November 8, 2011

Aku dan Menulis 2

                Seperti yang sudah kuceritakan mengenai diriku sebelumnya, aku adalah seorang yang hidup dengan menulis. Maksudku bukan mencari nafkah dan hidup lewat hasil dari apa yang kutulis, aku masih terlalu pemula untuk itu, tetapi aku hidup bersama dengan kegiatan tulis menulis ini. Ya, aku dan menulis sudah hidup bersama dan menjadi teman baik yang cukup lama.
                 Aku tidak setiap hari menulis di atas selembar kertas atau mengetik di komputerku, namun seringkali aku menulis di dalam pikiranku. Aku membuat kerangka-kerangka penulisan yang nantinya pasti aku akan tuliskan di atas kertas atau kuketik di komputer. Terkadang lama sekali jarak waktu dari sejak aku memikirkan mengenai cerita itu sampai aku berhasil menyelesaikan tulisan itu di atas selembar kertas.
                Biasanya aku berpikir sewaktu di jalanan atau di tempat-tempat umum lainnya. Aku bisa berpikir ketika banyak hal-hal yang ada bagiku untuk disaksikan. Misalnya di dalam sebuah kereta yang sering aku tumpangi, aku melihat banyak sekali fenomena-fenomena sosial yang terjadi di dalam sebuah gerbong kereta. Hanya satu gerbong saja aku bisa melihat banyak ibu-ibu yang berebut kursi untuk duduk, seperti puluhan singa mengincar seekor mangsa. Parahnya, ketika tidak mendapat kursi untuk duduk, ibu-ibu itu sudah menyiapkan kursi lipat untuk dipakai duduk di area tempat orang seharusnya berdiri.
                Ketika di rumah, semua ide dan keinginan untuk mengerjakan sesuatu hilang rasanya, sudah tidak bergairah lagi. Tidak ada sesuatu yang dapat dilihat untuk memacu aku berpikir mengenai sesuatu. Bahkan, salah satu hal yang tentu saja bisa membuatku memiliki sebuah ide untuk menulis, yaitu membaca buku, tidak bekerja sama sekali saat berada di rumah. Jadi, yang kukerjakan di rumah hanyalah menulis ulang dari apa yang sudah ada di pikiranku atau mengetik apa yang sudah aku tulis di kertas untuk ‘diabadikan’. Percaya atau tidak, bahkan dalam penulisan ulang pun itu bisa berlangsung lebih dari 1 jam, hanya karena kurang berhasrat untuk membaca ulang di rumah.
                Pernah suatu kali aku menulis secara acak mengenai isi pikiranku, apapun itu. Yang pasti aku hanya ingin tulisannya mengalir seperti otakku bocor ide. Akhirnya keluarlah semua unek-unekku mengenai bahasa Indonesia yang seringkali disalahartikan oleh banyak remaja Indonesia. Tetapi, ketika aku membacanya ulang beberapa hari kemudian, ada banyak sekali ketidaksinambungan antara satu paragraf dengan paragraf lainnya, dan yang lebih membuat itu tambah hancur lagi adalah aku sendiri bahkan tidak bisa menangkap ide dari tulisan ini. Karena memang diawali benar-benar tanpa ide sama sekali.
                Itulah rumah bagiku. Sebuah tempat dimana aku dan menulis jadi tidak bersahabat. Seperti semua kisah persahabatan lainnya, pasti ada suatu hal yang membuat kedua orang sahabat selalu bertengkar karenanya.
                Seperti pada definisi awal dari sebuah rumah, adalah tempat untuk kita boleh kembali pulang dan beristirahat di dalamnya. Dan rumah sebagai tempat istirahat adalah tempat dimana hubunganku dengan menulis harus berhenti sementara waktu, karena aku juga perlu istirahat, begitu juga kiranya dengan menulis.  

