamaku. Bagiku cerita ini hebat sekali! Seorang anak kelas 5 SD bisa membuat sebuah cerpen dalam waktu dua jam setebal 4 halaman yang memiliki sebuah pesan di dalamnya. Hebatnya lagi, aku bahkan membuat sebuah cerita yang penuh dengan pembunuhan dan peperangan. Bukannya sombong, aku pun sampai hari ini masih takjub akan diriku sendiri sewaktu kecil dulu. Ada banyak hal yang sampai sekarang aku sendiri masih heran. Salah satunya adalah saudaraku, yang adalah seorang perempuan, dapat duduk tenang melihatku menulis selama dua jam. Seingatku, dia bahkan belum bisa membaca saat itu.
Sejak saat itu aku meneguhkan diriku untuk menjadi seorang penulis hebat nantinya. Aku mulai mencoba mengembangkan bakatku dan mencoba banyak-banyak menulis. Aku sampai mencoba menulis sebuah catatan harian atau diary, yang sampai sekarang hal seperti itu umumnya hanya dilakukan oleh perempuan. Tetapi, aku gagal melakukan hal itu. Sekali lagi itu karena aku memang tidak suka menulis menggunakan pensil dan kertas.
Tulisan-tulisanku belum pernah kucoba kirim ke sebuah koran atau majalah apapun. Aku masih malu pada saat itu. Hingga sekarang aku masih belum pernah mengirimkan satu pun cerita. Walaupun, sekarang lebih karena alasan malas dari pada karena malu. Terlebih lagi, sekarang sudah ada teknologi internet yang memudahkanku untuk menyebarkan tulisan-tulisanku lewat blog pribadiku.
Saking senangnya menulis, aku juga mengajak orang lain untuk mau menulis. Di SMA-ku ada satu mata pelajaran mengenai teknik presentasi. Di situ, aku menggunakan kesempatanku untuk mengajak teman-temanku untuk menulis. Presentasi pertamaku adalah mengenai ajakanku untuk teman-teman agar lebih senang membaca novel ketimbang membaca komik. Kemudian, saat kelas 2 aku mulai mengajak orang untuk menulis. Semua orang pasti senang kalau bisa membagikan apa yang dia sukai kepada orang lain, dan akan lebih senang lagi kalau ada orang yang menyenangi hal yang sama, begitu juga diriku.
Inilah ceritaku mengenai awal hubungan baikku dengan dunia tulis-menulis. Banyak yang ingin kuceritakan sebenarnya, tetapi kurasa ini saja sudah cukup panjang. Malahan terlalu panjang hanya untuk bercerita mengenai satu orang dan hal yang disenanginya. Sampai berjumpa lagi dengan bayangan diriku di tulisan-tulisanku yang selanjutnya.
                 

October 29, 2011

Marriage. Hard to let go.


When I got home that night as my wife served dinner, I held her hand and said, I’ve got 



something to tell you. She sat down and ate quietly. Again I observed the hurt in her eyes..

Suddenly I didn’t know how to open my mouth. But I had to let her know what I was thinking. I 

want a divorce. I raised the topic calmly. She didn’t seem to be annoyed by my words, instead 

she asked me softly, why?

I avoided her question. This made her angry. She threw away the chopsticks and shouted at me, 

you are not a man! That night, we didn’t talk to each other. She was weeping. I knew she wanted 

to find out what had happened to our marriage. But I could hardly give her a satisfactory answer; 

she had lost my heart to Jane. I didn’t love her anymore. I just pitied her!

With a deep sense of guilt, I drafted a divorce agreement which stated that she could own our 

house, our car, and 30% stake of my company. She glanced at it and then tore it into pieces. 

The woman who had spent ten years of her life with me had become a stranger. I felt sorry for 

her wasted time, resources and energy but I could not take back what I had said for I loved Jane 

so dearly. Finally she cried loudly in front of me, which was what I had expected to see. To me 

her cry was actually a kind of release. The idea of divorce which had obsessed me for several 

weeks seemed to be firmer and clearer now.

The next day, I came back home very late and found her writing something at the table. I didn’t 

have supper but went straight to sleep and fell asleep very fast because I was tired after an 

eventful day with Jane. When I woke up, she was still there at the table writing. I just did not care 

so I turned over and was asleep again.

In the morning she presented her divorce conditions: she didn’t want anything from me, but 

needed a month’s notice before the divorce. She requested that in that one month we both 

struggle to live as normal a life as possible. Her reasons were simple: our son had his exams in 

a month’s time and she didn’t want to disrupt him with our broken marriage.

