Setelah
bertambah besar dan bertumbuh lebih dewasa, tanggung jawab lebih besar, dan
lulus dari jenjang pendidikan menengah atas, Sekolah Dasar sepertinya tidak
lagi signifikan. Setidaknya, begitu bagi kebanyakan orang. Menurut beberapa
orang, teman-teman di SD tidak terlalu signifikan karena waktu SD masih polos,
masih belum banyak yang bisa diceritakan bersama, belum terbentuk
ikatan-ikatan yang kuat seperti ketika punya teman di SMA atau di kampus nanti.
Pertemanan enam tahun di SD sama sekali tidak sebanding dengan tiga tahun di
SMA.
Tidak
bisa dipungkiri, dalam kondisi apapun di seluruh dunia ini selalu ada
pengecualian. Di jenjang yang seharusnya masih begitu polos, jenjang yang masih
membingungkan soal perkalian pecahan dan cerita Si Pitung, ada anak-anak yang
sudah tidak memikirkan itu lagi. Mereka sudah memikirkan kata-kata yang lebih
sulit dan belum pernah diajarkan oleh guru mereka, seperti cinta atau pacar
atau bahkan kata-kata yang lebih vulgar. Hal-hal seperti ini lazimnya
dibicarakan saat anak-anak sudah menjadi remaja sekitar umur 14-17 tahun, bukan
anak bocah 10-13 tahun.
Selain
masalah topik pembicaraan, memori persahabatan juga berkait soal permainan.
Anak SD main tembak-tembakan dan kelereng, anak SMA main motor dan mobil. Waktu
SD mainan, waktu SMA beneran. Walaupun begitu, sebenarnya dua-duanya sama-sama
mainan. Yang lebih dari itu biasanya jadi anak
nongkrong, seperti kata MTV. Tempat nongkrong
bisa jadi satu tempat yang menjadi patokan ingatan-ingatan lainnya, karena
pasti akan ada banyak cerita. Anak SD, biasanya belum nongkrong karena belum punya uang, belum boleh pergi-pergi ke
tempat jauh. Namun, sekali lagi harus diingat, ada pengecualian.
Pengecualian-pengecualian
ini sebenarnya sedang tertuju pada SD gue sendiri dan pada angkatan gue juga.
Perlu diketahui, cerita ini bukanlah hal yang dibanggakan, namun ini juga yang
membuat kami (walau berpencar) tetap masih bisa berhubungan dengan (sangat,
bagi beberapa) baik. Jadi, beberapa dari anak-anak ini sempat saling suka dan
pernah sekian kali menyatakan cinta. Kita juga sering sekali pergi ke mall
Arion. Biasanya di sana beli atau sekedar baca komik di toko gunung agung,
makan di KFC, lalu yang paling aneh dari kegiatan anak SD adalah Photo Box.
Mengenai
Photo Box, tahun 2000-an awal Photo Box sedang booming. Hampir tiap kali waktu kita-kita ke mall, kita masuk ke
Photo Box. Narsisnya kita waktu SD dulu mungkin akan dibilang alay hari ini,
tapi sebagian besar normal. Biasanya hanya senyum lebar-lebar, melet ke
samping, pura-pura musuhan, atau tangan metal/peace. Pernah sekali waktu, gue,
Joshua, Joel sedang di Photo Box, lalu kami membuat pose-pose yang buruk dan
tidak layak cetak. Untungnya, ada kesempatan kedua dengan memencet tombol yang
sebelah kiri. Waktu itu, gue juga lupa ada apa, kita sepertinya sedang
terburu-buru. Sulit untuk menentukan sebaiknya cetak atau meluangkan waktu
lebih lama untuk foto ulang. Karena waktu untuk menentukan dihitung mundur,
maka Joshua sebagai yang ingin memencet tombol panik. Akhirnya, ia memencet
tombol untuk dicetak. Maka jadilah foto itu. Gue sendiri udah ga punya lagi
fotonya. Setelah SMP, gue dan Joel juga pernah sekali Photo Box. Lupa di mana,
tapi gue foto pake baju pramuka. Jadi itu pasti udah SMP.
Jadi
ini adalah cerita keanehan singkat yang terjadi waktu gue SD. Angkatan yang
dibawah kita aja sepertinya ga melakukan hal-hal macam itu. Ini juga yang
membuat teman SD masih signifikan. Jangan cap gue karena gue anak sosial dan
akhirnya jatuh pada ekstrim SKSD, tapi sepertinya memang masih deket. Besides, sosial media membantu cukup
banyak. Tetep aja, signifikan atau engga kan berdasarkan memori sama hati.
Kalau sudah di umur yang sekarang, ngomongin soal hati jauh lebih pas.