Terang itu

                Tempat itu gelap. Walaupun hangat dan nyaman, Reno tetap merasa ada yang kurang. Dia meraba-raba tubuhnya sendiri, mencari apa yang kurang. Tidak didapati apapun di tubuhnya. Ia menengok ke kiri dan ke kanan. Tidak terlihat apapun. Ia bisa merasakan ruangan itu tidak kecil dan sempit, tetapi besar dan kosong melompong. Seketika ia sadar, tidak ada terang di ruangan besar ini.
                Reno sendiri tidak mengerti bagaimana caranya ia bisa ada di dalam ruangan ini. Mungkin ia dilahirkan di sini, atau mungkin ia diculik dan disekap di ruangan ini serta dicuci otak. Yang pasti, ia tidak ingat apapun mengenai dunia di luar sana. Ia tidak tahu apa rasanya berada di dalam terang. Reno sendiri sudah berada disini cukup lama rasanya.
                Menyanyi. Hanya itu kerjanya sepanjang hari. Suara nyanyiannya membuat ruangan itu terasa penuh. Besar dan indah suaranya, seperti layaknya penyanyi opera profesional. Yang Reno nyanyikan adalah lagu-lagu berbahasa latin yang indah-indah artinya. Sesaat ketika Reno berhenti bernyanyi, sunyi sepilah ruangan besar itu. Kesepian itu langsung menyergap dirinya tanpa permisi. Menyergap lebih cepat dari pada cahaya.
                Sudah berbulan-bulan rasanya sejak Reno berada di tempat gelap itu. Reno sendiri tidak tahu kalau hari terus berganti. Ia tidak bisa melihat keluar dari ruangan ini. Tetapi tampaknya Reno sudah makin terbiasa dengan kondisi ini. Ia bahkan sering berbicara sendiri, untuk mengusir rasa sepi itu. ‘Menurutmu seperti apa terang itu?’ Reno bertanya kepada dirinya sendiri ‘Terang itu pasti lebih baik daripada gelap, aku bisa melihat segalanya dengan terang.’ Reno menjawab pertanyaannya sendiri, dengan nada yang dibuatnya berbeda.
                 Semakin sering Reno berjalan dan berkeliling ruangan ini, semakin hapal dia akan betapa besarnya ruangan ini. Tidak hanya terasa seperti ruangan yang amat besar, tetapi terasa seperti sebuah istana kerajaan. Ia hanya bisa merasakannya, tidak bisa melihat.
                Suatu ketika, Reno menemukan sebuah jalan yang tidak biasa ia lewati. Terasa seperti sebuah lorong panjang. ‘Hoi..!!’ Teriakan Reno menggema sampai ke penghujung lorong itu. Jauh dan besar sekali rasanya lorong itu. Reno mencoba untuk masuk ke lorong itu dan mengikuti jalannya perlahan.
                Jalan itu hanya sebuah jalan lurus. Tidak ada persimpangan untuk belok. Cukup lama Reno berjalan. Ia tidak menemukan apapun sejauh ini. Langkahnya makin pasti dan makin besar. Ia yakin perjalanan ini masih jauh.
                Baru beberapa langkah ia berjalan dengan pasti, ia menabrak sebuah tembok. Reno sempat terhuyung ke belakang dan kembali menyeimbangkan dirinya lagi. Ia kemudian meraba-raba tembok itu dan menemukan sebuah kenop pintu. Kenop itu diputarnya dan terbukalah pintu itu.
                Tiba-tiba cahaya yang sangat terang menyinari seluruh badannya. Matanya tersambit cahaya terang itu dengan sangat keras. Karena tidak kuat lagi maka ia menutup matanya. Reno sempat meringis, tetapi kemudian ia berteriak dengan kencang ‘Oh.. Terang, sudah lama aku ingin bertemu denganmu, hampiriliah aku.’ Setelah itu dibukanya lagi matanya dan ia tidak menutupnya sampai terang itu mengisi matanya dengan penuh dan kemudian Reno menjadi buta. Gelap itu sekarang ada  di dalam Reno. 

