Dengan Dua
botol Nutrisari
Dan
Sebungkus kacang Mayasi
Sebelum tiba
cahaya matahari
Sudah terduduk
di atas bus Damri
Menanti
tujuan selanjutnya
Menuju
sesuatu yang ditunggu-tunggu
Sebulan menunggu festival besar
ini. Menghayal akan hal-hal yang tidak akan terjadi (dan tidak perlu ditanya
lebih jauh), menunggu akan kemeriahannya. Segala bayangan itu melompat-lompat
di dalam kepala gue yang kecil ini.
Sebulan setelah gue pesen tiket
kereta, booking hotel, dan tentunya tiket acara ini, akhirnya subuh itu datang
juga. Tiket untuk pesawat pukul 5.20 WIB, dari Cengkareng ke Denpasar sudah
rapi terlipat di dalam tas selempang. Dengan susunan uang yang juga sudah rapi
untuk bayar bus Damri dan airport tax.
Gue memang merencanakan untuk
sampai di Ubud sehari sebelum acaranya mulai. Akhirnya menghabiskan waktu satu
harian untuk foto-foto sendiri dan jalan-jalan.
Besoknya, tidak seperti
pembukaan festival meriah lainnya, opening di adakan di salah satu
venue, yang adalah Museum Neka. Hanya
ada satu tari-tarian Bali yang indah dan lumayan memukau, lalu ada opening
speech dari founder UWRF dan juga ada keynote speech dari Goenawan Mohamad.
Abis itu, gue mendengarkan panelnya Sebastian Faulks. Dia yang nulis buku
Devil May Cry, yang tokoh utamanya
adalah James Bond.
 |
Goenawan Mohamad lagi Keynote Speech |
Setelah panelnya selesai, gue
sempet ketemu Pangeran Siahaan dan janjian mau nonton bareng (dan akhirnya ga
jadi karena ga tau mau nonton di restoran apa yang ada TV, ga perlu dibahas
cerita nyari-nyarinya gimana). Abis itu buru-buru ke motor dan melakukan
perjalanan terpanjang gue selama naik motor.
Jadi begini, gue berencana untuk
ikut book launchnya Trinity (penulis The Naked Traveler series) yang mulai jam
3 WITA di mall paling besar di Bali yang pernah gue tau. Gue jalan dari Ubud
jam 1 dengan perut agak terisi setelah makan pagi yang super banyak. Perkiraannya,
satu jam sampai dan bisa makan dulu sebelum nonton si teteh.
Ternyata, 34 km tidak bisa
ditempuh secepat itu dengan kendaraan beroda dua dan bermotor. Walaupun begitu,
memang akhirnya pas-pasan. Sampai di Gramedia sudah tinggal 2 menit lagi
sebelum acaranya mulai. Jadi, ya sudah.
Satu hal yang terjadi (di luar
perkiraan) juga dan sangat tidak menyenangkan adalah kondisi bokong yang sudah
mati rasa akibat duduk di jok motor standart selama dua jam. Akhirnya selama
acara gue berdiri-berdiri aja walaupun sewaktu dateng ada 1-2 kursi yang masih
kosong.
 |
Di Gramedia Mall Galeria, Bali |
Setelah acara Book Launch sudah selesai, gue
ngobrol-ngobrol sama Trinity dan kru dari penerbitnya sambil makan kue semacam
muffin dan satu botol kecil air mineral. Gue
dateng memang untuk ngobrol-ngobrol yang ini. Di-briefieng karena mau ngemsi
buat book launch Trinity di Ubud nanti. Trus senengnya adalah waktu dapet buku
terbarunya dia, yang mau di-launching, secara gratis. Cekikikan gitu dalam
hati.
Ngobrol lumayan lama sambil ngopi
sampai hari mulai gelap. Karena masih buta banget sama Bali, akhirnya gue
memutuskan untuk buntutin mobilnya mereka sampai Ubud. Sekali lagi, perjalanan
panjang di atas sepeda motor yang memakan korban dua bongkahan pantat yang
berujung pada kematian (rasa).
Malamnya, karena tidak jadi
nobar, gue ikut street party di jalanan tempat gue tinggal. Setelah selesai,
gue baru sadar ternyata ada dua acara di street party ini. Gue cuma ikut
nontonin band regae di depan sambil ngikut nanyi dan joget-joget. Acaranya ga
selama yang gue pikirkan, ternyata cuma sampai jam 11. Pulang dengan kelelahan
dan langsung tidur.
Besoknya, hal yang paling menarik
adalah gue ketemu sama founder dari Lonely Planet, guide book untuk travelling
yang paling terkenal. Dia adalah Tony Wheeler. Menyempatkan diri berfoto sama
doi, yang legendaris itu. Rasanya sangat senang, tapi ini belum klimaks dari
kesenenangan gue selama di Ubud. Hanya ini yang paling menarik sepanjang satu
harian.
Hari Senin tanggal 14 Oktober
2013 pukul 1 lebih 30 menit. Acara yang paling di tunggu-tunggu dari seluruh
acara menarik lainnya. Tidak perlu topik menarik atau tempat yang indah. Hanya
perlu orang yang ditunggu-tunggu itu.
