October 25, 2013

Festival Ajib

Dengan Dua botol Nutrisari
Dan Sebungkus kacang Mayasi
Sebelum tiba cahaya matahari
Sudah terduduk di atas bus Damri

Menanti tujuan selanjutnya
Menuju sesuatu yang ditunggu-tunggu

                Sebulan menunggu festival besar ini. Menghayal akan hal-hal yang tidak akan terjadi (dan tidak perlu ditanya lebih jauh), menunggu akan kemeriahannya. Segala bayangan itu melompat-lompat di dalam kepala gue yang kecil ini.

                Sebulan setelah gue pesen tiket kereta, booking hotel, dan tentunya tiket acara ini, akhirnya subuh itu datang juga. Tiket untuk pesawat pukul 5.20 WIB, dari Cengkareng ke Denpasar sudah rapi terlipat di dalam tas selempang. Dengan susunan uang yang juga sudah rapi untuk bayar bus Damri dan airport tax.

                Gue memang merencanakan untuk sampai di Ubud sehari sebelum acaranya mulai. Akhirnya menghabiskan waktu satu harian untuk foto-foto sendiri dan jalan-jalan.




                Besoknya, tidak seperti pembukaan festival meriah lainnya, opening di adakan di salah satu venue, yang adalah Museum Neka. Hanya ada satu tari-tarian Bali yang indah dan lumayan memukau, lalu ada opening speech dari founder UWRF dan juga ada keynote speech dari Goenawan Mohamad. Abis itu, gue mendengarkan panelnya Sebastian Faulks. Dia yang nulis buku Devil May Cry, yang tokoh utamanya adalah James Bond.

Goenawan Mohamad lagi Keynote Speech

                 Setelah panelnya selesai, gue sempet ketemu Pangeran Siahaan dan janjian mau nonton bareng (dan akhirnya ga jadi karena ga tau mau nonton di restoran apa yang ada TV, ga perlu dibahas cerita nyari-nyarinya gimana). Abis itu buru-buru ke motor dan melakukan perjalanan terpanjang gue selama naik motor.

                Jadi begini, gue berencana untuk ikut book launchnya Trinity (penulis The Naked Traveler series) yang mulai jam 3 WITA di mall paling besar di Bali yang pernah gue tau. Gue jalan dari Ubud jam 1 dengan perut agak terisi setelah makan pagi yang super banyak. Perkiraannya, satu jam sampai dan bisa makan dulu sebelum nonton si teteh.

                Ternyata, 34 km tidak bisa ditempuh secepat itu dengan kendaraan beroda dua dan bermotor. Walaupun begitu, memang akhirnya pas-pasan. Sampai di Gramedia sudah tinggal 2 menit lagi sebelum acaranya mulai. Jadi, ya sudah.

                Satu hal yang terjadi (di luar perkiraan) juga dan sangat tidak menyenangkan adalah kondisi bokong yang sudah mati rasa akibat duduk di jok motor standart selama dua jam. Akhirnya selama acara gue berdiri-berdiri aja walaupun sewaktu dateng ada 1-2 kursi yang masih kosong.

Di Gramedia Mall Galeria, Bali

                 Setelah acara Book Launch sudah selesai, gue ngobrol-ngobrol sama Trinity dan kru dari penerbitnya sambil makan kue semacam muffin dan satu botol kecil air mineral. Gue dateng memang untuk ngobrol-ngobrol yang ini. Di-briefieng karena mau ngemsi buat book launch Trinity di Ubud nanti. Trus senengnya adalah waktu dapet buku terbarunya dia, yang mau di-launching, secara gratis. Cekikikan gitu dalam hati.

Ngobrol lumayan lama sambil ngopi sampai hari mulai gelap. Karena masih buta banget sama Bali, akhirnya gue memutuskan untuk buntutin mobilnya mereka sampai Ubud. Sekali lagi, perjalanan panjang di atas sepeda motor yang memakan korban dua bongkahan pantat yang berujung pada kematian (rasa).

Malamnya, karena tidak jadi nobar, gue ikut street party di jalanan tempat gue tinggal. Setelah selesai, gue baru sadar ternyata ada dua acara di street party ini. Gue cuma ikut nontonin band regae di depan sambil ngikut nanyi dan joget-joget. Acaranya ga selama yang gue pikirkan, ternyata cuma sampai jam 11. Pulang dengan kelelahan dan langsung tidur.

Besoknya, hal yang paling menarik adalah gue ketemu sama founder dari Lonely Planet, guide book untuk travelling yang paling terkenal. Dia adalah Tony Wheeler. Menyempatkan diri berfoto sama doi, yang legendaris itu. Rasanya sangat senang, tapi ini belum klimaks dari kesenenangan gue selama di Ubud. Hanya ini yang paling menarik sepanjang satu harian.



Hari Senin tanggal 14 Oktober 2013 pukul 1 lebih 30 menit. Acara yang paling di tunggu-tunggu dari seluruh acara menarik lainnya. Tidak perlu topik menarik atau tempat yang indah. Hanya perlu orang yang ditunggu-tunggu itu.

