Manusia
mengerti apa yang tidak enak dan yang enak. Manusia selalu ingin segala yang
enak. Di saat-saat yang susah, ketidakenakan memang harus ditahan. Ada yang
bisa menahan, ada yang tidak bisa dan depresi. Ketidakbisaan dalam menahan yang
tidak enak akan membuat kita menjadi makin tidak enak. Menahan ketidakenakan membuat
kita merasa yang tidak enak menjadi enak. Awalnya memang menahan, lama-lama terbiasa,
lalu menikmati. Menikmati yang tidak nikmat. Ini semua permainan psikologi
belaka.
I write what i see, i see what you don't see. So, i write what you don't see to make you SEE
November 28, 2012
November 21, 2012
Serba Langganan
Bagi pembaca yang tinggal di
kota Jakarta, pasti mengerti akan kota Jakarta yang memaksa penduduknya untuk
berpikir cepat dan bertindak cepat. Kalau tidak begitu, maka tidak akan
bertahan lama hidup sejahtera di kota Jakarta. Misalnya saja begini, saya
adalah seseorang yang sehari-harinya naik kereta untuk pulang ke rumah, suatu
hari terjadi hujan badai dan di salah satu stasiun kereta pusat, gardu listriknya
tersambar petir sehingga jalur kereta api macet sebagian dan tidak dapat
berjalan seperti biasa. Dalam kondisi seperti ini, kalau saya tidak memikirkan
alternatif dengan cepat dan juga efektif, maka antara saya akan sampai di rumah
malam sekali atau tidak pulang sama sekali.
Sebagai makhluk sosial, jika
hanya kita yang berpikir dan bertindak cepat, kita masih tidak sejahtera. Kita
butuh orang lain untuk berpikir dan bertindak cepat untuk kita. Itu mengapa,
menjadi seorang sekertaris atau asisten bos besar adalah pekerjaan yang sangat
besar dan dihargai dengan gaji yang juga cukup besar.
Orang-orang yang biasanya kita
butuhkan untuk berpikir atau bertindak cepat untuk kita adalah orang-orang yang
kita percaya. Agak susah memang mencari orang yang dapat dipercaya di kota
metropolitan yang keras ini. Begitu mendapat
orang yang dapat dipercaya, pasti akan selalu ingin dengan orang itu. Inilah
yang menyebabkan kita menjadikan orang lain langganan kita.
Banyak hal yang kita lakukan
yang perlu orang-orang kepercayaan untuk melakukan hal itu untuk kita, dan
biasanya orang-orang ini bukan hanya dapat dipercaya, tetapi juga menguntungkan
dalam segi ekonomi. Selain bisa diprioritaskan saat dilayani, kita juga bisa
mendapatkan harga teman. Karena hal-hal ini, maka sistem berlangganan marak di
mana-mana dan dipakai oleh banyak toko untuk menarik pelanggan.
Segala hal bisa dibuat menjadi
langganan. Dari langganan pinjam uang dari bank hingga langganan teman
menyontek, dari langganan minum kopi di Starbucks sampai langganan cendol
samping Masjid, dari langganan naik taksi silver bird sampai tukang ojeg.
Semuanya serba langganan. Semakin sering kita membeli barangnya atau
menggunakan jasanya, maka kita akan semakin menjadi prioritas mereka dan dilayani
semaksimal mungkin.
Sebenarnya, bukan hanya mereka
yang merupakan langganan kita. Kita juga sebenarnya adalah langganannya orang
lain. Entah apakah itu langganan untuk dimarahi atau langganan untuk dipinjami
uangnya atau langganan untuk ditebengi mobilnya atau hal-hal lainnya.
Rutinitas hidup di kota konyol
ini tidak bisa lepas dari yang namanya berlangganan atau dibuat menjadi
langganan, bahkan tukang ojeg pun punya tempat langganan untuk minum es cincau.
Pernah menyadari hal ini?
Labels:
Jakarta
November 15, 2012
Apalah Arti Sebuah Nama?
Hal yang akan saya ceritakan
ini, mungkin saja, common untuk
remaja Indonesia yang sedang berpacaran. Saya masih ragu apakah ini hal yang
biasa untuk dibicarakan di kalangan pasangan remaja di Indonesia atau bahkan
seluruh dunia. Maaf ya, belum sempat riset dulu.
Biasanya, hal ini dibicarakan oleh pasangan-pasangan yang
merasa hubungannya adalah hubungan yang panjang dan bertahan lama hingga
menikah. Saking mereka percaya bahwa mereka akan lama, maka sekali waktu akan
terjadi pembicaraan macam ini.
Bicara soal pembicaraan yang akan saya bicarakan, kalau di
bayangan pembaca sekalian ada hal yang aneh-aneh, buang saja. Ini hal yang
konyol dan sama sekali tidak berbau intim atau seksual dan hal-hal yang
memiliki kecenderungan pornografi dalam otak. Hanya saja, hal ini lucu ketika
dibicarakan begitu dini.
Apa yang lucu? Selain karena waktu untuk membicarakan hal
ini begitu dini, pasangan yang membicarakan hal ini benar-benar bersikap
seperti orang yang sudah menikah dan sedang menunggu keajaiban itu datang.
Padahal, (nah, ini juga salah satu lucunya) mereka sedang membicarakan ini
lewat SMS atau telepon, bukan muka dengan muka di atas satu tempat tidur yang
sama.
Pembicaraan ini, ketika sudah menikah, biasanya dibicarakan
muka dengan muka dan di atas satu tempat tidur yang sama atau di atas sofa
empuk yang sama sambil (mungkin) berpelukan atau saling menatap romantis satu
sama lain. Sejujurnya ya, itu juga hanya bayangan saya. Bayangan ideal saya
nanti. Saya kan belum menikah.
Intinya, harusnya ini adalah pembicaraan nanti saja dibicarakannya sewaktu
menikah dan bukan sewaktu pacaran.
Saya bukan ingin mencela pasangan yang membicarakan hal
ini, saya sendiri membicarakan hal ini dengan pacar saya. Saya sendiri
membicarakan itu karena sedang kehabisan ide untuk menghibur sang kekasih yang
sedang terkapar sakit. Jadinya, saya harus membicarakan hal-hal futuristik yang
menyenangkan, seperti pembicaraan yang akan saya bicarakan sekarang.
Sudah enam paragraf pembukaan, saya pikir cukup sudah
menggesek-gesek rasa ingin tahu pembaca megenai pembicaraan ini. Pembicaraan
itu adalah mengenai nama anak bayi nantinya. Pembicaraan yang membawa sepasang
kekasih terbang ke dunia khayalan yang agak jauh. Khayalan indah yang melupakan
betapa susahnya sebuah perjalanan cinta sampai bisa menikah, melupakan betapa susah
mengurus seorang anak bayi sampai besar, melupakan segala macam hal buruk.
Sejujur-jujurnya, sebelum kekasih jiwa saya menanyakan saya
“Kalau punya anak perempuan akan diberi nama apa?”, saya sudah sangat tau
jawabannya apa. Entah apakah saya ini terlalu gay atau apalah kata orang, tapi memang saya sudah pernah pikirkan
entah juga dari sejak kapan. Jadi, ketika ditanya hal itu, saya bisa menjawab
dengan lancar beserta arti-artinya dan alasan-alasan saya memilih nama itu.
Begitu ganti giliran bertanya, pacar saya masih pikir-pikir
(saya pikir, ini memang yang seharusnya, saya memang agak aneh). Karena sedang
sakit dan pusing, maka saya yang memikirkan ide-idenya dan dia hanya “iya” atau
“engga”. Beberapa kali, ia bertanya “Memangnya itu artinya apa?”. Ada yang saya
bisa jelaskan ada juga yang tidak. Penjelasannya beberapa hasil googling. Ya, ini adalah hal-hal yang
harus dilakukan pacar saat pacarnya butuh hiburan dan sedang sakit.
Sebenarnya, bisa saja saya mengatakan apa yang dikatakan
sang penulis drama terkenal, Shakespear, “Apalah arti sebuah nama?”. Memang
sangat bukan saya, bagi saya hampir semua yang ada di dunia ini harusnya ada
artinya. Hal-hal lainnya yang tidak ada artinya, bahkan bukan sesuatu hal.
Kita memang benar-benar harus menanyakan kepada diri kita
sendiri, apalah arti nama diri sendiri. Bagi beberapa orang tua, nama berarti
harapan orang tua terhadap anak itu, beberapa hanya ingin supaya anak itu
memiliki nama yang keren. Setelah tau arti nama diri sendiri, apakah kita
benar-benar harus menghidupi arti nama kita?
Pernah dengar cita-cita anak mulia yang berkata “Saya ingin
begini karena dengan begitu saya akan membahagiakan orang tua saya” atau
kata-kata prioritas mulia dari seorang anak “Yang penting orang tua saya
bahagia”. Nah, begitu juga dengan menghidupi arti nama sendiri. Karena yang
memberikan nama adalah orang tua dan nama adalah harapan orang tua, maka
hidupilah arti nama untuk membahagiakan orang tua.
