Via 21cineplex.com |
Mengerikan
sekali. Brutal luar biasa. Kali ini filmnya jauh lebih panjang dari yang
pertama. Lebih banyak bicara. Politiknya lebih terasa. Haus akan kekuasaannya
nyata. Yang pertama jadi lebih terasa seperti percikan kecil dari yang kali
ini.
Sebagai
seorang penggemar TV serial, saya yakin ini akan jauh lebih seru kalau dibuat
serial. Mafia-mafiaan makro. Bicara soal pembagian wilayah (yang terdengar sangat
klise di pembicaraan-pembicaraan yang ada) sudah seperti hal yang enteng. Ngasih Menteng dan Sabang sudah seperti memberi
uang upeti. Saya yakin lebih seru jadi serial, apalagi ini “ga ada habisnya”,
seperti kata Eka.
Hal
paling seru saat menonton adalah memerhatikan tempat. Biasanya, kita (orang
Jakarta), nonton tempat-tempat luar negeri. New York, Los Angeles, London,
Paris, Roma, Moskow, dsb. Saat kita tau ini terjadi di kota sendiri, serunya
ada saat kita tahu adegan yang itu mengambil tempat di mana. Seperti saat
kejar-kejaran mobil yang terjadi di Kemayoran atau di dalam KRL/commuter line
atau saat Rama diserang dalam taksi di Blok M.
Aktor
yang berperan sebagai Prakoso pun lumayan membingungkan, karena di The Raid:
Redemption dia berperan sebagai Mad Dog dan mati. Mati! Ga mungkin salah kalau
itu. Ya, mungkin aja Evans dan kru casting kehabisan pilihan.
Munculnya
perempuan Asia Timur (ga yakin Jepang atau Cina) yang super hot dan punya
senjata dua palu itu keren banget. Di antara tiga orangnya Bejo itu, saya pilih
dia sebagai favorit. Dari senjata, cara pakai, dan karakternya yang buta
(sebelah?) plus tuli. Sebaliknya, temannya yang pakai bat baseball itu aneh.
Waktu duet, mereka berdua mantep. Tidak masuk akal ketika Rama berhasil bunuh
dua-duanya, padahal waktu lawan Mad Dog berdua pun kewalahan. Percuma rasanya
kalau lawannya Rama dibuat super strong,
tapi kalah dengan cepat. Di saat duel terakhir, jauh lebih memuaskan. Satu
bioskop tempat saya nonton tertawa saat Rama dan orang itu sama-sama ambil
kuda-kuda yang dempet. Kelihatannya lucu memang. Saat orang keren tanpa nama
itu kalah, satu bioskop tepuk tangan.
Berpaling
soal hal-hal lucu, fakta bahwa Prakoso punya pager itu lucu. Saya sendiri ketawa-tawa. Di beberapa adegan lain
saya juga tertawa, tapi ternyata bukan tertawaan umum, jadi tidak perlu dibagi
di sini.
Kejadian yang aneh adalah waktu Prakoso keluar
dari club ada salju. Gimana ceritanya
ya itu? Apa saya salah liat dan itu bukan salju? Masa sih bukan di Jakarta? Ah, ya sudahlah. Lalu Eka yang ditembak di
kaki kanannya masih bisa injek gas mobil, impressive.
Oke,
ada satu hal yang saya sendiri sangat amat suka. Pose Uco waktu menembak
Bangun. So cool and flawless. Pose kelas dunia. Luka-lukanya yang jadi tanda “anak
berengsek” itu bikin tambah keren (kayak Zuko atau Scar, saya kebanyakan nonton
kartun).
In one word only: Overwhelming. Film ini
terlalu. Lama, berdarah, mengerikan, dan berani.