*jeng jenggg* muncullah Dewi Lestari di atas panggung sebagai panelis favorit gue sepanjang festival. Norak dan lega waktu lihat wajahnya untuk pertama kali. Entah apa yang gue harapkan dari melihat wajah penulis-penulis favorit gue, tapi Dewi Lestari di luar perkiraan. Perempuan yang cantik dan di luar stereotip penulis pada umumnya. Sekali lagi, gue pun juga sebenarnya belum tau apakah penulis zaman sekarang masih punya stereotip gondrong dan berantakan.

                Selesai panel, Dewi Lestari a.k.a. Dee langsung diserbu fans yang banyak banget. Berusaha tetap santai, walau hati dag-dig-dug, gue berdiri dan menunggu di belakang. Mau jadi yang terakhir aja.

Sambil berdiri-berdiri di belakang fans Dee yang banyak itu, gue sempat melihat fenomena yang membuat mata sedikit terpana. Ada seorang anak perempuan (yang diperkirakan dari lihat mukanya, seorang Bali asli) yang membawa seluruh koleksi buku karya Dee miliknya yang dipegang sendiri dan semua bukunya itu setebal dari dagu hingga pinggangnya. Bikin minder gitu karena gue hanya bawa satu buku. Satu-satunya yang bikin bangga adalah fakta bahwa buku yang gue bawa adalah edisi pertama.

Paling bangga nunjukin foto ini: Bareng Dewi Lestari

Sorenya baru deh gue ngemsiin Trinity. Satu jam yang menyenangkan, setelah akhirnya gue bisa masukkin satu experience lagi di resumè. Setelah itu, kita semua (gue, trinty, dan teman-teman asik lainnya) ngejer acara selanjutnya. Ada  yang ngejer acaranya Goenawan Mohamad, ada juga yang ngejer screening film. Gue salah satu yang ngejer screening film itu.

Doi Lagi bertemu fans, gue foto dari samping

Filmnya dokumenter, berjudul Jalanan. Bercerita soal 3 tokoh pengamen di jalanan Ibu Kota. Gue sempet perhatiin lokasi-lokasinya. Satu orang perempuan ngamen disekitar Blok M dan dua laki-laki (terpisah) ada di sekitaran Sudirman. Film ini ditonton oleh lebih lima ratusan orang (kira-kira). Seru dan lucu filmnya.

Di akhir film, ketiga tokoh itu maju ke atas panggung dan memainkan lagu original mereka. Ketiga orang itu mendapat tepuk tangan dan sorak-sorai yang meriah dari penonton, ternasuk di antaranya, gue sendiri.

Malam berakhir dan menutup dirinya sendiri. Tinggal bulan di atas sana yang menikmati segelintir manusia kalong yang tidak pernah tidur malam.

Pagi-pagi di hari terakhir festival ini di buka oleh panel di mana Dewi Lestari jadi salah satu panelisnya. Kali ini topiknya menarik, “Honouring Kartini”. Jadi ada 2 panelis perempuan dan satu moderator yang juga perempuan bicara soal gimana mereka berdua ini menjadi Kartini kontemporer gitu. Menariknya adalah salah satu panelis perempuan yang lain itu, Nila Tanzil, adalah juniornya Dewi Lestari waktu kuliah.

Di tengah-tengah mendengarkan sesi panel yang ini, gue sambil baca timeline Twitter. Ternyata ada berita mengejutkan dari panitia. Sapadi Djoko Damono tidak jadi hadir! Oh, tidak. Dia juga sebenarnya salah satu orang yang gue tunggu-tunggu kehadirannya dan juga tanda tangannya di buku terbarunya dia.

Setelah selesai panel yang ini, Dee lanjut lagi ke venue yang berbeda untuk panel terakhirnya. Soalnya setelah itu dia ngejer pesawat untuk kembali pulang ke Jakarta. Selesai di sesi panel yang satu ini, ternyata di kejer tanda tangan dan foto lagi. Gila juga, kata gue dalam hati. Emang ini perempuan hebat banget sih. Tadinya gue juga mau minta foto lagi, tapi karena lama dikerubungin fans-nya yang lain dan dia juga udah mau ngejer pesawat, gue jadi sungkan. Akhirnya hanya salaman aja terakhirnya dan senyum tersipu-sipu.

 Malam itu adalah malam penutupan, tapi gue tidak ikut. Alasannya karena motor udah dibalikin dan bingung nanti pulangnya gimana.

Hari setelah itu, gue mulai perjalanan cerita yang baru. Gara-gara UWRF 2013, tiba-tiba niat untuk ressurect tulisan lama yang sudah hilang. Kali ini, ditulis dengan perspektif yang berbeda. Entah lebih menarik yang mana. Berharap poinnya masih akan tetap sama.


*Ditulis tiga belas hari setelah festival selesai.