Hal yang akan saya ceritakan
ini, mungkin saja, common untuk
remaja Indonesia yang sedang berpacaran. Saya masih ragu apakah ini hal yang
biasa untuk dibicarakan di kalangan pasangan remaja di Indonesia atau bahkan
seluruh dunia. Maaf ya, belum sempat riset dulu.
Biasanya, hal ini dibicarakan oleh pasangan-pasangan yang
merasa hubungannya adalah hubungan yang panjang dan bertahan lama hingga
menikah. Saking mereka percaya bahwa mereka akan lama, maka sekali waktu akan
terjadi pembicaraan macam ini.
Bicara soal pembicaraan yang akan saya bicarakan, kalau di
bayangan pembaca sekalian ada hal yang aneh-aneh, buang saja. Ini hal yang
konyol dan sama sekali tidak berbau intim atau seksual dan hal-hal yang
memiliki kecenderungan pornografi dalam otak. Hanya saja, hal ini lucu ketika
dibicarakan begitu dini.
Apa yang lucu? Selain karena waktu untuk membicarakan hal
ini begitu dini, pasangan yang membicarakan hal ini benar-benar bersikap
seperti orang yang sudah menikah dan sedang menunggu keajaiban itu datang.
Padahal, (nah, ini juga salah satu lucunya) mereka sedang membicarakan ini
lewat SMS atau telepon, bukan muka dengan muka di atas satu tempat tidur yang
sama.
Pembicaraan ini, ketika sudah menikah, biasanya dibicarakan
muka dengan muka dan di atas satu tempat tidur yang sama atau di atas sofa
empuk yang sama sambil (mungkin) berpelukan atau saling menatap romantis satu
sama lain. Sejujurnya ya, itu juga hanya bayangan saya. Bayangan ideal saya
nanti. Saya kan belum menikah.
Intinya, harusnya ini adalah pembicaraan nanti saja dibicarakannya sewaktu
menikah dan bukan sewaktu pacaran.
Saya bukan ingin mencela pasangan yang membicarakan hal
ini, saya sendiri membicarakan hal ini dengan pacar saya. Saya sendiri
membicarakan itu karena sedang kehabisan ide untuk menghibur sang kekasih yang
sedang terkapar sakit. Jadinya, saya harus membicarakan hal-hal futuristik yang
menyenangkan, seperti pembicaraan yang akan saya bicarakan sekarang.
Sudah enam paragraf pembukaan, saya pikir cukup sudah
menggesek-gesek rasa ingin tahu pembaca megenai pembicaraan ini. Pembicaraan
itu adalah mengenai nama anak bayi nantinya. Pembicaraan yang membawa sepasang
kekasih terbang ke dunia khayalan yang agak jauh. Khayalan indah yang melupakan
betapa susahnya sebuah perjalanan cinta sampai bisa menikah, melupakan betapa susah
mengurus seorang anak bayi sampai besar, melupakan segala macam hal buruk.
Sejujur-jujurnya, sebelum kekasih jiwa saya menanyakan saya
“Kalau punya anak perempuan akan diberi nama apa?”, saya sudah sangat tau
jawabannya apa. Entah apakah saya ini terlalu gay atau apalah kata orang, tapi memang saya sudah pernah pikirkan
entah juga dari sejak kapan. Jadi, ketika ditanya hal itu, saya bisa menjawab
dengan lancar beserta arti-artinya dan alasan-alasan saya memilih nama itu.
Begitu ganti giliran bertanya, pacar saya masih pikir-pikir
(saya pikir, ini memang yang seharusnya, saya memang agak aneh). Karena sedang
sakit dan pusing, maka saya yang memikirkan ide-idenya dan dia hanya “iya” atau
“engga”. Beberapa kali, ia bertanya “Memangnya itu artinya apa?”. Ada yang saya
bisa jelaskan ada juga yang tidak. Penjelasannya beberapa hasil googling. Ya, ini adalah hal-hal yang
harus dilakukan pacar saat pacarnya butuh hiburan dan sedang sakit.
Sebenarnya, bisa saja saya mengatakan apa yang dikatakan
sang penulis drama terkenal, Shakespear, “Apalah arti sebuah nama?”. Memang
sangat bukan saya, bagi saya hampir semua yang ada di dunia ini harusnya ada
artinya. Hal-hal lainnya yang tidak ada artinya, bahkan bukan sesuatu hal.
Kita memang benar-benar harus menanyakan kepada diri kita
sendiri, apalah arti nama diri sendiri. Bagi beberapa orang tua, nama berarti
harapan orang tua terhadap anak itu, beberapa hanya ingin supaya anak itu
memiliki nama yang keren. Setelah tau arti nama diri sendiri, apakah kita
benar-benar harus menghidupi arti nama kita?
Pernah dengar cita-cita anak mulia yang berkata “Saya ingin
begini karena dengan begitu saya akan membahagiakan orang tua saya” atau
kata-kata prioritas mulia dari seorang anak “Yang penting orang tua saya
bahagia”. Nah, begitu juga dengan menghidupi arti nama sendiri. Karena yang
memberikan nama adalah orang tua dan nama adalah harapan orang tua, maka
hidupilah arti nama untuk membahagiakan orang tua.
Bagi anak-anak yang tidak pernah diberitahukan arti namanya
atau orang tuanya memang tidak bermaksud memberikan namamu dengan arti dan
harapan khusus, maka carilah arti namamu sendiri. Setelah itu, hidupilah
sendiri.
Sebenarnya, nama kita itu diberikan Tuhan. Hanya saja,
lewat orang tua. Ada maksud Tuhan lewat nama yang diberikan kepada kita.
Walaupun kadang, artinya aneh atau tidak berguna. Semacam orang Batak Karo yang
namanya bisa merupakan benda pertama yang ayahnya lihat sewaktu mendengar
anaknya sudah lahir. Tetap saja, semua hal tidak mungkin di luar kehendak
Tuhan.
Karena alasan-alasan semacam ini, saya merasa pembicaraan
mengenai nama adalah pembicaraan yang serius sekaligus menyenangkan.
Menyenangkan membayangkan bayi lucu dengan nama yang sudah kita tentukan dan
pikirkan matang-matang dan tentu saja harus dibesarkan dengan serius agar
hidupnya sesuai dengan apa yang diharapkan lewat nama yang diberikan.
Itu alasan dari bayangan ideal saya saat sepasang kekasih
yang sudah menikah membicarakan hal ini dan itu juga alasannya mengapa begitu
lucu dan polosnya ketika sepasang kekasih remaja yang masih naif membicarakan
hal ini.