April 3, 2014

Review The Raid 2: Berandal

THE RAID 2: BERANDAL
Via 21cineplex.com


                Mengerikan sekali. Brutal luar biasa. Kali ini filmnya jauh lebih panjang dari yang pertama. Lebih banyak bicara. Politiknya lebih terasa. Haus akan kekuasaannya nyata. Yang pertama jadi lebih terasa seperti percikan kecil dari yang kali ini.

                Sebagai seorang penggemar TV serial, saya yakin ini akan jauh lebih seru kalau dibuat serial. Mafia-mafiaan makro. Bicara soal pembagian wilayah (yang terdengar sangat klise di pembicaraan-pembicaraan yang ada) sudah seperti hal yang enteng. Ngasih Menteng dan Sabang sudah seperti memberi uang upeti. Saya yakin lebih seru jadi serial, apalagi ini “ga ada habisnya”, seperti kata Eka.

                Hal paling seru saat menonton adalah memerhatikan tempat. Biasanya, kita (orang Jakarta), nonton tempat-tempat luar negeri. New York, Los Angeles, London, Paris, Roma, Moskow, dsb. Saat kita tau ini terjadi di kota sendiri, serunya ada saat kita tahu adegan yang itu mengambil tempat di mana. Seperti saat kejar-kejaran mobil yang terjadi di Kemayoran atau di dalam KRL/commuter line atau saat Rama diserang dalam taksi di Blok M.

                Aktor yang berperan sebagai Prakoso pun lumayan membingungkan, karena di The Raid: Redemption dia berperan sebagai Mad Dog dan mati. Mati! Ga mungkin salah kalau itu. Ya, mungkin aja Evans dan kru casting kehabisan pilihan.

                Munculnya perempuan Asia Timur (ga yakin Jepang atau Cina) yang super hot dan punya senjata dua palu itu keren banget. Di antara tiga orangnya Bejo itu, saya pilih dia sebagai favorit. Dari senjata, cara pakai, dan karakternya yang buta (sebelah?) plus tuli. Sebaliknya, temannya yang pakai bat baseball itu aneh. Waktu duet, mereka berdua mantep. Tidak masuk akal ketika Rama berhasil bunuh dua-duanya, padahal waktu lawan Mad Dog berdua pun kewalahan. Percuma rasanya kalau lawannya Rama dibuat super strong, tapi kalah dengan cepat. Di saat duel terakhir, jauh lebih memuaskan. Satu bioskop tempat saya nonton tertawa saat Rama dan orang itu sama-sama ambil kuda-kuda yang dempet. Kelihatannya lucu memang. Saat orang keren tanpa nama itu kalah, satu bioskop tepuk tangan.

                Berpaling soal hal-hal lucu, fakta bahwa Prakoso punya pager itu lucu. Saya sendiri ketawa-tawa. Di beberapa adegan lain saya juga tertawa, tapi ternyata bukan tertawaan umum, jadi tidak perlu dibagi di sini.

                 Kejadian yang aneh adalah waktu Prakoso keluar dari club ada salju. Gimana ceritanya ya itu? Apa saya salah liat dan itu bukan salju? Masa sih bukan di Jakarta? Ah, ya sudahlah. Lalu Eka yang ditembak di kaki kanannya masih bisa injek gas mobil, impressive.

                Oke, ada satu hal yang saya sendiri sangat amat suka. Pose Uco waktu menembak Bangun. So cool and flawless. Pose kelas dunia. Luka-lukanya yang jadi tanda “anak berengsek” itu bikin tambah keren (kayak Zuko atau Scar, saya kebanyakan nonton kartun).


                In one word only: Overwhelming. Film ini terlalu. Lama, berdarah, mengerikan, dan berani.