December 15, 2011

Aku dan menulis 7

                Aku selama ini bersahabat dengan sesuatu. Sesuatu ini tidak berwujud apa-apa. Tetapi, sebagai  seseorang yang senang berimajinasi, aku pikirkan seandainya menulis adalah seorang manusia. Pastinya dia tergambar sebagai orang tua, lebih tepatnya kakek-kakek. Entah kenapa dia terasa seperti laki-laki. Mungkin karena aku laki-laki dia bersikap seperti laki-laki. Rasanya pasti aneh kalau dia bersikap seperti laki-laki ketika dia bersabahat dengan seorang perempuan yang sebelumku. Lebih aneh lagi kalau ternyata dia benar-benar punya gender. Ah, sudahlah. Tidak usah di pikirkan lagi.
                Yang ada di otakku saat aku membayangkan dirinya adalah seorang kakek yang sangat bijak dengan kumis dan jenggot putih yang sudah panjang. Seperti bagaimana kakek-kakek yang di gambarkan oleh Hollywood biasanya.
                Ada satu hal yang aneh semenjak aku mulai membayangkan rupa menulis. Aku sering bermimpi buruk. Sampai-sampai membuatku bangun subuh. Sekali waktu pernah aku bermimpi mengenai seorang anak kecil di sebuah rumah yang sederhana. Dia bermain-main sendirian. Lari sana-sini, lompat-lompat.
 Tiba-tiba datang seorang kakek tua, persis seperti apa yang kubayangkan tentang menulis. Kakek tua itu mengangkat tangannya dan rumah itu bergerak-gerak, seperti ada gempa. Lama-lama rumah itu memakan anak kecil itu. Tergerus habis. Aku melihat darah. Tulang hancur.
                Mati sudah anak kecil itu. Tak berkutik lagi. Rumah itu kemudian tegak lagi seperti asalnya. Dan aku lihat kakek tua itu masih berdiri di tempatnya. Tangannya sudah diturunkan. Ku lihat dia memakai sebuah jubah putih yang panjang. Kemudian, darah anak kecil itu beserta serpihan-serpihan tulangnya mengalir sampai ke bawah jubah kakek tua itu. Sampai darahnya habis tak tersisa.
                Setelah itu aku terbangun. Keringat mengucur di seluruh tubuhku. Aku panik. Kulihat jam di dinding, menunjukkan pukul 2.15.
                Mimpi-mimpi itu masih terus berlanjut sampai sekitar empat hari. Dengan tokoh yang sama, anak kecil dan kakek tua. Hanya saja dengan versi yang berbeda-beda. Dan selama empat hari berturut-turut itu aku selalu bangun terlambat dan akhirnya masuk sekolah juga terlambat. Di hari yang keempat, aku kemudian berbicara dengan menulis. Dengan sikap dingin dia menanggapi.
                Aku lalu tulis-tulis di kertas. Mengenai mimpiku, mengenai betapa aku membenci mimpi itu, mengenai betapa berdampaknya mimpi itu dalam kehidupan sehari-hariku. Setelah selesai tulis, aku duduk dan kemudian tertidur dengan sendirinya.
                  Aku bangun pukul 6 pagi dan menyadari kalau aku tidak mimpi apa-apa barusan. Tidak mimpi buruk, ataupun mimpi indah. Kosong saja. Hitam. Bolong. Eh, bolong! Aku ingat itu. Seperti sebuah black hole yang sering disebut-sebut oleh para ilmuwan. Menghisap segalanya tanpa pilih-pilih. Sepertinya aku tahu apa maksud mimpi itu. Lubang hitam yang gelap itu tadi sedang menghisap semua memoriku mengenai mimpi-mimpi yang ku lihat di hari-hari sebelumnya. Itu juga yang ku pikir membuat mimpi burukku tidak berlanjut di hari-hari selanjutnya.
                Tapi, ah, kalau lubang hitam adalah penghisap segala tanpat memilih, harusnya dia juga menghisap memori yang lain, tidak hanya itu. Aku ini memang sering bingung sendiri. Sama sekali tidak pintar, kecuali pada saat bersama dengan menulis.
                Atau mungkin saja, mimpiku tidak berlanjut karena menulis tidak menghantuiku lagi. Sepertinya aku mendapat mimpi buruk karena aku membayangkan rupanya yang seperti kakek tua. Mungkin dia tidak suka. Menulis ternyata juga punya perhatian mengenai dirinya sendiri.
                Sepertinya dia memaafkanku karena dia telah membaca karyaku. Karya yang dihasilkan akibat amarah yang mendalam dan harapan untuk mimpi buruk itu segera hilang. Dengan itu sepertinya dia langsung memaafkanku dengan segera.
                Semenjak itu aku tidak pernah membayangkan lagi rupa menulis seperti apa. Biarkanlah itu tetap tersembunyi selamanya. Setiap orang punya rahasianya masing-masing, begitupun dengan menulis (walaupun dia bukan orang).
                Malam selanjutnya, sebelum aku tidur aku tulis-tulis lagi di atas kertas. Sebuah paragraf kecil.

Tak ada rupa di dunia ini yang cocok untukmu. Kau bukan manusia, bukan binatang, bukan juga tumbuhan. Mungkin kau adalah pesuruh Tuhan untuk menjaga dan menemani manusia yang membutuhkanmu. Tak ada tubuh sedemikian indah di dunia ini yang cocok untukmu. Tak risau aku soal rupa dan tubuhmu, ketika kau ada kau sudah menampakkan semuanya dengan jelas kepadaku.