April 11, 2012

Rumahku dan kondisinya

                Rumah ini emang ga bisa diajak mikir. Ini satu-satunya tempat dimana saya hanya bisa asal-asalan untuk mengerjakan segala sesuatunya dimuka bumi ini. Satu-satunya tempat dimana kalau ada orang, saya tidak bisa mengerjakan hal yang berguna.
                Tulisan saya jadi ngarang-ngarang. Pikiran ga konsentrasi. Ide ga pernah muncul. Bahkan sebenarnya bukannya ga pernah muncul, tapi ide yang udah disusun rapi diatas motor atau di dalam angkutan umum bisa hilang begitu saja di rumah ini. Rumah setan!
                Mungkin saya juga sudah pernah cerita di cerita saya yang sebelumnya mengenai betapa saya bete sekali dengan rumah ini. Asli deh.
                Liat aja sekarang saya ga tau mau tulis apa. Tulisan ini jadi kacau bahasanya. Udah kayak anak kampung baru belajar nulis.
Biar ngerti betapa bencinya saya sama rumah ini, mari saya ajak kalian semua berkeliling. Jadi, rumah saya itu kecil, ga gede. Begitu masuk, mata kalian akan tersaji dengan 1 meja tamu beserta set sofanya, 1 meja di depan TV 21 inch dan juga sofanya yang warna kuning-kuning emas gitu, 1 pintu kamar mandi, dan 2 pintu kamar yang adalah kamar saya dan kamar bapak-emak saya.
Di depan pintu kamar emak-bapak ada satu meja kerja dan 2 rak buku yang setinggi perut. Di situ banyak kabel-kabel charger bertebaran sana-sini, kadang rapi kadang kacau balau. Di situ adalah tempat saya mengerjakan PR mandarin dan baca buku Sejarah Indonesia Modern, karena kalau engga kerjain di meja bisa-bisa saya ketiduran. Cuman 2 kerjaan itu yang saya kerjakan di meja kerja, sisanya bisa kerjain di kasur sambil chatting dan pacaran.
Di depan meja kerja itu ada satu papan tulis yang tergambar sebuah kotak-kotak untuk kalender yang terisikan jadwal selama sebulan. Keluarga saya cukup ketat urusan waktu dan jadwal kepergian atau kepulangan. Saya tidak boleh pergi ke suatu tempat kalau tidak pernah ditulis di kalender itu. Keluarga yang sungguh terencana. Jadi, tidak heran kalau hidup saya sudah sangat sering saya rancang dan rancang ulang, namanya juga budaya keluarga.
Kalau masuk ke dalam kamar saya, yang kira-kira luasnya 4x4 meter ini, kalian akan langsung melihat lemari excel di depan kalian, sebuah kasur besar, kemudian sebuah rak yang sama dengan yang disamping meja kerja di samping kanan kalian dan sebuah gitar dan tas sekolah saya tepat disamping kanan kaki kalian. Di balik pintu ada gantungan untuk bathrobe, ikat pinggang, jeans dan juga topi atau celana yang masih akan saya pake besoknya. Di atas kasur ada 2 guling, 2 bantal, dan 2 selimut. Padahal yang tidur cuman 1 orang. Begitulah saya, maruk. Di samping lemari excel yang tadi itu, ada rak lagi tapi ada pintunya. Isinya barang-barang penting. Sampingnya lagi ada lemari baju yang (beneran deh) teratur sangat rapih berdasarkan fungsinya. Kasur saya mepet dengan tembok, dan di sebelah kanan atas kasur, ada jendela yang langsung ngadep ke taman yang ada pohon pisang gede. Satu kelebihan dari kamar ini adalah sinyal operator apapun akan selalu penuh, ga pandang iklan deh pokoknya.
Ya, kira-kira itulah lingkungan saya bekerja dan memproduksi tulisan-tulisan yang bermutu maupun yang engga(seperti yang ini, misalnya). Rumah yang sebenarnya ga terlalu sumpek, tapi ya begitulah. Entah kenapa saya tidak bisa mengerjakan hal hebat di rumah ini. Itu sebabnya sering saya nginep di rumah temen saya untuk ngerjain tugas. Karena, di rumah pasti ga kerjain apa-apa. Heh, saya bete dengan rumah ini. Tapi mau gimana, saya belum bisa beli sendiri.