Belakangan ini, jarang sekali
saya punya kesempatan untuk menulis. Setiap hari, saya selalu disibukkan oleh
pekerjaan sekolah, ada pacar yang serius, ada tim futsal yang latihan terus, ada
juga murid yang sangat-sangat butuh dibantu, lalu ada rumah yang harus dirapikan.
Wah, repot! Saya setiap hari sampai di rumah, minimal jam setengah tujuh. Tentu
saya sangat bersyukur kalau bisa pulang lebih awal.
Rasanya, seperti sudah kerja
kantoran saja, bahkan mungkin lebih parah. Saya masuk sekolah jam tujuh pagi
dan selesai sekolah jam setengah tiga. Setelah itu, ada tambahan pelajaran,
tentu saja karena saya sudah kelas 12. Hari Selasa, latihan futsal. Hari Rabu,
saya mengajar ekskul. Di kondisi yang seperti ini, saya baru menyadari betapa
waktu itu uang. Lebih lama pulang, lebih mahal ongkos hidupnya.
Selama beberapa minggu yang
sibuk ini, saya juga belajar satu hal sebagai seorang penulis muda. Rasa rindu
akan berkata-kata lewat tulisan. Saya ini bawel, seringkali kepuasan berkata-kata
oral terpuaskan dengan baik, tetapi saya juga suka menulis. Kerinduan saya
selalu terbendung oleh banyaknya hal yang harus dikerjakan dan juga kondisi
hati yang makin jarang bahagia. Walaupun begitu, saya juga masih suka menulis puisi
di kertas coretan sewaktu ujian matematika, atau menulis artikel protes kepada
sekolah di selembar kertas (dan parahnya, saya suka sengaja berusaha terlihat sedang
menulis dan tidak memperhatikan, supaya guru saya baca keresahan hati saya, dan
mungkin, teman-teman juga), dan beberapa kali saya juga menulis cerita-cerita
pendek.
Menulis esai untuk tugas masih
hal yang menyenangkan bagi saya, tidak terasa seperti tuntutan, kecuali pelajaran
sejarah. Saya masih menikmati proses itu. Penjabaran sebuah masalah, lalu
memecahkannya seperti sebuah ahli yang datang dan sedang menyelamatkan dunia
intelektual.
Dalam masa-masa kerinduan yang
amat sangat, pikiran jernih saya lahir kembali dengan sebuah prinsip baru.
Sebuah sentuhan penuh arti dalam jiwa dan sebuah ketukan ilahi dalam pikiran. Saya
terselimuti oleh kata-kata ini sepanjang beberapa minggu, sampai saya menjadi
panas, ingin cepat-cepat keluar lagi.
Jadi begini, ini adalah mengenai
jawaban dari pertanyaan “Mengapa manusia harus menulis?” Manusia tercipta dari
kata-kata. Manusia hidup dengan nama, sebuah bagian dari kata. Manusia
bersosialisasi dengan manusia lain, dengan binatang, dengan tumbuhan lewat
kata-kata. Simbol dan sandi pun melambangkan sebuah kata. Manusia tak dapat
terpisah dengan kata. Bahkan, penyebutan “manusia” membutuhkan sebuah kata.
Selama di kendaraan umum, di
kelas selama belajar, di kelas selama mengajar, terkadang di gereja sewaktu
mencatat khotbah, selama termenung menatapi hujan, dalam berbagai macam
kondisi, selama itulah saya memikirkan kata-kata saya yang itu. Ketika
terungkap, bahwa manusia tak terpisahkan dari kata, di situlah semangat membara
keluar dari hati.
Hati itu memang kompleks. Butuh
lebih dari jutaan hadiah materi untuk memuaskannya, tetapi hanya dengan satu
janji manis, maka sang pemilik hati akan tersenyum. Ini mengapa cinta itu topik
yang laku, karena cinta menawarkan janji termanis yang pernah ada. Dan cinta,
tak dapat lagi diungkapkan dengan kata.
Karena itulah. Karena itulah
saya masih terus. Terus menulis. Terus memiliki hati yang berkobar. Karena,
saya cinta menulis. Menulis itu refleksi
hati, refleksi hidup, refleksi cinta dengan manusia. Saya cinta merefleksikan
cinta saya.
Ah, kata-kata itu mudah dipermainkan,
tetapi susah dipegang. Kalau tidak dipaksa berhenti menulis, saya tidak bisa
berhenti, maka tulisan manusia berhenti. Biar iluminasi dan afeksi yang diberikan
mengalir sendirinya dalam pikiranmu, ya.