This was agreeable to me. But she had something more, she asked me to recall how I had 

carried her into out bridal room on our wedding day. She requested that every day for the 

month’s duration I carry her out of our bedroom to the front door ever morning. I thought she was 

going crazy. Just to make our last days together bearable I accepted her odd request.

I told Jane about my wife’s divorce conditions. . She laughed loudly and thought it was absurd. 

No matter what tricks she applies, she has to face the divorce, she said scornfully.

My wife and I hadn’t had any body contact since my divorce intention was explicitly expressed. 

So when I carried her out on the first day, we both appeared clumsy. Our son clapped behind us, 

daddy is holding mommy in his arms. His words brought me a sense of pain. From the bedroom 

to the sitting room, then to the door, I walked over ten meters with her in my arms. She closed 

her eyes and said softly; don’t tell our son about the divorce. I nodded, feeling somewhat upset. I 

put her down outside the door. She went to wait for the bus to work. I drove alone to the office.

On the second day, both of us acted much more easily. She leaned on my chest. I could smell 

the fragrance of her blouse. I realized that I hadn’t looked at this woman carefully for a long time. I 

realized she was not young any more. There were fine wrinkles on her face, her hair was 

graying! Our marriage had taken its toll on her. For a minute I wondered what I had done to her.

On the fourth day, when I lifted her up, I felt a sense of intimacy returning. This was the woman 

who had given ten years of her life to me. On the fifth and sixth day, I realized that our sense of 

intimacy was growing again. I didn’t tell Jane about this. It became easier to carry her as the 

month slipped by. Perhaps the everyday workout made me stronger.

She was choosing what to wear one morning. She tried on quite a few dresses but could not find 

a suitable one. Then she sighed, all my dresses have grown bigger. I suddenly realized that she 

had grown so thin, that was the reason why I could carry her more easily.

Suddenly it hit me… she had buried so much pain and bitterness in her heart. Subconsciously I 

reached out and touched her head.

Our son came in at the moment and said, Dad, it’s time to carry mom out. To him, seeing his 

father carrying his mother out had become an essential part of his life. My wife gestured to our 

son to come closer and hugged him tightly. I turned my face away because I was afraid I might 

change my mind at this last minute. I then held her in my arms, walking from the bedroom, 

through the sitting room, to the hallway. Her hand surrounded my neck softly and naturally. I held 

her body tightly; it was just like our wedding day.

But her much lighter weight made me sad. On the last day, when I held her in my arms I could 

hardly move a step. Our son had gone to school. I held her tightly and said, I hadn’t noticed that 

our life lacked intimacy. I drove to office…. jumped out of the car swiftly without locking the door. 

I was afraid any delay would make me change my mind…I walked upstairs. Jane opened the 

door and I said to her, Sorry, Jane, I do not want the divorce anymore.

She looked at me, astonished, and then touched my forehead. Do you have a fever? She said. I 

moved her hand off my head. Sorry, Jane, I said, I won’t divorce. My marriage life was boring 

probably because she and I didn’t value the details of our lives, not because we didn’t love each 

other anymore. Now I realize that since I carried her into my home on our wedding day I am 

supposed to hold her until death do us apart. Jane seemed to suddenly wake up. She gave me 

a loud slap and then slammed the door and burst into tears. I walked downstairs and drove 

away. At the floral shop on the way, I ordered a bouquet of flowers for my wife. The salesgirl 

asked me what to write on the card. I smiled and wrote, I’ll carry you out every morning until 

death do us apart.

That evening I arrived home, flowers in my hands, a smile on my face, I run up stairs, only to find 

my wife in the bed - dead. My wife had been fighting CANCER for months and I was so busy 

with Jane to even notice. She knew that she would die soon and she wanted to save me from 

the whatever negative reaction from our son, in case we push through with the divorce.
— At least, in the eyes of our son — I’m a loving husband...

The small details of your lives are what really matter in a relationship. It is not the mansion, the 

car, property, the money in the bank. These create an environment conducive for happiness but 

cannot give happiness in themselves.

So find time to be your spouse’s friend and do those little things for each other that build 

intimacy. Do have a real happy marriage!

If you don’t share this, nothing will happen to you.

If you do, you just might save a marriage. Many of life’s failures are people who did not realize 

how close they were to success when they gave up..