November 2, 2011

Aku dan Menulis

                Belum pernah sekalipun kutulis mengenai diriku sendiri. Bahkan ini pertama kalinya kugunakan kata ganti ‘aku’ untuk diriku sendiri. Mungkin memang sesekali perlu juga kutuliskan mengenai diriku. Tulisan yang isinya berpusat hanya kepada diriku. Ini sama sekali tidak bertujuan untuk narsis kepada pembaca. Hanya agar pembaca tahu siapa aku ini.
                Selama ini aku selalu menceritakan hal-hal yang ada diluar diriku, teman-temanku, keluarga, atau juga mengenai hal-hal yang lainnya. Terkadang terlintas dipikiranku untuk menulis mengenai diriku sendiri. Tetapi tidak jarang juga aku tepis pikiran itu, karena takut dikira narsis. Mungkin di dalam kehidupan sehari-hariku seringkali aku narsis dan memuji diri, seperti mengatakan diriku ganteng atau lucu. Aneh memang, tetapi mau bilang apa lagi? Itulah diriku. Hanya saja, hampir tidak pernah aku menuangkan hal-hal seperti itu di dalam tulisan-tulisanku.
                Menulis bagiku lebih dari sekedar hobi. Bagiku itulah hidup. Sejak kelas satu sekolah dasar, bakat menulisku memang sudah sedikit terlihat. Cerita pertamaku adalah cerita mengenai liburan tahun baru pada tahun itu. Di sekolah dasar, tugas itu memang hampir setiap liburan selalu ada. Cerita itu kemudian dibacakan di depan kelas. Nah, bakat itu terlihat ketika aku maju dan membacakan ceritaku. Sebelumnya cerita teman-temanku tidak terlalu panjang. Ada yang bercerita hanya di Jakarta dan tidak kemana-mana atau dia pergi keluar kota dan berlibur bersama keluarganya, hampir semua bercerita singkat. Ketika giliranku tiba, ceritaku cukup panjang. Hari ini aku sudah tidak lagi ingat akan cerita apa yang kuceritakan, tetapi aku ingat kalau cerita itu cukup panjang, setidaknya lebih panjang dibandingkan dengan teman-temanku.
                Walaupun begitu, namanya juga anak kecil, aku masih tidak tahu kalau itulah bakatku. Cita-citaku pada saat itu adalah sebagai pilot. Sejak kecil aku sangat kagum dengan kebebasan burung yang dapat terbang kemana-mana, dan akhirnya aku bercita-cita sebagai pilot.
                Seperti anak-anak normal lainnya aku bertumbuh dan bertambah usia. Pada usiaku yang kesepuluh aku dan ayahku pergi dan memeriksa mata di sebuah optik. Ayahku yang sudah mengenakan kacamata yang cukup tebal memeriksa seperti biasa dan tidak ada perubahan. Ketika aku memeriksa, aku terkejut. Ternyata mataku sudah tidak normal lagi, mataku silinder. Walaupun tidak sampai silinder satu, aku tetap harus segera memakai kacamata. Pada awalnya aku sangat senang ketika aku dinyatakan harus memakai kacamata. Aku akan menjadi seperti ayahku, begitu pikirku. Akhirnya terwujudlah keinginanku memakai kacamata. Rasanya biasa saja, tidak terlalu berbeda dengan saat aku tidak memakainya.
                Setelah memakai kacamata aku langsung pesimis mengenai cita-citaku untuk menjadi pilot, karena salah satu syarat untuk menjadi seorang pilot adalah matanya harus normal.  Akhirnya aku berusaha mencari sebuah cita-cita yang lain. Yang terpikirkan saat itu adalah menjadi seorang pelukis. Padahal nyatanya gambarku sama sekali tidak bagus. Kembali lagi aku memikirkan dari awal akan jadi apa diriku waktu besar nanti.
                Aku kemudian melihat kakakku yang kuliah di jurusan komunikasi massa. Saat itu dia sudah lulus dan bekerja di sebuah majalah. Di sana ia menjadi salah seorang penulisnya. Seringkali aku melihatnya menulis di laptop IBM tuanya. Seperti yang kita tahu, figur orangtua atau seorang kakak sangatlah penting untuk contoh bagi seorang anak. Karena aku menganggap pekerjaan kakakku adalah pekerjaan yang sangat menyenangkan, aku kemudian mulai mencoba menulis cerita.
