March 14, 2012

Cerita di perpustakaan sekolah

Selalu ada di kondisi bodoh macam ini. Dikelilingi oleh anak-anak SMP kelas 1 yang masih belum tau apa itu tata krama di perpustakaan, masih belum tau apa yang namanya bicara bisik-bisik, dan masih belum tau betapa galaknya ibu perpustakaan kalau ada yang ketahuan berisik.

Saya masih sama posisinya, di depan laptop, berusaha mencerna apapun yang saya rasa, saya dengar, saya lihat, dan segala yang menyentuh indra perasa saya. Ributnya pasar dan tenangnya rumah sakit adalah kondisi kontras antara bibir mereka dan bibir saya.

Yang lebih aneh lagi adalah ketika saya tahu, walau sebenarnya sudah tahu dari awal, kalau saya satu-satunya anak SMA di ruangan ini. Segala macam anak dengan celana biru dan satu anak bercelana abu-abu.

Brutal dan bodoh mereka ini. Kursi dibanting-banting, geser kanan-kiri. Anak yang gendut dan besar berusaha unjuk kekuatan dan anak yang kurus kecil berusaha lebih kuat dari yang gendut dan besar. Tentu saja itu hal yang brutal dan bodoh.

Saya juga pernah SMP, tapi saya tidak brutal dan bodoh. Saya mungkin brutal, tetapi tidak sebodoh manusia-manusia ini. Menulis mengenai mereka menyadari satu hal yang terus saya pernah lakukan selama SMP. Saya pernah menonjok teman saya sendiri sampai pingsan karena pertengkaran uang 5000 perak, yang sekarang tidak tahu 5000 itu untuk apa.
Awalnya, saya kira waktu saya tulis ini ada banyak yang baca karena penasaran, biasanya anak-anak ini kepo. Saya sendiri keponya keterlaluan, sejak dulu sampai amin. Tapi mereka ini memang gila. Jumlah mereka yang banyak mengalahkan kekuatan satu orang ibu perpustakaan. Mungkin mereka harus dihajar oleh sang kepala sekolah itu sendiri.
Bukannya saya gila, tapi saya harap saya punya 3 buah granat dan melempari granat itu ke tiga sudut perpustakaan ini dan melihat mereka semua mati dari luar. Ah, saya sudah seperti psikopat saja. Tapi saya tidak sekejam itu juga. Agaknya ingin melakukan itu, tapi dengan cara yang lebih halus. 3 granat itu adalah 3 guru besar di sekolah ini, Pa Ivan, Ibu Maya, dan Ibu Happy. Sebenarnya cukup salah satu dari mereka, tidak perlu ketiganya. Tapi, kalau yang masuk 3 jadi apa ya?

Sudah lewat 15 menit dan ketenangan bahkan tidak ada. Belum ada terdengar sebuah ketenangan dari sisi manapun perpustakaan. Mungkin mereka sudah makin tidak peduli dengan hadirnya ibu perpustakaan, atau mungkin ada atau tidaknya ibu perpustakaan tidak ada bedanya.

Emang dasar SMP, masih baru gede. Anak SMA juga banyak yang macam ini, sayangnya saya mungkin bukan. Saya lebih suka duduk diam-diam sambil melucu di depan laptop atau di atas kertas dengan sebuah bolpoin super tipis, kalau bisa tanpa tinta.

Oh, saya sadar satu hal lagi. Di sekeliling saya laki-laki semua. Pantas saja ributnya setengah mati.  Entah apa yang terjadi masa kini, laki-laki lebih ribut dari pada perempuan. Dulu steotipenya perempuan yang bawel dan cerewet, sekarang laki-laki juga ikut berisik. Bukan suara “bak” atau “buk” akibat suara pukulan, tapi suara mulut yang terus bicara tanpa henti. 

Untung saya dari dulu melatih kesepuluh jari saya untuk lebih aktif dibandingkan dengan mulut yang cuman 2 bibir atas-bawah ini. 10 lebih banyak dari 2, dan lebih bisa menghasilkan sesuatu dari pada 2 bibir itu.

Saya benci orang bawel. Bisanya cuman ngomong dan ribut aja. Ga kerja-kerja. Kalaupun omongannya penting, ya cuman bisa ngomong aja, tidak bisa dikerjakan dengan baik. Sampai akhirnya ada “you say you pay”, saking dunia sudah tidak percaya lagi kalau orang yang kebanyakan bicara bisa melakukannya juga. Memang, sedikit sekali orang macam itu. Kalau ada, pasti mereka langsung terkenal. Lihat Steve Jobs. Sayang dia sudah mati.

Ya, anyway, saya  bingung. Akan ada Steve Jobs lagi tidak di dunia ini yang lahir dari generasi yang bawel ini? Generasi super cacat di mana dari kecil saja udah korupsi. Sudah bawel, korupsi pula, lalu dosa apa lagi buat generasi selanjutnya?

Indonesia masih menjadi negara berkembang selama 67 tahun kemerdekaannya, and yet generasi mudanya makin tidak beres. Makin lama Indonesia sulit untuk menjadi negara maju. Makin lama mungkin makin tertindas di tengah-tengah dunia yang luas ini.

Saya sekarang sudah capek menulis mengenai suasana perpustakaan ini. Mereka sepertinya sudah menyelesaikan tugas mereka masing-masing dan sedang bersiap-siap untuk keluar ruangan ini dan saya akan mendapatkan ketenangan saya sebentar lagi. Selama ketenangan itu hadir, saya mau baca koran. Sudah cukup menulisnya.