Bagi anak-anak yang tidak pernah diberitahukan arti namanya
atau orang tuanya memang tidak bermaksud memberikan namamu dengan arti dan
harapan khusus, maka carilah arti namamu sendiri. Setelah itu, hidupilah
sendiri.
Sebenarnya, nama kita itu diberikan Tuhan. Hanya saja,
lewat orang tua. Ada maksud Tuhan lewat nama yang diberikan kepada kita.
Walaupun kadang, artinya aneh atau tidak berguna. Semacam orang Batak Karo yang
namanya bisa merupakan benda pertama yang ayahnya lihat sewaktu mendengar
anaknya sudah lahir. Tetap saja, semua hal tidak mungkin di luar kehendak
Tuhan.
Karena alasan-alasan semacam ini, saya merasa pembicaraan
mengenai nama adalah pembicaraan yang serius sekaligus menyenangkan.
Menyenangkan membayangkan bayi lucu dengan nama yang sudah kita tentukan dan
pikirkan matang-matang dan tentu saja harus dibesarkan dengan serius agar
hidupnya sesuai dengan apa yang diharapkan lewat nama yang diberikan.
Itu alasan dari bayangan ideal saya saat sepasang kekasih
yang sudah menikah membicarakan hal ini dan itu juga alasannya mengapa begitu
lucu dan polosnya ketika sepasang kekasih remaja yang masih naif membicarakan
hal ini.
November 7, 2012
Semangat Menulis dari Hati ke Hati
Belakangan ini, jarang sekali
saya punya kesempatan untuk menulis. Setiap hari, saya selalu disibukkan oleh
pekerjaan sekolah, ada pacar yang serius, ada tim futsal yang latihan terus, ada
juga murid yang sangat-sangat butuh dibantu, lalu ada rumah yang harus dirapikan.
Wah, repot! Saya setiap hari sampai di rumah, minimal jam setengah tujuh. Tentu
saya sangat bersyukur kalau bisa pulang lebih awal.
Rasanya, seperti sudah kerja
kantoran saja, bahkan mungkin lebih parah. Saya masuk sekolah jam tujuh pagi
dan selesai sekolah jam setengah tiga. Setelah itu, ada tambahan pelajaran,
tentu saja karena saya sudah kelas 12. Hari Selasa, latihan futsal. Hari Rabu,
saya mengajar ekskul. Di kondisi yang seperti ini, saya baru menyadari betapa
waktu itu uang. Lebih lama pulang, lebih mahal ongkos hidupnya.
Selama beberapa minggu yang
sibuk ini, saya juga belajar satu hal sebagai seorang penulis muda. Rasa rindu
akan berkata-kata lewat tulisan. Saya ini bawel, seringkali kepuasan berkata-kata
oral terpuaskan dengan baik, tetapi saya juga suka menulis. Kerinduan saya
selalu terbendung oleh banyaknya hal yang harus dikerjakan dan juga kondisi
hati yang makin jarang bahagia. Walaupun begitu, saya juga masih suka menulis puisi
di kertas coretan sewaktu ujian matematika, atau menulis artikel protes kepada
sekolah di selembar kertas (dan parahnya, saya suka sengaja berusaha terlihat sedang
menulis dan tidak memperhatikan, supaya guru saya baca keresahan hati saya, dan
mungkin, teman-teman juga), dan beberapa kali saya juga menulis cerita-cerita
pendek.
Menulis esai untuk tugas masih
hal yang menyenangkan bagi saya, tidak terasa seperti tuntutan, kecuali pelajaran
sejarah. Saya masih menikmati proses itu. Penjabaran sebuah masalah, lalu
memecahkannya seperti sebuah ahli yang datang dan sedang menyelamatkan dunia
intelektual.
Dalam masa-masa kerinduan yang
amat sangat, pikiran jernih saya lahir kembali dengan sebuah prinsip baru.
Sebuah sentuhan penuh arti dalam jiwa dan sebuah ketukan ilahi dalam pikiran. Saya
terselimuti oleh kata-kata ini sepanjang beberapa minggu, sampai saya menjadi
panas, ingin cepat-cepat keluar lagi.
Jadi begini, ini adalah mengenai
jawaban dari pertanyaan “Mengapa manusia harus menulis?” Manusia tercipta dari
kata-kata. Manusia hidup dengan nama, sebuah bagian dari kata. Manusia
bersosialisasi dengan manusia lain, dengan binatang, dengan tumbuhan lewat
kata-kata. Simbol dan sandi pun melambangkan sebuah kata. Manusia tak dapat
terpisah dengan kata. Bahkan, penyebutan “manusia” membutuhkan sebuah kata.
Selama di kendaraan umum, di
kelas selama belajar, di kelas selama mengajar, terkadang di gereja sewaktu
mencatat khotbah, selama termenung menatapi hujan, dalam berbagai macam
kondisi, selama itulah saya memikirkan kata-kata saya yang itu. Ketika
terungkap, bahwa manusia tak terpisahkan dari kata, di situlah semangat membara
keluar dari hati.
Hati itu memang kompleks. Butuh
lebih dari jutaan hadiah materi untuk memuaskannya, tetapi hanya dengan satu
janji manis, maka sang pemilik hati akan tersenyum. Ini mengapa cinta itu topik
yang laku, karena cinta menawarkan janji termanis yang pernah ada. Dan cinta,
tak dapat lagi diungkapkan dengan kata.
Karena itulah. Karena itulah
saya masih terus. Terus menulis. Terus memiliki hati yang berkobar. Karena,
saya cinta menulis. Menulis itu refleksi
hati, refleksi hidup, refleksi cinta dengan manusia. Saya cinta merefleksikan
cinta saya.
Ah, kata-kata itu mudah dipermainkan,
tetapi susah dipegang. Kalau tidak dipaksa berhenti menulis, saya tidak bisa
berhenti, maka tulisan manusia berhenti. Biar iluminasi dan afeksi yang diberikan
mengalir sendirinya dalam pikiranmu, ya.
Rokok+Polusi
Sekarang, saya bukannya sedang
ingin bicara bahwa rokok menyebabkan polusi udara, lalu maka itu saya menentang
orang untuk merokok agar udara bersih. Bukan itu poinnya.
Memang, rokok itu menyebabkan polusi udara, tetapi tidak
secara makro. Polusi udara yang disebabkan asap rokok tidak lebih besar
dampaknya dari asap kendaraan atau asap pabrik. Kita yang tinggal di Jakarta,
pasti mengerti.
Kita, yang adalah orang-orang aktif, orang-orang yang
selalu bepergian dan melewati jalanan Jakarta Raya yang dipenuhi kendaraan
bermotor hingga macet tak karuan, setidak-tidaknya memiliki paru-paru yang
sudah tidak lagi sehat. Kandungan zat-zat beracun di paru-paru kita, setidaknya
sudah cukup untuk merusak banyak bagian lainnya di tubuh kita, seperti aliran
darah, jantung atau apalah yang berhubungan dengan paru-paru. Saya sih percaya seluruh organ di tubuh kita
berhubungan. Maaf ya kalau saya kurang mengerti peta biologis, saya anak
sosial.
Hanya dengan hidup seperti biasa di kota ini, sudah bisa
menyebabkan penyakit. Apalagi, ditambah dengan merokok. Mungkin suatu saat
nanti atau mungkin sudah ada orang yang tidak merokok, tetapi terkena kanker
paru-paru.
Ini yang ada dipikiran saya ketika saya menyadari hal yang
saya tulis di atas: Ekstrimnya, semua orang di kota ini pasti akan mati karena
polusi udara. Secara rata, mati karena kanker paru-paru. Lalu, apa yang
sebenarnya perokok lakukan? Hanya mempercepat kematian itu. Penyebabnya akan
sama, kanker paru-paru juga.
Seorang teman baik saya pernah berkata, orang yang merokok
itu, dalam setiap rokok yang dia hisap, menghabiskan 2 menit waktunya untuk
menghisap rokok dan 2 menit waktu hidupnya di masa depan. Saya pikir, iya
memang. Walaupun tidak setepat itu, tapi iya benar. Merokok itu mempersingkat
hidup.
Tahu tidak, betapa hidup itu indah? Betapa kesusahan
membawa kita untuk bertumbuh menjadi orang yang lebih kuat dan kegirangan
meringankan segala pekerjaan. Jangan merokok untuk kedua alasan itu. Susah,
tidak perlu dibius dengan merokok. Senang, juga tidak perlu dirayakan dengan
merokok.
September 1, 2012
Jadi Guru Ekskul
Jadi guru itu enak juga, ya.
Agak merasa lumayan berkuasa. Apalagi kalo jadi guru ekskul. Jadi guru ekskul
lebih enak daripada jadi guru pelajaran, karena murid-murid yang masuk ekskul
adalah murid-murid yang benar-benar minat. Kalau kondisi sudah begini, setiap
kali bicara tentu didengarkan.
Konyolnya, atau juga bisa
dibilang uniknya, saya jadi murid dan jadi guru di satu sekolah yang sama.
