January 26, 2014

Orang Gila pun Bertanya

                Butuh pahitnya. Hidup ini terkadang, kita pikir, lebih manis daripada yang kita harapkan. Rasa pahit ini, menyeimbangkannya. Di hati? Belum tentu tidak ada yang lebih parah daripada pahit di hati. Aku tahu kalau tidak ada yang baru di bawah matahari ini, semuanya seperti terulang, hanya beda bentuk.

                Secara biologis, kita sering pikir kalau tubuh ini cukup eksistensinya untuk dipuaskan. Buat apa memikirkan yang tidak nampak, seperti jiwa atau Tuhan sekalipun. Tubuh hadir, terasa gerakannya, dan itu menjadi prioritas kepentingan. Mereka, hal-hal yang aku tak bisa sentuh, tak bisa dikecup, tak bisa diendus, selalu menjadi yang belakangan. Paling belakang, kupikir begitu.

                Ada tubuh-tubuh lain yang hadir, menyelimuti tubuhku ini, membuat nyaman tubuh ini. Beberapa memberi makan untuk perut, beberapa yang lain memberi makanan untuk otak.

                Filsuf tua dari negeri jauh di Eropa, entah sebelah mana, yang pernah mengatakan kalau tubuh menjadi prioritas nomor satu berarti aku masih manusia rendah. Aku memang rendah, litteraly pendek memang, namun aku tidak merasa bodoh. Lalu, kalau memikirkan hal-hal yang spiritual, yang tak terlihat, aku akan jadi lebih tinggi, lebih beradab?

                Masih panas, aku berusaha minum pelan-pelan. Pahitnya terasa sekali, panasnya sedikit membakar lidah. Jika saja tubuh ini sudah mati rasa, aku bisa langsung menegak satu gelas. Tidak konsisten tentu saja, padahal aku masih ingin merasa. Merasa keseimbangan antara kebahagiaan di tubuh bagian luar dan kepahitan di tubuh bagian dalam.

                Ada sebagian manusia menyebalkan yang terkadang membuatku harus menegak sesuatu yang lebih pahit dari minumanku sekarang ini. Efeknya lebih dari pahit, aku mati rasa, pengelihatanku blur, dan aku hanya bisa terbaring. Orang-orang berengsek itu pikir mereka bisa mengontrolku dengan kondisi tubuhku yang dilemahkan sengaja.

                Sejak hari-hari itu berakhir, aku harus meninggalkan hidup dengan tubuh-tubuh manusia bodoh itu. Haruskah aku peduli dengan berapa banyaknya buku yang mereka baca tentang kondisi diriku? Tentu tidak. Tubuhku perlu pergi dari mereka. Aku tidak ingin mati rasa.

                Sekarang aku jadi khawatir bilamana nanti tubuhku yang mati. Satu per satu bagian tubuhku mulai tidak berfungsi. Duduk dikursi dan menjadi sama kakunya dengan kursi. Hanya bisa pindah jika ada orang yang menggeser. Rasa-rasa yang aku inginkan tidak bisa kupilih sendiri. Lalu jantungku dan otak kecil ini mulai memelan hingga berhenti. Setelah itu? Dikuburkan disebelah kucing peliharaanku juga tidak masalah.

                Terlalu banyak orang yang memikirkan soal surga dan neraka. Aku tidak pernah peduli. Dan kalaupun kedua hal itu benar eksistensinya, aku lebih baik ada di dunia selamanya. Dunia jauh lebih sempurna dari kedua hal itu. Tentu saja. Mereka hanya tidak pernah sadar. Di surga, tidak ada neraka. Di neraka, tidak mungkin ada surga. Namun di dunia ada keduanya. Ada seks dan ada kopi, ada gula dan ada cabai, ada es krim dan ada brokoli, ada koruptor dan ada relawan. Ada dinamika.

                Dinamika lebih menyenangkan, pastinya, daripada statis. Bahagia selamanya di surga, apa poinnya? Terlebih kalau tersiksa di neraka selamanya, tidak perlu ditanya lebih lanjut. Tubuh dan pikiran dilatih untuk berbuat seperti seharusnya sesuai syarat-syarat untuk menghindari neraka. Mereka yang tidak peduli akan kedua hal itu, pastinya akan masuk neraka, begitu kata tubuh-tubuh yang percaya. Tubuh ini pasti mati, dan bagi mereka mati hanya permulaan dari hidup kekal abadi di tempat yang ditentukan oleh perbuatan yang sesuai syarat dan ketentuan.

                Mengatakan hal itu saja masih membuktikan tubuh mereka menjadi prioritas utama dibandingkan dengan hal yang mereka pecaya eksistensinya benar, jiwa individu. Dasar, munafik berkulit ibadah.

                Jangan salahkan aku jika aku salah mendengar tentang konsep agama yang sebenarnya atau membaca buku konyol buatan orang tidak bertanggung jawab. Bualan dan omong kosongku sejauh ini hanya ingin menemukan jiwa yang dikatakan oleh tubuh-tubuh lain. Otak dan sel-selnya nyata, jantung dan jaringan tubuh lainnya bekerja menghidupkan diriku, kulit dan mata mengawasi tubuh-tubuh lain yang berusaha menyakiti tubuhku dari luar.


                Jika jiwa benar ada, matikanlah otakku dan buat aku tertawa atau patah hati. Karena, aku pikir, pahit dan manisnya hidup selalu ditentukan yang di atas, bagian atas tubuh.