*jeng jenggg* muncullah Dewi
Lestari di atas panggung sebagai panelis favorit gue sepanjang festival. Norak
dan lega waktu lihat wajahnya untuk pertama kali. Entah apa yang gue harapkan
dari melihat wajah penulis-penulis favorit gue, tapi Dewi Lestari di luar
perkiraan. Perempuan yang cantik dan di luar stereotip penulis pada umumnya.
Sekali lagi, gue pun juga sebenarnya belum tau apakah penulis zaman sekarang
masih punya stereotip gondrong dan berantakan.
Selesai panel, Dewi Lestari
a.k.a. Dee langsung diserbu fans yang banyak banget. Berusaha tetap santai,
walau hati dag-dig-dug, gue berdiri dan menunggu di belakang. Mau jadi yang
terakhir aja.
Sambil berdiri-berdiri di belakang fans Dee yang banyak itu, gue sempat
melihat fenomena yang membuat mata sedikit terpana. Ada seorang anak perempuan
(yang diperkirakan dari lihat mukanya, seorang Bali asli) yang membawa seluruh
koleksi buku karya Dee miliknya yang dipegang sendiri dan semua bukunya itu
setebal dari dagu hingga pinggangnya. Bikin minder gitu karena gue hanya bawa
satu buku. Satu-satunya yang bikin bangga adalah fakta bahwa buku yang gue bawa
adalah edisi pertama.
 |
Paling bangga nunjukin foto ini: Bareng Dewi Lestari |
Sorenya baru deh gue ngemsiin
Trinity. Satu jam yang menyenangkan, setelah akhirnya gue bisa masukkin satu
experience lagi di resumè. Setelah itu, kita semua (gue, trinty, dan
teman-teman asik lainnya) ngejer acara selanjutnya. Ada yang ngejer acaranya Goenawan Mohamad, ada
juga yang ngejer screening film. Gue salah satu yang ngejer screening film itu.
 |
Doi Lagi bertemu fans, gue foto dari samping |
Filmnya dokumenter, berjudul
Jalanan. Bercerita soal 3 tokoh pengamen di jalanan Ibu Kota. Gue sempet
perhatiin lokasi-lokasinya. Satu orang perempuan ngamen disekitar Blok M dan
dua laki-laki (terpisah) ada di sekitaran Sudirman. Film ini ditonton oleh lebih
lima ratusan orang (kira-kira). Seru dan lucu filmnya.
Di akhir film, ketiga tokoh itu
maju ke atas panggung dan memainkan lagu original mereka. Ketiga orang itu
mendapat tepuk tangan dan sorak-sorai yang meriah dari penonton, ternasuk di
antaranya, gue sendiri.
Malam berakhir dan menutup
dirinya sendiri. Tinggal bulan di atas sana yang menikmati segelintir manusia
kalong yang tidak pernah tidur malam.
Pagi-pagi di hari terakhir
festival ini di buka oleh panel di mana Dewi Lestari jadi salah satu panelisnya.
Kali ini topiknya menarik, “Honouring Kartini”. Jadi ada 2 panelis perempuan
dan satu moderator yang juga perempuan bicara soal gimana mereka berdua ini
menjadi Kartini kontemporer gitu. Menariknya adalah salah satu panelis
perempuan yang lain itu, Nila Tanzil, adalah juniornya Dewi Lestari waktu
kuliah.
Di tengah-tengah mendengarkan
sesi panel yang ini, gue sambil baca timeline
Twitter. Ternyata ada berita mengejutkan dari panitia. Sapadi Djoko Damono
tidak jadi hadir! Oh, tidak. Dia juga sebenarnya salah satu orang yang gue
tunggu-tunggu kehadirannya dan juga tanda tangannya di buku terbarunya dia.
Setelah selesai panel yang ini, Dee lanjut
lagi ke venue yang berbeda untuk
panel terakhirnya. Soalnya setelah itu dia ngejer pesawat untuk kembali pulang
ke Jakarta. Selesai di sesi panel yang satu ini, ternyata di kejer tanda tangan
dan foto lagi. Gila juga, kata gue dalam hati. Emang ini perempuan hebat banget
sih. Tadinya gue juga mau minta foto lagi, tapi karena lama dikerubungin
fans-nya yang lain dan dia juga udah mau ngejer pesawat, gue jadi sungkan.
Akhirnya hanya salaman aja terakhirnya dan senyum tersipu-sipu.
Malam itu adalah malam penutupan, tapi gue
tidak ikut. Alasannya karena motor udah dibalikin dan bingung nanti pulangnya
gimana.
Hari setelah itu, gue mulai
perjalanan cerita yang baru. Gara-gara UWRF 2013, tiba-tiba niat untuk ressurect tulisan lama yang sudah
hilang. Kali ini, ditulis dengan perspektif yang berbeda. Entah lebih menarik
yang mana. Berharap poinnya masih akan tetap sama.
*Ditulis tiga belas hari setelah festival selesai.