Kalau kamu hebat, kamu pasti bisa tebak saya jadi guru ekskul apa. Ya, itu.
Ekskul yang ada hubungannya sama tulis-menulis. Ekskul Penulisan Kreatif, lebih
tepatnya. Bukan hanya mengenai menulis cerita dan artikel, tapi saya juga
ajarkan mereka tulis puisi, naskah, dsb.
Kemarin ini, baru minggu kedua
saya mengajar. Satu minggu satu kali, namanya juga ekskul. Seru memang,
walaupun hanya baru dua kali. Saya tidak sabar menunggu minggu-minggu
berikutnya.
Ngomong-ngomong, saya sudah bisa
susun silabus kecil-kecilan, lho.
Asik, ya! Pengalaman baru. Nanti, seiring berjalannya waktu, pengalaman saya
mengajar bisa jadi pengalaman yang berpengaruh dalam hidup saya ke depan.
Semoga begitu.
Sebenarnya, ada cerita dibalik
saya bisa jadi guru ekskul. Jadi, guru ekskul sebenarnya, yang adalah juga guru
besar sastra sekolah saya dan juga wakil kepala sekolah, tidak bisa mengajar
karena jadwalnya sudah padat. Karena di sekolah saya, saya terkenal akan
kemahiran menulis, jadilah saya yang dipilih untuk menjadi guru.
Dan jangan salah sangka, saya tidak jadi guru bayaran.
Kadang, ingin juga minta gaji, tapi saya juga belum yakin saya sudah sehebat
itu untuk dapat gaji. Lama-kelamaan, saya jadi ingin jadi guru ketika nanti
besar. Kata orang, guru adalah pekerjaan yang mulia, itu kenapa Yesus memilih
menjadi guru.
Ah, dunia ini tidak bisa diprediksi. Tuhan membentuk saya
dan kamu secara perlahan dan misterius. Ketika kita setia, kita akan tahu dan
melihat sendiri nanti. Cita-cita itu seperti ilusi jadinya.
Labels:
Menulis,
Personal life
July 22, 2012
Kampung-kota
Aku sering
ingin pergi dari sini
Sini, tempat
Ibuku lahir
Mereka sudah
membuat sini sama menjadi sana
Segala yang
ada di sana, dibawanya ke sini
Di sana
hidup lebih lancar
Di sini aku bahkan
tidak bisa berjalan
Lama aku
menunggu waktu
Tertahan di
dalam kelaparan
Ingin pergi
aku ingin pergi
Merangkak,
bergesekan dengan kerikil
Sakit, sakit
sekali
Di sana
banyak mimpi terwujud
Di sini aku
sering dipukuli karena melamun
Tak kuasa
lagi Ayahku menahan
Ibu hanya
bisa menangis
Mau aku ke
sana, bukan di sini
Kampung-kota
July 21, 2012
Bosan itu dosa
Bosan
itu dosa. Membuat orang lain menjadi bosan itu juga dosa. Bosan akan hidup diri
sendiri, dosanya berlipat ganda. Bosan karena melihat kehidupan orang lain,
adalah dosa bodoh yang entah kenapa sering dilakukan. Makin cepat bosan akan
sesuatu atau seseorang, makin cepat dosa menumpuk.
Aneh.
Kenapa orang bosan? Lebih aneh lagi, kenapa bosan itu dosa? Orang butuh yang
baru. Suasana baru, orang baru, barang-barang baru. Bosan itu bukan alasan
untuk “butuh yang baru”. Bosan itu tidak bertanggungjawab, karena hanya bisa
bilang bosan.
July 15, 2012
Pacaran dengan Stevani Widjaja 3
Sudah 3 bulan. Perjalanannya
makin dibuat susah dengan liburan panjang sekolah. Awalnya sih menyenangkan. Kami berdua (dan dengan segenap angkatan kami) pergi
ke Lombok. Di sana kami lumayan banyak menikmati waktu-waktu berdua.
Minggu kemudian, datanglah
penyiksaan batin kepada si cewe. Saya (dengan senang) pergi meninggalkan dia ke
Kupang. Pergi ke Kupang, yang jauh, tentu tidak akan secepat itu. Saya menetap
di sana selama 7 hari. Berjalan-jalan ke sana kemari tanpa khawatir akan
keberadaan yang di Jakarta, saya tetap yakin Tuhan menyertai dirinya dari
godaan. Lebih kacau lagi adalah ketika 3 hari terakhir saya pindah tempat
menginap dan sama sekali tidak ada sinyal. HP saya memang butut.
Maka terdengarlah isak tangis
dari Jakarta Raya sampai ke telinga saya. Tapi, namanya juga sudah malam, maka
saya meneruskan tidur saya dengan lelap. Maklum, saya tidurnya sama orang yang
suka ngorok, jadi suara tangisannya
kecil sekali.
Setelah pulang dari Kupang, saya
langsung dipaksa pulang ke Jakarta. Padahal, tadinya saya mau ikut sepupu saya ke
Bandung dan menginap selama 2 hari. Tapi, apa daya. Jadilah saya pulang ke
rumah dan esok harinya bertemu si cewe.
Tidak lama setelah hari itu,
dibalasnya pula saya. Dia pergi ke puncak selama 5 hari dengan keluarganya. Tinggallah
saya di Jakarta bersama dengan isinya. Sekarang saya hampir tidak ingat sama
sekali dengan apa yang terjadi selama hari-hari itu.
Setelah 5 hari dari puncak, kami
harus menikmati kebersamaan kami dengan menjadi panitia MOS untuk anak murid
baru. Acara pertamanya itu adalah camping
di Bogor. Ya, lumayanlah. Di sana kami bekerja sama sebagai teman sekerja yang
setara. Selama kami mempersiapkan bermacam-macam hal, tidak jarang kami
mendengar beberapa guru (termasuk Ibu Kepala Sekolah) dan teman-teman yang lain
menggoda kami dan mengelu-elukan (maaf, ga tau lagi kata yang lebih tepat).
Persis setelah acara camping, si cewe dengan santainya
meninggalkan saya ke Singapore selama 3 hari. Giliran dia yang susah
berkomunikasi. Harus pinjam BB tantenya dulu untuk bisa online Twitter
sebentar. Selebihnya tidak bisa apa-apa lagi. Kemudian, waktu si cewe ini
pulang, saya menuliskan sebuah tulisan selamat datang dan saya kirim ke
emailnya. Kata si cewe, dia langsung ga bisa tidur setelah baca.
Oh iya, ada tambahan wacana. Hari
sabtu kemarin (14 Juli 2012), ada dialog kecil antara saya dan papa saya B-)
Papa:
Jadi gimana kamu sama Vani rencananya?
Aldo:
*Dengan santai dan cool abisss* Ya, jangka panjang pa.
Papa:
*Clingak-clinguk cari Mama*
Aldo:
Kenapa? Papa baru sadar dia Cina? *masih santai*
Papa:
Ya, kalo bisa orang Batak bang...
Dialognya selesai sampai di situ
saja. Mungkin Papa sama sekali tidak ada maksud rasisme. Papa sepertinya sedang
sadar kalau saya tinggal anak satu-satunya dan laki-laki pula. Kakak saya yang
perempuan sudah diambil orang Inggris, lalu saya? Tidak salah kalau Papa ingin
saya sama orang Batak. Tapi, saya lebih tidak salah kalau jatuh cinta sama orang
Cina.
Labels:
Jakarta,
pacaran,
Personal life,
Traveling
July 7, 2012
Soal Feminitas dan Jiwa Saya
Semua orang di dunia ini, baik
laki-laki maupun perempuan, punya sisi maskulin dan feminin masing-masing.
Kadar kedua sisi itu berbeda-beda tiap orang. Ada perempuan yang
maskulinitasnya lebih besar daripada perempuan-perempuan lainnya, begitu juga sebaliknya
dengan laki-laki.
Saya, yang sepertinya memiliki
takdir hidup untuk selalu berada di sekeliling perempuan banyak (dan bukan
mainan perempuan maksudnya), agaknya menjadikan saya jadi banyak tau soal
perempuan, tapi itu tidak membuat saya jadi seperti perempuan. Hal ini saya tidak
hiperbola sama sekali. Saya berkali-kali berada di acara yang isinya banyak
perempuan semua. Dulu waktu kakak saya kuliah dan saya masih kecil (masih SD), saya
sering diajak berkumpul bersama teman-teman kakak saya yang perempuan semua.
Jadi, ya kira-kira bergitulah gambarannya.
Karena sejak kecil saja sudah
begitu, akhirnya saya menemukan ketertarikan-ketertarikan di dunia
perempuan-perempuan itu. Karena kebetulan waktu itu kakak saya dan
teman-temannya anak FISIP, jadilah saya hari ini ingin masuk di jurusan yang
sama dengan mereka. Ada banyak hal lagi yang menjelaskan kenapa saya begini
hari ini, macam kebawelan saya, ketertarikan saya dengan dunia tulis menulis,
kehebatan saya dalam merangkul wanita dengan muka unik begini, dan berbagai
macam hal lainnya.
