November 7, 2012

Semangat Menulis dari Hati ke Hati


                Belakangan ini, jarang sekali saya punya kesempatan untuk menulis. Setiap hari, saya selalu disibukkan oleh pekerjaan sekolah, ada pacar yang serius, ada tim futsal yang latihan terus, ada juga murid yang sangat-sangat butuh dibantu, lalu ada rumah yang harus dirapikan. Wah, repot! Saya setiap hari sampai di rumah, minimal jam setengah tujuh. Tentu saya sangat bersyukur kalau bisa pulang lebih awal.
                Rasanya, seperti sudah kerja kantoran saja, bahkan mungkin lebih parah. Saya masuk sekolah jam tujuh pagi dan selesai sekolah jam setengah tiga. Setelah itu, ada tambahan pelajaran, tentu saja karena saya sudah kelas 12. Hari Selasa, latihan futsal. Hari Rabu, saya mengajar ekskul. Di kondisi yang seperti ini, saya baru menyadari betapa waktu itu uang. Lebih lama pulang, lebih mahal ongkos hidupnya.
                Selama beberapa minggu yang sibuk ini, saya juga belajar satu hal sebagai seorang penulis muda. Rasa rindu akan berkata-kata lewat tulisan. Saya ini bawel, seringkali kepuasan berkata-kata oral terpuaskan dengan baik, tetapi saya juga suka menulis. Kerinduan saya selalu terbendung oleh banyaknya hal yang harus dikerjakan dan juga kondisi hati yang makin jarang bahagia. Walaupun begitu, saya juga masih suka menulis puisi di kertas coretan sewaktu ujian matematika, atau menulis artikel protes kepada sekolah di selembar kertas (dan parahnya, saya suka sengaja berusaha terlihat sedang menulis dan tidak memperhatikan, supaya guru saya baca keresahan hati saya, dan mungkin, teman-teman juga), dan beberapa kali saya juga menulis cerita-cerita pendek.
                Menulis esai untuk tugas masih hal yang menyenangkan bagi saya, tidak terasa seperti tuntutan, kecuali pelajaran sejarah. Saya masih menikmati proses itu. Penjabaran sebuah masalah, lalu memecahkannya seperti sebuah ahli yang datang dan sedang menyelamatkan dunia intelektual.
                Dalam masa-masa kerinduan yang amat sangat, pikiran jernih saya lahir kembali dengan sebuah prinsip baru. Sebuah sentuhan penuh arti dalam jiwa dan sebuah ketukan ilahi dalam pikiran. Saya terselimuti oleh kata-kata ini sepanjang beberapa minggu, sampai saya menjadi panas, ingin cepat-cepat keluar lagi.
                Jadi begini, ini adalah mengenai jawaban dari pertanyaan “Mengapa manusia harus menulis?” Manusia tercipta dari kata-kata. Manusia hidup dengan nama, sebuah bagian dari kata. Manusia bersosialisasi dengan manusia lain, dengan binatang, dengan tumbuhan lewat kata-kata. Simbol dan sandi pun melambangkan sebuah kata. Manusia tak dapat terpisah dengan kata. Bahkan, penyebutan “manusia” membutuhkan sebuah kata.
                Selama di kendaraan umum, di kelas selama belajar, di kelas selama mengajar, terkadang di gereja sewaktu mencatat khotbah, selama termenung menatapi hujan, dalam berbagai macam kondisi, selama itulah saya memikirkan kata-kata saya yang itu. Ketika terungkap, bahwa manusia tak terpisahkan dari kata, di situlah semangat membara keluar dari hati.
                Hati itu memang kompleks. Butuh lebih dari jutaan hadiah materi untuk memuaskannya, tetapi hanya dengan satu janji manis, maka sang pemilik hati akan tersenyum. Ini mengapa cinta itu topik yang laku, karena cinta menawarkan janji termanis yang pernah ada. Dan cinta, tak dapat lagi diungkapkan dengan kata.
                Karena itulah. Karena itulah saya masih terus. Terus menulis. Terus memiliki hati yang berkobar. Karena, saya cinta menulis.  Menulis itu refleksi hati, refleksi hidup, refleksi cinta dengan manusia. Saya cinta merefleksikan cinta saya.
                Ah, kata-kata itu mudah dipermainkan, tetapi susah dipegang. Kalau tidak dipaksa berhenti menulis, saya tidak bisa berhenti, maka tulisan manusia berhenti.  Biar iluminasi dan afeksi yang diberikan mengalir sendirinya dalam pikiranmu, ya.

Rokok+Polusi

                Sekarang, saya bukannya sedang ingin bicara bahwa rokok menyebabkan polusi udara, lalu maka itu saya menentang orang untuk merokok agar udara bersih. Bukan itu poinnya.