                Sejak pertama, aku tidak pernah menulis dengan sebuah pensil dan kertas. Tulisan pertamaku kuketik di laptop yang sama dengan yang digunakan kakakku. Aku terduduk di samping ayahku yang sedang bekerja menggunakan laptopnya. Selama menulis suasananya tenang. Kebetulan di sampingku ada saudaraku yang masih kecil yang menjadi saksi mata sewaktu aku menuliskan cerpen pertamaku, entah dia masih ingat atau tidak. Cerpen pertama itu jadi setelah dua jam lamanya. Sekarang aku sudah tidak tahu lagi ada dimana cerita itu.
Cerpen itu bercerita mengenai pertarungan dan perebutan kekuasaan wilayah antara sekelompok serigala melawan sekelompok singa. Serigala tidak ingin kalau singa menjadi raja rimba, mereka ingin memberontak terhadap hukum alam tersebut. Akhirnya sekelompok serigala itu kalah dan tiga per empat populasi mereka mati dihabisi para singa. Dan pesan dari cerita ini adalah jangan pernah mencoba melawan hukum alam yang sudah ada, karena itu hanya akan menjadi sia-sia.
Itu adalah cerita pendek pertamaku. Bagiku cerita ini hebat sekali! Seorang anak kelas 5 SD bisa membuat sebuah cerpen dalam waktu dua jam setebal 4 halaman yang memiliki sebuah pesan di dalamnya. Hebatnya lagi, aku bahkan membuat sebuah cerita yang penuh dengan pembunuhan dan peperangan. Bukannya sombong, aku pun sampai hari ini masih takjub akan diriku sendiri sewaktu kecil dulu. Ada banyak hal yang sampai sekarang aku sendiri masih heran. Salah satunya adalah saudaraku, yang adalah seorang perempuan, dapat duduk tenang melihatku menulis selama dua jam. Seingatku, dia bahkan belum bisa membaca saat itu.
Sejak saat itu aku meneguhkan diriku untuk menjadi seorang penulis hebat nantinya. Aku mulai mencoba mengembangkan bakatku dan mencoba banyak-banyak menulis. Aku sampai mencoba menulis sebuah catatan harian atau diary, yang sampai sekarang hal seperti itu umumnya hanya dilakukan oleh perempuan. Tetapi, aku gagal melakukan hal itu. Sekali lagi itu karena aku memang tidak suka menulis menggunakan pensil dan kertas.
Tulisan-tulisanku belum pernah kucoba kirim ke sebuah koran atau majalah apapun. Aku masih malu pada saat itu. Hingga sekarang aku masih belum pernah mengirimkan satu pun cerita. Walaupun, sekarang lebih karena alasan malas dari pada karena malu. Terlebih lagi, sekarang sudah ada teknologi internet yang memudahkanku untuk menyebarkan tulisan-tulisanku lewat blog pribadiku.
Saking senangnya menulis, aku juga mengajak orang lain untuk mau menulis. Di SMA-ku ada satu mata pelajaran mengenai teknik presentasi. Di situ, aku menggunakan kesempatanku untuk mengajak teman-temanku untuk menulis. Presentasi pertamaku adalah mengenai ajakanku untuk teman-teman agar lebih senang membaca novel ketimbang membaca komik. Kemudian, saat kelas 2 aku mulai mengajak orang untuk menulis. Semua orang pasti senang kalau bisa membagikan apa yang dia sukai kepada orang lain, dan akan lebih senang lagi kalau ada orang yang menyenangi hal yang sama, begitu juga diriku.
Inilah ceritaku mengenai awal hubungan baikku dengan dunia tulis-menulis. Banyak yang ingin kuceritakan sebenarnya, tetapi kurasa ini saja sudah cukup panjang. Malahan terlalu panjang hanya untuk bercerita mengenai satu orang dan hal yang disenanginya. Sampai berjumpa lagi dengan bayangan diriku di tulisan-tulisanku yang selanjutnya.