Sisi feminin yang berkembang
bersamaan dengan sisi maskulin saya membuat saya bisa mengerti perempuan lebih
dari laki-laki biasanya tanpa kehilangan kelaki-lakian saya. Saya masih bisa
pakai celana jeans yang untuk perempuan, lalu membawa tas yang ada warna pink
di pinggirnya tanpa terlihat sebagai perempuan. This is what’s great from me!
Saya mungkin pernah manicure, tetapi saya juga pernah
berkelahi sampai berdarah-darah. Gaya bicara saya terkadang bisa dibilang
seperti perempuan, tetapi isi bicaraan saya laki-laki banget. Ya, pokoknya
hal-hal macam itu deh yang membuktikan
keseimbangan kedua sisi, feminitas dan maskulinitas, di dalam jiwa saya. Kamu
gimana? Sudah seimbang?
July 3, 2012
Traveling Untuk Bebas
Traveling bagi saya bukan sebuah jalan-jalan yang beralasan ingin
melihat sesuatu. Biasanya orang akan pergi ke suatu tempat karena ada pemandangan
alam yang ingin dilihat, atau mau lihat-lihat museum, dan hal-hal lain yang
ingin dilihat dan dipelajari. Saya bepergian bukan karena itu, karena saya
ingin bebas saja.
Saya ini masih remaja dan masih
tinggal sama orangtua. Sekali-sekali tentu saya ingin keluar dari rumah
orangtua saya. Kalau lagi bepergian rasanya lepas dan mandiri. Sensasi itu yang
membuat saya ingin bepergian.
Karena alasan itu, maka
destinasi saya untuk bepergian tidak harus tempat yang pemandangannya indah.
Bahkan sebenarnya saya jarang menentukan destinasi. Yang penting tempat itu
bukan berada di kota tempat saya tinggal sehari-hari. Tidak peduli tempat itu
mirip dengan kota tinggal saya, yang penting saya tahu kota itu bukan kota
saya.
Sesuatu yang beda, yang bebas
dari ikatan orang-orang yang sering hinggap di sekitar saya, itu mengapa saya
bepergian. Sambil mempelajari sesuatu yang baru di tempat yang baru, sambil
saya menghirup udara baru, yang tidak tentu segar, tapi bukan seperti yang saya
hirup biasanya.
Teman-teman yang traveler dan backpacker
juga pasti punya alasan masing-masing kenapa jadi suka bepergian. Mungkin beda
alasan, tapi mungkin ada yang sama dengan saya. Mari kita terus pergi,
mengarungi lautan, menapaki langit, mendaki gunung, dan lewati lembah demi
sebuah kebebasan!
July 1, 2012
As Tall As My Shadow
Kamu pernah lihat bayangan akan
dirimu sendiri? Tentu saja, ini pertanyaan yang agak bodoh. Lalu, apakah kamu
pernah menyadari kalau bayanganmu lebih tinggi dari dirimu? Saya sering.
Saya ini selalu punya masalah
dengan tinggi badan. Saya ini laki-laki, dan katanya laki-laki harus lebih
tinggi daripada perempuan, sedangkan saya lebih pendek dari pacar saya sendiri
(dan saya tidak malu, hanya saja ingin lebih tinggi).
Ingin sekali rasanya saya
setinggi bayangan saya. Terlihat lebih macho
untuk seorang laki-laki. Tapi, ketika saya setinggi bayangan saya ketika saya
pendek, bayangan saya juga akan ikut makin tinggi. Dan terus saya akan ingin
setinggi bayangan saya itu. Sampai nanti tidak ada ruang lagi untuk bayangan
saya bisa bertumbuh.
Ah, saya ini. Cuman mimpi yang
ditinggin. Bukan badan!
June 30, 2012
Ayo Berhenti Merokok!
Saya bukan dokter, atau
mahasiswa kedokteran, atau bahkan bercita-cita jadi dokter. Saya ini anak SMA yang
baru naik kelas 3 dan cita-cita saya ada di bidang sosial. Tapi, saya ini punya
banyak teman. Teman saya ada di mana-mana, dengan umur yang sangat bervariasi
(sampe ada yang umur 30 dong! Dan dia teman saya beneran), dan juga dengan
berbagai macam kegiatan yang serba macam-macam juga.
Mungkin sebagai dokter atau
mungkin psikolog, saya tidak qualified
untuk ngomong ini. Tapi saya pikir, untuk seorang pelaku, saya bisa. Saya ini
bukan anak culun yang keluar rumah naik mobil pakai supir lalu di dompet punya uang
orang tua yang banyak untuk dihabiskan hanya di tempat perbelanjaan. Bisa
dibilang saya ini anak jalanan. Bukan gembel memang, tapi cukup mengenal apa
yang namanya jalanan, apalagi jalanan Jakarta Raya ini.
Saya pernah merokok. Saya tahu
apa yang namanya merokok. Saya tahu apa nikmatnya. Saya juga tahu apa buruknya.
Saya tahu kenikmatan itu menyulitkan perokok untuk berhenti. Saya tahu ketika
merokok menjadi habit dan rasanya senewen kalau mulut tidak menghisap
rokok di waktu-waktu tertentu. Saya tahu hal itu.
Lalu, kenapa saya yang pernah
beberapa kali merokok memutuskan untuk tidak lagi?
Melihat berita di berbagai media
massa mengenai naiknya jumlah perokok anak di Indonesia membuat saya tergerak
untuk tidak merokok dan menulis hal ini. Berhenti merokok! Ayolah, tiap-tiap
manusia yang ada di republik ini adalah penentu masa depan republik ini.
Tiap-tiap diri kalian yang merokok adalah contoh buruk
untuk anak-anak. Ketika mereka melihat ada seorang bapak-bapak atau kakak-kakak
mereka yang masih SMA atau kuliah merokok dipinggiran jalan atau di stasiun
kereta yang jelas-jelas ada tulisan dilarang merokok, mereka akhirnya
menganggap merokok itu biasa di negara ini. “Toh, sudah banyak yang merokok, mereka
terlihat bahagia dan menikmati, kenapa saya tidak?” atau “Ah, walaupun nanti saya kanker, itu kan nanti.
Memang sudah saatnya juga saya mati ketika saya nanti kena kanker.”
Tentu tidak ada dari kita (yang
cukup normal) mau anaknya merokok. Mungkin diantara orang tua yang mengetahui
anaknya merokok ketika anaknya sudah cukup tua tidak mengusik dan hanya
membiarkan saja. Tetapi itu salah! Bayangkan apa yang nanti cucu kalian lihat ketika
mereka bertumbuh dewasa? Fakta bahwa ayahnya perokok dan kakek neneknya tidak
menghiraukan hal itu. Mungkin ada yang punya respon baik “Saya tidak mau jadi
perokok seperti ayah saya!” Tetapi, ada juga yang punya respon buruk “Ayah saya
merokok, saya juga mau!”, dan mungkin yang model seperti ini yang lebih banyak.
Jadi, saya mau bilang begini:
Kalau kalian memang kurang mencintai diri kalian dan ingin merusaknya, itu
diluar dari pikiran saya kali ini. Ada yang juga penting di luar tubuh kalian
(yang sebenarnya memang lebih penting), yaitu generasi penerus bangsa yang
memperhatikan kalian dari luar. Memperhatikan gerak-gerik kalian saat menghisap
rokok dan menikmatinya. Lalu menghebuskan asap kotor yang akhirnya tidak
terlihat kotor, tetapi terlihat seperti sebuah perasaan lega karena sedang
menikmati sesuatu.
Ayo berhenti. Berhenti merokok
adalah tindakan yang, saya rasa, lebih tepat daripada memutuskan untuk diet
ketika sudah gemuk. Walaupun sebenarnya, sama susah.
June 29, 2012
Komunikasi itu penting!
Komunikasi itu penting.. Ting..
Ting! Bagi orang Kristen, berdoa itu nafas kehidupan. Karena dengan berdoa kita
sedang menjaga dan menguatkan relasi kita dengan Tuhan. Kepada sesama manusia
juga begitu. Supaya kita bisa saling berteman dan saling mengasihi satu sama
lain, harus ada komunikasi yang baik satu sama lain. Tidak hanya untuk menjaga
pertemanan saja, waktu sedang bertengkar pun harus bisa berkomunikasi dengan
baik supaya ejekan, hinaan, dan cercaan bisa sampai dengan baik dan tepat sasaran.
Tapi, saya tidak menganjurkan untuk hal itu.
Miss-communication membuktikan betapa pentingnya berkomunikasi.
Kalau kita miss-communication maka
kita bisa masuk ke dalam pertengkaran atau kesalahan tindakan karena hanya
salah dengar atau salah mengerti. Bagi yang pernah merasakannya, pasti lebih
mengerti. Tapi, lebih baik jangan salah untuk mengerti.
