October 28, 2011

Terhilang di Jakarta

            Sudah 15 tahun saya hidup di kota Jakarta. Tentu saja saya hapal jalan-jalannya, terlebih daerah Jakarta Timur dan Pusat. Tiap jalan besar sampai gang-gang berbahaya saya sudah tau. Alat-alat transportasi sudah pernah saya coba semua. Mulai dari taxi, angkot, bus, kereta, bahkan getek pun pernah saya tumpangi.
             Beberapa kali sudah saya kecopetan dan juga di todong. Belasan kali saya ikut terjun di dalam tauran antarsiswa. Semua terjadi bukan atas sekehendak saya, hanya karena terpaksa. Kerasnya hidup di Jakarta sudah saya rasakan semenjak di sekolah dasar. Berada di jalanan semenjak sekolah dasar membuat mental saya makin kuat. Sampai menjadi miskin pun saya tidak takut.
              Hidup bersama dengan ayah, ibu, dan kakak yang pemberani juga menjadi modal saya untuk berani terjun ke jalanan sejak di sekolah dasar. Tetapi, ini tetap tidak mudah. Bagi saya yang sudah biasa berada di jalanan dan naik angkutan umum kemana-mana, jalanan di Jakarta tetap tidak pernah saya anggap aman. Masih ada ketakutan-ketakutan terselubung jika saya melewati jalan-jalan tertentu. Lebih bersikap waspada, sebenarnya.
Seperti halnya pada sore hari ini. Saya baru sehabis pulang dari sebuah restoran franchise Amerika yang cukup terkenal di Indonesia sewaktu saya mendapatkan kesialan ini. Dompet saya hilang! Saya sudah tau kalau itu pasti jatuh di kursi tempat saya duduk di restorang tersebut. Sedangkan, saya baru menyadarinya ketika saya sudah berada cukup jauh dari tempat itu. Akhirnya saya tidak tahu saya harus pulang naik apa. Mau naik ojek, di rumah tidak ada orang untuk bayar. Mau naik angkot, saya tidak ada duit lagi untuk bayar. Kemudian saya berjalan ke arah warung kaki lima di dekat situ. Saya permisi kepada seorang ibu-ibu yang jualan di situ. Akhirnya, saya berpikir ‘sepertinya saya bisa meminta tolong kepada ibu ini.’ Saya pun kemudian seperti mengemis dengan muka yang memelas untuk meminta seribu. Saya menceritakan apa yang terjadi kepada ibu itu. Akhirnya luluh lah hati ibu itu melihat saya yang melas wajahnya. Maka, dengan seribu itu saya naik angkot dan kemudia turun di suatu tempat dan naik ojek kemudian bayar di rumah menggunakan uang saya yang ada dirumah, sebesar lima ribu rupiah saja.
Keberanian semacam inilah yang saya maksud. Berani meminta bantuan ketika kita memang perlu. Jangan seperti orang dungu yang ketika dia sedang di dalam kesusahan dia hanya diam saja dan berharap ada orang yang akan membantu dirinya. Bantuan itu harus di raih, kawan! Tidak semudah itu engkau mendapat bantuan orang, kecuali engkau korban bencana alam yang dashyat. Dengan inilah dirimu yang tadinya terhilang bisa kembali pulang.
Kemampuan ini juga bisa di pakai dalam kehidupan sekolahmu. Ketika kau sedang kesulitan menelaah pelajaran, tanya gurumu! Minta bantuan daripadanya. Untuk itulah uang sekolah harus kau bayar setiap tahun. Untuk gaji gurumu yang bisa kau tanyai dan meminta pertolongan. Maka itu, melonglonglah tanda dirimu sedang susah sebelum kau terdiam dan mati beku.