Memang, rokok itu menyebabkan polusi udara, tetapi tidak secara makro. Polusi udara yang disebabkan asap rokok tidak lebih besar dampaknya dari asap kendaraan atau asap pabrik. Kita yang tinggal di Jakarta, pasti mengerti.

Kita, yang adalah orang-orang aktif, orang-orang yang selalu bepergian dan melewati jalanan Jakarta Raya yang dipenuhi kendaraan bermotor hingga macet tak karuan, setidak-tidaknya memiliki paru-paru yang sudah tidak lagi sehat. Kandungan zat-zat beracun di paru-paru kita, setidaknya sudah cukup untuk merusak banyak bagian lainnya di tubuh kita, seperti aliran darah, jantung atau apalah yang berhubungan dengan paru-paru. Saya sih percaya seluruh organ di tubuh kita berhubungan. Maaf ya kalau saya kurang mengerti peta biologis, saya anak sosial.

Hanya dengan hidup seperti biasa di kota ini, sudah bisa menyebabkan penyakit. Apalagi, ditambah dengan merokok. Mungkin suatu saat nanti atau mungkin sudah ada orang yang tidak merokok, tetapi terkena kanker paru-paru.

Ini yang ada dipikiran saya ketika saya menyadari hal yang saya tulis di atas: Ekstrimnya, semua orang di kota ini pasti akan mati karena polusi udara. Secara rata, mati karena kanker paru-paru. Lalu, apa yang sebenarnya perokok lakukan? Hanya mempercepat kematian itu. Penyebabnya akan sama, kanker paru-paru juga.

Seorang teman baik saya pernah berkata, orang yang merokok itu, dalam setiap rokok yang dia hisap, menghabiskan 2 menit waktunya untuk menghisap rokok dan 2 menit waktu hidupnya di masa depan. Saya pikir, iya memang. Walaupun tidak setepat itu, tapi iya benar. Merokok itu mempersingkat hidup.

Tahu tidak, betapa hidup itu indah? Betapa kesusahan membawa kita untuk bertumbuh menjadi orang yang lebih kuat dan kegirangan meringankan segala pekerjaan. Jangan merokok untuk kedua alasan itu. Susah, tidak perlu dibius dengan merokok. Senang, juga tidak perlu dirayakan dengan merokok. 

September 1, 2012

Jadi Guru Ekskul


                Jadi guru itu enak juga, ya. Agak merasa lumayan berkuasa. Apalagi kalo jadi guru ekskul. Jadi guru ekskul lebih enak daripada jadi guru pelajaran, karena murid-murid yang masuk ekskul adalah murid-murid yang benar-benar minat. Kalau kondisi sudah begini, setiap kali bicara tentu didengarkan.
                Konyolnya, atau juga bisa dibilang uniknya, saya jadi murid dan jadi guru di satu sekolah yang sama. Kalau kamu hebat, kamu pasti bisa tebak saya jadi guru ekskul apa. Ya, itu. Ekskul yang ada hubungannya sama tulis-menulis. Ekskul Penulisan Kreatif, lebih tepatnya. Bukan hanya mengenai menulis cerita dan artikel, tapi saya juga ajarkan mereka tulis puisi, naskah, dsb.
                Kemarin ini, baru minggu kedua saya mengajar. Satu minggu satu kali, namanya juga ekskul. Seru memang, walaupun hanya baru dua kali. Saya tidak sabar menunggu minggu-minggu berikutnya.
                Ngomong-ngomong, saya sudah bisa susun silabus kecil-kecilan, lho. Asik, ya! Pengalaman baru. Nanti, seiring berjalannya waktu, pengalaman saya mengajar bisa jadi pengalaman yang berpengaruh dalam hidup saya ke depan. Semoga begitu.
                Sebenarnya, ada cerita dibalik saya bisa jadi guru ekskul. Jadi, guru ekskul sebenarnya, yang adalah juga guru besar sastra sekolah saya dan juga wakil kepala sekolah, tidak bisa mengajar karena jadwalnya sudah padat. Karena di sekolah saya, saya terkenal akan kemahiran menulis, jadilah saya yang dipilih untuk menjadi guru.
Dan jangan salah sangka, saya tidak jadi guru bayaran. Kadang, ingin juga minta gaji, tapi saya juga belum yakin saya sudah sehebat itu untuk dapat gaji. Lama-kelamaan, saya jadi ingin jadi guru ketika nanti besar. Kata orang, guru adalah pekerjaan yang mulia, itu kenapa Yesus memilih menjadi guru.
Ah, dunia ini tidak bisa diprediksi. Tuhan membentuk saya dan kamu secara perlahan dan misterius. Ketika kita setia, kita akan tahu dan melihat sendiri nanti. Cita-cita itu seperti ilusi jadinya.