Nah, komunikasi itu selalu
terjadi tiap detiknya. Bahkan ketika kita diam. Waktu kita berdiam diri dan
tidak berbicara, organ-organ tubuh kita masih berkomunikasi. Kalau di otak, ada
yang namanya neuron. Neuron itu adalah media komunikasi di otak. Neuron-neuron
itu yang nanti mengkomunikasikan kerja otak ke organ-organ tubuh yang lain.
Jadi membuat kita bisa bergerak, merasa, atau berpikir. Coba bayangkan kalau
neuron-neuron itu tidak ada. Otak dan banyak organ lainnya tidak bisa saling
berkomunikasi dan bekerja dengan baik.
Tapi, kita tidak akan bahas soal
biologi kali ini. Pesannya masih sama, komunikasi itu penting. Guru harus
memikirkan bagaimana caranya mengkomunikasikan pikirannya kepada anak-anak
murid supaya mereka mengerti hal yang sama dengan sang guru.
Kalau kita nyasar sedikit dan bicara mengenai isu yang hot di remaja/pemuda,
yaitu pacaran, komunikasi juga kunci penting untuk mempertahankan hubungan.
Pembicaraan yang tidak di situ-situ saja, perilaku khusus, tatapan mata yang
serius. Itu semua adalah contoh-contoh komunikasi yang baik dan perlu
dilakukan, walaupun kadang masih malu-malu.
Ya, beginilah kira-kira alasan
saya ingin sekali masuk jurusan komunikasi sewaktu kuliah nanti. Saya ingin
membuat media komunikasi kembali ke tujuannya dibentuk. Bukan untuk
mengkomunikasikan hal-hal sampah dan tidak berguna, tetapi media komunikasi
harus mengkomunikasikan hal-hal yang membuat manusia bergerak ke arah yang
lebih positif.
Oh iya, dan ngomong-ngomong soal
saya masuk jurusan komunikasi sewaktu kuliah nanti dan saya kemudian menulis artikel ini,
sepertinya itu sudah ditakdirkan dari sejak kecil. Coba sama-sama lihat foto serial
yang disusun oleh ayah saya ini:
June 14, 2012
Hilang Laptop Satu Hari
Satu malam saja bisa tak tenang
kalau tak bersama. Barang inilah belahan jiwaku yang satu lagi (setelah Stevani
Widjaja, tentu saja). Laptop ini bukan hanya alat untuk nonton film, atau denger
musik, atau kerja, atau internetan, tapi laptop ini juga satu-satunya alat yang
nyaman digunakan untuk berkomunikasi dengan segenap makhluk di jagat raya (dan
sekali lagi, terutama pacar).
Selalu saja karena ulah saya
yang bodoh, laptop saya bisa tertinggal di dalam mobil teman saya. Jadi
intinya, kejadian-kejadian itu di luar perencanaan saya untuk hari itu.
Akhirnya mau tidak mau saya harus merelaka sisa hari saya tanpa sang laptop.
Ini mungkin cerita yang tidak
penting, tetapi saya belajar satu hal dari kejadian ini. Saya belajar bagaimana
saya tidak boleh terikat kepada satu hal, apalagi sebuah barang. Tadinya, saya
hampir tidak mood lagi untuk ngobrol
sama pacar saya. Tapi, saya pikir bodoh juga meresikokan relasi hanya karena
sedih tak ada laptop.
Mungkin yang kalian bayangkan
akan saya kehilangan laptop sehari biasa saja, tapi seperti yang saya katakan,
saya agak lebay untuk satu hal ini.
Bisa kehilangan semangat. Setengah dari hidup ada di sini, rasanya.
Sekali lagi, atas kejadian ini
saya belajar untuk tidak menjadikan laptop sebagai berhala saya. Berhala yang
mengganggu relasi dengan Tuhan, orangtua, teman, pacar, dan makhluk lainnya
yang sering menghinggapi saya. Cheers!
Lombok, we're in love
Ini bukan sebuah cerita yang
isinya cinta lokasi atau cinta-cintaan anak remaja. Ini soal kami, manusia
ciptaan Tuhan yang direncanakan satu angkatan bersama dan bersama-sama juga
jalan-jalan ke Lombok. Bukan di pulau Lombok kami baru menemukan kasih akan
satu sama lain. Hanya saja, di pulau ini kami lebih menemukan kebersamaan dan
kasih lebih dari biasanya di kota Jakarta.
Mungkin candaan kami tidak
berbeda dari yang biasa, mungkin kebiasaan kami semua masih sama seperti waktu
di Jakarta, tetapi yang kami bawa pulang banyak sekali. Ini juga bukan soal
oleh-oleh barang, tapi bekal baru dipikiran kami semua. Kedekatan kami semakin
dekat, candaan kami berubah dan makin lucu, serta banyak hal lainnya yang mungkin
kecil tapi sudah berubah.
Ini hanya beda lokasi. Dengan
orang yang sama, dengan perilaku yang sama. Ah, saya sendiri tidak pernah pikir
kenapa pulau Lombok yang akhirnya terpilih untuk jalan-jalan kali ini. Tapi,
anugerah Tuhan tak usah lagi ditanya. Kita tugasnya hanya menikmati.
Labels:
cinta,
Personal life
June 9, 2012
Tak Ada Rasa Sakit
Jadi begini, karena ini puisi yang sangat-sangat disukai dan dianggap bagus oleh pacar tercinta saya mau tempel di blog ini.
Waktu aku sayang kamu.. aku tak mau lepas kamu.. waktu itu
kita masih muda.. masih penuh dengan tawa canda.. senyuman polos tak bermakna..
tapi penuh dengan warna.. masa yang penuh cerita.. tak ada gundah gulana..
perih di hati hilang rasanya.. banyak teman-teman main.. apapun jadi tak usah
pusing.. aku mencintai mereka.. tapi terlebih aku mengasihi kamu..
Pacaran dengan Stevani Widjaja 2
Lombok, we're in love |
Sekarang saya sama Vani sudah di
tengah-tengah tri-semester pertama. Yah, baru sebentar saja kami melihat satu
sama lain. Kesebentaran yang kami jalani ini rasa-rasanya akan menjadi lama nantinya.
Peduli amat kalau orang bilang kami
masih SMA dan masih kecil, yang penting kami sekarang sedang berjuang.
Terlalu cepat memang, harus saya
akui, untuk berkomitmen dengan satu orang. Tapi mau bagaimana lagi, ini sudah
pilihan hidup yang saya jalani. Kalau saya ingkari, mungkin saya akan terkutuk.
Dalam dua bulan ini kami sudah
saling memberitahu begitu banyak hal. Kebanyakan adalah hal-hal yang sepele.
Kata kepala sekolah saya, hal-hal sepele itu bukan hal-hal yang tidak perlu.
Itu justru adalah hal-hal kecil yang perlu diperhatikan, karena hal-hal kecil
itu nantinya akan membangun satu hal besar. Kesepelean yang seringkali kami
bicarakan sedang membangun sebuah hal yang besar bernama relasi.
Selama ini kami sudah mulai sedikit-sedikit
bertengkar kecil soal hal yang sepele. Biasanya saya yang mulai. Saya bukannya
perfeksionis juga, hanya saja agak banyak maunya. Sebenarnya beberapa kali bisa
dikatakan terlalu banyak.
Harus saya akui juga, dalam
waktu dua bulan lebih ini sudah banyak sekali kemajuan yang kami alami. Dulu
pertama sekali kami tidak bisa duduk diam bicara dan bertatap wajah, sekarang
lama-lama bisa. Ada beberapa hal lagi yang saya simpan sendiri dan bukan untuk
konsumsi publik.
Kira-kira beginilah setelah dua
bulan. Belum terlalu banyak cerita. Kami akan membuatnya terus tiap hari, saya
yang akan menulisnya. :)
Labels:
cinta,
Personal life
June 2, 2012
SMP - SMA
Waktu SMP ga pengen cepet2 lulus. Waktu SMA
selalu kira tiap UAS langsung lulus. Begini kalo SMP di P3 dan SMA di Calvin. Begitu
tweet saya beberapa jam yang lalu.
Hari ini adalah hari pengumuman UN anak SMP se-Indonesia. Saya
jadi mengingat-ingat kembali masa-masa SMP dulu. Ingat pertama kali MOS dan
memenangkan juara satu outbond dan
saya ketua kelompoknya. Ingat pernah satu kelompok sama Boan. Ingat saya pernah
nembak Renny dan Aline dalam satu hari yang sama gara-gara Ocep, dan dua-duanya
menolak saya mentah-mentah. Ingat juga saya selalu diolok-olok di kelas seni
rupa oleh Pak Setyo karena memang saya tidak bisa menggambar. Banyak deh yang diingat.
Sepertinya di SMP saya tidak
belajar apa-apa. Guru yang paling bisa dikatakan sukses untuk mengajar saya
adalah Pak Trilono, harus saya akui. Walaupun dia guru yang paling
menjengkelkan bagi banyak sekali murid seangkatan saya, tapi ajaran dia dan
hafalan-hafalan yang pernah diajarkan belum saya lupakan. Beliau pernah membuat
saya menangis di minggu-minggu pertama sekolah. Pernah juga saya ditendang bola
oleh beliau karena kesalahan bodoh saya. Ah, guru itu.
Sekarang di SMA saya merasa
seperti sedang belajar segala sesuatu. Segalanya menjadi penting rasanya. Baru
tau kalau tidak belajar itu namanya rugi. Dulu di SMP bilang yang penting dapet
ijazah, sekarang di SMA ijazah saja tak cukup untuk masuk universitas dambaan
segala provinsi di Indonesia.
Tapi, karena kehebatan Ocep
dalam mengajari saya urusan pacar-pacaran, belajar sambil pacaran pun bisa
jalan. Ajaran Ocep lebih hebat dari Pak Tri, mungkin.
Di SMP banyak hal yang baru
pertama kali saya lakukan. Seperti pacaran, merokok, naik motor, naik mobil,
berantem tonjok-tonjokkan, dan banyak lainnya. Di SMA tinggal melanjutkan saja
semua yang sudah saya pelajari di SMP, yang baik maupun yang buruk.
Hidup tidak semenyenangkan yang
orang bilang di SMA ini. Di SMA hidup lebih kompleks. Proteksi orangtua masih
tidak meregang, terkadang menguat. Di saat kegiatan meluas, kekang orangtua
yang masih lumayan kuat ini agaknya mengganggu. Yah, namanya juga anak muda,
mau secepat dan seliar kuda. Terlalu berbeda kehidupan di SMP dan SMA. Dulu
uang bisa berhamburan untuk apa saja dan kasih pinjam sana-sini, sekarang saya
harus jaga-jaga uang dan kadang pinjam sana-sini. Beda jauhlah.
Dulu-sekarang, intinya saya
masih akan terus jadi pelajar. Tapi, beda tempat, beda derajat, beda status,
beda kesulitan. Saya kangen SMP, muak SMA.
Labels:
pacaran,
Personal life,
School
May 12, 2012
Adu Mulut
Seribu satu kali aku
berkata-kata, tetapi tak satupun sampai terdengar manusia-manusia bebal itu.
Mereka berkata-kata kepadaku seribu satu kali, tetapi tak satupun bisa kudengar
apa maksudnya. Mulut beradu mulut, kata-kata saling bertabrakan, suasana rusuh,
keramaian tak terkendali. Mereka bilang aku bebal, tetapi aku tau merekalah
yang sebenarnya bebal. Setelah itu semua selesai. Tak ada satupun dari kami
yang bergerak. Tak satupun berubah posisi. Kami ditengah-tengah kehampaan.
Hanya ada aku dan mereka. Kesempatan berkata-kata sudah hilang. Sekarang kami
tetap diam.
Cerah Di Negeri Sendiri
Cerah itu kalau tidak sendu.
Penuh dengan tawa riang. Cahaya matahari dengan cepat menyelimuti kulit yang
sawo matang ini. Tidak perlu takut jadi
hitam, ini negeriku, tak ada orang yang perlu peduli, semua orang begini.
Rumput-rumput hijau di taman aku injak-injak. Kakiku langsung penuh dengan
tanah dan lumpur. Tidak lagi kupedulikan masalah ini, ini rumahku, tak ada
orang yang melarang, semua orang juga pernah. Hari penuh dengan senyuman dan
tubuh terus bergoyang sana-sini. Ini cerah. Aku ingin terus cerah, secerah
matahari dari pagi sampai pagi.
April 21, 2012
Cinta di Kaki Wanita
Menurutmu kenapa Ken Arok jatuh
cinta pada Ken Dedes? Karena betis indah. Betis yang kuning langsat itu
bercahaya di mata Ken Arok. Betis itu yang berisi dan menggiurkan bagi seorang
Ke Arok. Kaki dan betis.
Tokoh Pangeran di kisah
Cinderella. Jatuh cinta dengan seorang perempuan yang muat kakinya dengan
sepatu kaca yang ia temukan. Kaki yang muat dengan sepatu itu kaki yang kecil.
Lebih kecil dari saudara-saudara tirinya dan ibunya. Kaki mungil yang biasanya
lebih disukai. Pangeran itu jatuh cinta dengan kaki dan sepatunya terlebih
dahulu. Bukan wanitanya.
Legenda Danau Toba dan ikan di
danau itu. Ketika ikan itu berubah menjadi manusia, si nelayan melihat ikan itu
dari bawah ke atas sambil mengaggumi. Apa dulu yang dia lihat? Kaki, tumit,
betis, paha. Itu yang lebih dulu dia lihat sebelum wajahnya. Dari kaki baru ke
kepala. Seperti surga dia lihat kakinya.
Kaki-kaki ini. Begitu
menggairahkan hidup. Karena betis Ken Dedes, Ken Arok begitu mencintai Ken
Dedes dan membunuh suaminya. Karena sepatu kaca yang sangat mungil, seorang
Pangeran mengelilingi kotanya sepanjang malam sampai pagi untuk mencari
Cinderella. Ia mengetuk pintu satu per satu seperti seorang salesman, sungguh malu.
Benar saja orang bilang surga di
telapak kaki ibu. Telapak kaki yang penuh cinta.
Labels:
Cerita Rakyat,
cinta,
Keren
April 11, 2012
Rumahku dan kondisinya
Rumah ini emang ga bisa diajak mikir. Ini satu-satunya tempat dimana saya hanya bisa asal-asalan untuk mengerjakan segala sesuatunya dimuka bumi ini. Satu-satunya tempat dimana kalau ada orang, saya tidak bisa mengerjakan hal yang berguna.
Tulisan saya jadi ngarang-ngarang. Pikiran ga konsentrasi. Ide ga pernah muncul. Bahkan sebenarnya bukannya ga pernah muncul, tapi ide yang udah disusun rapi diatas motor atau di dalam angkutan umum bisa hilang begitu saja di rumah ini. Rumah setan!
Mungkin saya juga sudah pernah cerita di cerita saya yang sebelumnya mengenai betapa saya bete sekali dengan rumah ini. Asli deh.
Liat aja sekarang saya ga tau mau tulis apa. Tulisan ini jadi kacau bahasanya. Udah kayak anak kampung baru belajar nulis.
Biar ngerti betapa bencinya saya sama rumah ini, mari saya ajak kalian semua berkeliling. Jadi, rumah saya itu kecil, ga gede. Begitu masuk, mata kalian akan tersaji dengan 1 meja tamu beserta set sofanya, 1 meja di depan TV 21 inch dan juga sofanya yang warna kuning-kuning emas gitu, 1 pintu kamar mandi, dan 2 pintu kamar yang adalah kamar saya dan kamar bapak-emak saya.
Di depan pintu kamar emak-bapak ada satu meja kerja dan 2 rak buku yang setinggi perut. Di situ banyak kabel-kabel charger bertebaran sana-sini, kadang rapi kadang kacau balau. Di situ adalah tempat saya mengerjakan PR mandarin dan baca buku Sejarah Indonesia Modern, karena kalau engga kerjain di meja bisa-bisa saya ketiduran. Cuman 2 kerjaan itu yang saya kerjakan di meja kerja, sisanya bisa kerjain di kasur sambil chatting dan pacaran.
Di depan meja kerja itu ada satu papan tulis yang tergambar sebuah kotak-kotak untuk kalender yang terisikan jadwal selama sebulan. Keluarga saya cukup ketat urusan waktu dan jadwal kepergian atau kepulangan. Saya tidak boleh pergi ke suatu tempat kalau tidak pernah ditulis di kalender itu. Keluarga yang sungguh terencana. Jadi, tidak heran kalau hidup saya sudah sangat sering saya rancang dan rancang ulang, namanya juga budaya keluarga.
Kalau masuk ke dalam kamar saya, yang kira-kira luasnya 4x4 meter ini, kalian akan langsung melihat lemari excel di depan kalian, sebuah kasur besar, kemudian sebuah rak yang sama dengan yang disamping meja kerja di samping kanan kalian dan sebuah gitar dan tas sekolah saya tepat disamping kanan kaki kalian. Di balik pintu ada gantungan untuk bathrobe, ikat pinggang, jeans dan juga topi atau celana yang masih akan saya pake besoknya. Di atas kasur ada 2 guling, 2 bantal, dan 2 selimut. Padahal yang tidur cuman 1 orang. Begitulah saya, maruk. Di samping lemari excel yang tadi itu, ada rak lagi tapi ada pintunya. Isinya barang-barang penting. Sampingnya lagi ada lemari baju yang (beneran deh) teratur sangat rapih berdasarkan fungsinya. Kasur saya mepet dengan tembok, dan di sebelah kanan atas kasur, ada jendela yang langsung ngadep ke taman yang ada pohon pisang gede. Satu kelebihan dari kamar ini adalah sinyal operator apapun akan selalu penuh, ga pandang iklan deh pokoknya.
Ya, kira-kira itulah lingkungan saya bekerja dan memproduksi tulisan-tulisan yang bermutu maupun yang engga(seperti yang ini, misalnya). Rumah yang sebenarnya ga terlalu sumpek, tapi ya begitulah. Entah kenapa saya tidak bisa mengerjakan hal hebat di rumah ini. Itu sebabnya sering saya nginep di rumah temen saya untuk ngerjain tugas. Karena, di rumah pasti ga kerjain apa-apa. Heh, saya bete dengan rumah ini. Tapi mau gimana, saya belum bisa beli sendiri.
April 6, 2012
Pacaran dengan Stevani Widjaja
Baiklah, aku mengaku salah.
Kalau ada yang ingat dan ada yang pernah membaca post saya mengenai ulang tahun Stevani Widjaja yang ke-17, ada pernyataan yang saya akui saya salah. Di paragraf ketiga, saya tulis begini: Nah, Vani ini cukup cantik. Karena kalau cantik sekali, pasti cerita di sini akan jauh berbeda. Ternyata ceritanya tidak beda-beda amat.
Akhirnya di bulan Maret kami memutuskan untuk saling mendampingi. Maksudnya belum menikah, kalian juga pasti tahu maksudnya apa. Walaupun memang pacaran, harusnya, ujung-ujungnya menikah. Tapi, mari tidak bicarakan itu, masih lama juga kok.
Waktu hal ini terjadi, saya, teman sebangku saya, teman sekelas, teman-teman dekat saya, semuanya heran. Saya ini bisa dibilang cukup kacau dulu hidupnya waktu SMP, saya sudah berpacaran kira-kira 4 kali. Dan yang membuat mereka heran adalah betapa bertolak belakangnya sifat pacar saya dibandingkan dengan yang dulu-dulu. “Bertolak belakangnya itu ekstrem”, kata salah satu teman saya yang perempuan. Semenjak pacaran saya sering bilang begini ke Vani, kamu itu kucing, pacar-pacarku yang dulu itu singa semua. Setelah mengatakan itu biasanya saya tertawa dan dia hanya bilang apa sih?!
Perubahan yang ekstrem ini diterima secara wajar oleh teman-teman saya. Mungkin justru karena yang satu ini berbeda. Dia lembut, lambat, tapi tetap bertenaga. Ya kira-kira memang seperti kucing. Bukan yang liar, tetapi kucing rumahan macam kucing anggora dan yang mirip-mirip itu juga. Lebih kerennya lagi adalah kucing yang ini tidak mempunyai cakar. Kalau ada yang pernah nonton film Puss In Boots, dia adalah tokoh kucing perempuan yang tidak punya cakar melainkan tangan dengan jari-jari yang amat lembut. Saya mengatakan Vani mirip seperti itu karena katanya Vani, dia tidak bisa marah dan lagi dengan amat lembut dia mencuri hati saya sampai saya sendiri tidak sadar sudah tercuri (Ya, saya tahu ini gombal, but this is my universe and my rules applies here).
Nah, mari saya ajak lari ke tempat lain yang jauh hubungannya dengan kucing-kucingan. Ada satu hal yang membuat saya merasa, atau memang, sangat spesial. Saya, yang sudah pernah pacaran 4 kali, adalah pacar pertama dari perempuan satu ini! Entah senang atau apa, saya belum pernah punya pengalaman ini. Mungkin pernah sih dulu ketika saya pacaran dengan seorang bule dan saya adalah pacarnya yang orang Asia pertama kali. Rasanya jadi beken gimanaaa gitu.
Tidak hanya saya yang spesial. Ternyata dia juga spesial buat saya. Diluar dari sifatnya yang beda sekali dengan perempuan-perempuan yang adalah mantan saya, dia adalah orang yang tepat janji. Sebagai orang yang, ya bisa dibilang lumayan, sering menepati janji dan bertemu dengan seorang yang juga tepat janji terus, jadi saya sangat senang. Apalagi, kalau janjinya menguntungkan, saya makin senang.
Intinya adalah, kami berdua saling beruntung. Saya beruntung memiliki dia dan dia beruntung memiliki saya. Saya tidak mau sesumbar untuk tidak akan putus dengan dia. Tapi saya juga bukan orang bodoh yang hanya bisa bilang Let it flow and let us follow. Saya bilangnya, yang penting berjuang apapun yang terjadi jangan sampai hal bodoh memutuskan kami berdua. Jangan coba-coba tanya saya hal yang bodoh itu yang macam apa. Saya juga ga tau. Soalnya semua alasan putus itu biasanya emang bodoh.
Labels:
cinta,
Personal life
April 2, 2012
Indonesiaku Kacau
“Indonesia kacau” begitu kata banyak orang. Saya orang yang juga bilang itu. Saya ini orang Indonesia, saya belajar mengenai Indonesia, saya cinta negara ini. Dan saya masih bilang itu.
Biasanya, kalau sudah cinta, apapun yang kacau pasti akan ditutup-tutupi dengan hal yang bagus agar masih terlihat, atau terdengar, atau terasa bagus. Tapi itu justru cinta yang tidak jujur. Kristus mati di atas kayu salib menunjukkan dua hal yang sangat jelas kepada manusia, yaitu manusia adalah makhluk yang sangat berdosa, tetapi juga makhluk yang paling dikasihi Allah di seluruh alam semesta ini.
Kita semua, orang Indonesia, tahu betapa kacaunya Indonesia. Tidak bisa dipungkiri lagi. Seluruh dunia sudah tahu. Mulai dari hal yang sepele, macam sepakbola dan PSSI, sampai kepada Presidennya.
Memang, Indonesia bukan satu-satunya negara yang kacau. Masih ada banyak negara yang kacau, kok. Bahkan Amerika Serikat sekalipun.
Pernah suatu kali, saya dan ayah saya memperdebatkan mengenai sesuatu. Kami sedang dalam obrolan makan malam dan saya bertanya, “kalau bisa pilih, papa mau tinggal di negara apa?”. Pertanyaan ini ternyata menyulut percakapan yang panjang sekali. Kami membicarakan kondisi banyak sekali negara. Ayah saya selalu membela-belakan ingin tinggal di Swiss dengan alasan itu negara di mana Johanes Calvin berkarya dalam reformasi, dan di sana tempat menyimpan uang paling aman, sampai hari ini.
Dari percakapan kami yang panjang itu saya menarik satu kesimpulan, yaitu tidak ada negara yang benar-benar ideal. Semua negara punya masalahnya masing-masing. Ada yang berat, ada yang ringan.
Mungkin banyak dari kita yang juga pernah memikirkan hal yang seperti saya pikirkan. Tapi lebih baik kita tidak memikirkan itu. Kita lahir di negara ini, berarti ada maksudnya. Indonesia hari ini kacau juga ada maksudnya. Apa maksudnya? Silakan cari sendiri sesuai dengan bakat dan talenta yang sudah diberikan Tuhan padamu. Dengan itu, mari kita sama-sama mengerjakan bangsa dan negara Indonesia ini agar menjai tidak kacau, atau setidaknya tidak korupsi lah.
Jadi, tiap kali kita bilang “Indonesia Kacau!” Kita harus sadar satu hal, berarti perkerjaan kita untuk Indonesia belum cukup keras dan belum selesai.
March 26, 2012
Disiplin Menulis
Sebagai seorang penulis, saya ini bisa dikatakan penulis yang tidak disiplin. Kerjanya uring-uringan saja. Alasannya bukan karena tidak ada ide, tapi karena terkadang malas tuang ide ke dalam sebuah tulisan. Kadang ide mampet begitu saya sudah sampai di depan komputer. Akhirnya saya menuliskan hal yang lain.
Terkadang, saya juga tidak tahu apa inti dari yang saya tuliskan, apa yang ingin saya sentuh dari tulisan saya. Sering seperti itu. Hanya omongan-omongan tidak jelas dan diselesaikan dengan sebuah amanat yang entah dari mana saya ambil. Dan entah apa nyambungnya dengan tulisan saya.
Jadi, disiplin itu sangat penting dalam menulis. Itu lebih penting dari pada seberapa hebat penguasaan bahasamu, atau seberapa hebat penalaran idemu. Kalau tidak disiplin, semua itu sia-sia. Kapan mau dipakai?
Coba lihat di film Limitless. Tokoh utama dari film itu adalah seorang penulis. Tapi, karena hidupnya yang hancur dan selalu bimbang, akhirnya dia terhenti karena tidak ada ide untuk menulis. Ia tidak dapat uang, hidup miskin, penerbit selalu memarahi dan memaki dia, tidak ada orang yang menghargai dia.
Saya sendiri, yang bercita-cita sebagai seorang sastrawan, paling menakuti hal sedemikian rupa. Kalau masalah itu datang menimpa saya, maka mungkin saya akan kehilangan banyak hal. Profesi seniman memang selalu hidup sulit. Misalnya, Beethoven. Dia pernah suatu kali mengirimkan surat kepada raja untuk mengingatkan memberi dia uang untuk hasil karyanya, karena dia kekurangan.
Hidup disiplin itu memang susah. Tidak gampang mengatur diri sendiri yang banyak maunya ini. Kita memang harus belajar bertahan. Bertahan dalam kesusahan, kesengsaraan, dan keterbatasan untuk menikmati hasilnya nanti ketika sudah makin bertumbuh. Nantinya, lama-lama juga biasa.
Janjilah pada dirimu sendiri. Saya setiap hari minimal harus tulis berapa ratus kata, misalnya. Berusaha untuk menepati janji itu setiap hari. Kelak kamu akan jadi seorang yang besar.
Labels:
Menulis
March 19, 2012
Ketika tahun-tahun bertambah satu tahun
Belakangan ini banyak kejadian penting dalam hidup saya. Bulan ini adalah satu bulan yang begitu melimpah untuk diri seorang saya. Karena itu banyak post saya akhir-akhir ini labelnya personal life.
Bulan ini saya berulang tahun. Bertambah lagi umur menjadi satu tahun, semakin bertumbuh dewasa, baik pikiran maupun tubuh. Saya lihat lagi foto-foto lama yang terpajang di cermin, di atas rak, dan yang di gantung di dinding kamar. Semua foto saya dari saya bayi, TK, sekolah SD, lalu ke SMP, sampai akhirnya kemarin saya harus meletakkan foto baru bersama teman-teman SMA.
Dulu saya belum kepikir punya teman-teman yang semacam mereka ini. Teman-teman yang sudah sama-sama besar, keren, pintar, hebat, licik, pelit, jorok, dan bisa ditambahkan sendiri kata-kata sifat yang lainnya. Hidup terasa cepat sekali ketika saya melihat foto-foto itu kembali.
Apa mau dikata? Lihat kebelakang jejak sudah banyak dibuat, lihat kedepan jalan masih panjang terbentang. Hidup terasa lama ketika kita tidak tahu mau berbuat apa. Waktu itu memang lama kalau ditunggu, hanya orang bodoh yang nungguin waktu sambil ngeliatin jam. Tiap detik habis sudah, dan saya yakin mata orang bodoh itu makin lama makin pedih, apalagi kalau tidak kedip.
Kemarin saya menghadiri pesta pernikahan teman. Begitu mewah, saya sendiri salut. Bagaimanapun juga, pesta pernikahan itu dibayar oleh kedua mempelai. Mereka pasti sudah bekerja cukup keras, sebelum akhirnya uang mereka terkumpul dan menentukan untuk menikah.
Saya sih masih remaja. Masih bocah. Hidup masih jauh untuk memikirkan pernikahan, tugas untuk besok saja masih malas saya kerjakan. Tapi, setidaknya saya harusnya sudah berpikir sedikit mengenai hal itu. Setidaknya saya harus berpikir, uang untuk menikah akan saya hasilkan dari mana? Saya akan bekerja apa sebelum saya memutuskan untuk mengumpulkan uang dan menikah?
Ya, intinya begitulah. Walaupun sudah bikin rencana dari jauh-jauh hari, masih ada kemungkinan gagal. “We live in a world where luck is never on our side” Jangan pernah mengharapkan keberuntungan menimpa. Mendapatkan keberuntungan hanya membuatmu terlihat lemah, tetapi usaha dan perencanaan hidup membuatmu hebat.
Setidaknya selama satu minggu ini, saya belajar itu. Ciao!
March 18, 2012
They say this is friendship, i say this is life.
They say this is a group of people who know each other
They say this is some crazy people who don't know what to do
They say this is narcisism
They say this is high school kids
They say this is me and my friend celebrating something
And so they say this is friendship
But i say this is life
Am sure you know what's the difference
They say this is some crazy people who don't know what to do
They say this is narcisism
They say this is high school kids
They say this is me and my friend celebrating something
And so they say this is friendship
But i say this is life
Am sure you know what's the difference
March 14, 2012
Cerita di perpustakaan sekolah
Selalu ada di kondisi bodoh macam ini. Dikelilingi oleh anak-anak SMP kelas 1 yang masih belum tau apa itu tata krama di perpustakaan, masih belum tau apa yang namanya bicara bisik-bisik, dan masih belum tau betapa galaknya ibu perpustakaan kalau ada yang ketahuan berisik.
Saya masih sama posisinya, di depan laptop, berusaha mencerna apapun yang saya rasa, saya dengar, saya lihat, dan segala yang menyentuh indra perasa saya. Ributnya pasar dan tenangnya rumah sakit adalah kondisi kontras antara bibir mereka dan bibir saya.
Yang lebih aneh lagi adalah ketika saya tahu, walau sebenarnya sudah tahu dari awal, kalau saya satu-satunya anak SMA di ruangan ini. Segala macam anak dengan celana biru dan satu anak bercelana abu-abu.
Brutal dan bodoh mereka ini. Kursi dibanting-banting, geser kanan-kiri. Anak yang gendut dan besar berusaha unjuk kekuatan dan anak yang kurus kecil berusaha lebih kuat dari yang gendut dan besar. Tentu saja itu hal yang brutal dan bodoh.
Saya juga pernah SMP, tapi saya tidak brutal dan bodoh. Saya mungkin brutal, tetapi tidak sebodoh manusia-manusia ini. Menulis mengenai mereka menyadari satu hal yang terus saya pernah lakukan selama SMP. Saya pernah menonjok teman saya sendiri sampai pingsan karena pertengkaran uang 5000 perak, yang sekarang tidak tahu 5000 itu untuk apa.
Awalnya, saya kira waktu saya tulis ini ada banyak yang baca karena penasaran, biasanya anak-anak ini kepo. Saya sendiri keponya keterlaluan, sejak dulu sampai amin. Tapi mereka ini memang gila. Jumlah mereka yang banyak mengalahkan kekuatan satu orang ibu perpustakaan. Mungkin mereka harus dihajar oleh sang kepala sekolah itu sendiri.
Bukannya saya gila, tapi saya harap saya punya 3 buah granat dan melempari granat itu ke tiga sudut perpustakaan ini dan melihat mereka semua mati dari luar. Ah, saya sudah seperti psikopat saja. Tapi saya tidak sekejam itu juga. Agaknya ingin melakukan itu, tapi dengan cara yang lebih halus. 3 granat itu adalah 3 guru besar di sekolah ini, Pa Ivan, Ibu Maya, dan Ibu Happy. Sebenarnya cukup salah satu dari mereka, tidak perlu ketiganya. Tapi, kalau yang masuk 3 jadi apa ya?
Sudah lewat 15 menit dan ketenangan bahkan tidak ada. Belum ada terdengar sebuah ketenangan dari sisi manapun perpustakaan. Mungkin mereka sudah makin tidak peduli dengan hadirnya ibu perpustakaan, atau mungkin ada atau tidaknya ibu perpustakaan tidak ada bedanya.
Emang dasar SMP, masih baru gede. Anak SMA juga banyak yang macam ini, sayangnya saya mungkin bukan. Saya lebih suka duduk diam-diam sambil melucu di depan laptop atau di atas kertas dengan sebuah bolpoin super tipis, kalau bisa tanpa tinta.
Oh, saya sadar satu hal lagi. Di sekeliling saya laki-laki semua. Pantas saja ributnya setengah mati. Entah apa yang terjadi masa kini, laki-laki lebih ribut dari pada perempuan. Dulu steotipenya perempuan yang bawel dan cerewet, sekarang laki-laki juga ikut berisik. Bukan suara “bak” atau “buk” akibat suara pukulan, tapi suara mulut yang terus bicara tanpa henti.
Untung saya dari dulu melatih kesepuluh jari saya untuk lebih aktif dibandingkan dengan mulut yang cuman 2 bibir atas-bawah ini. 10 lebih banyak dari 2, dan lebih bisa menghasilkan sesuatu dari pada 2 bibir itu.
Saya benci orang bawel. Bisanya cuman ngomong dan ribut aja. Ga kerja-kerja. Kalaupun omongannya penting, ya cuman bisa ngomong aja, tidak bisa dikerjakan dengan baik. Sampai akhirnya ada “you say you pay”, saking dunia sudah tidak percaya lagi kalau orang yang kebanyakan bicara bisa melakukannya juga. Memang, sedikit sekali orang macam itu. Kalau ada, pasti mereka langsung terkenal. Lihat Steve Jobs. Sayang dia sudah mati.
Ya, anyway, saya bingung. Akan ada Steve Jobs lagi tidak di dunia ini yang lahir dari generasi yang bawel ini? Generasi super cacat di mana dari kecil saja udah korupsi. Sudah bawel, korupsi pula, lalu dosa apa lagi buat generasi selanjutnya?
Indonesia masih menjadi negara berkembang selama 67 tahun kemerdekaannya, and yet generasi mudanya makin tidak beres. Makin lama Indonesia sulit untuk menjadi negara maju. Makin lama mungkin makin tertindas di tengah-tengah dunia yang luas ini.
Saya sekarang sudah capek menulis mengenai suasana perpustakaan ini. Mereka sepertinya sudah menyelesaikan tugas mereka masing-masing dan sedang bersiap-siap untuk keluar ruangan ini dan saya akan mendapatkan ketenangan saya sebentar lagi. Selama ketenangan itu hadir, saya mau baca koran. Sudah cukup menulisnya.
Subscribe to:
Posts (Atom)