Dalam
setiap langkah, kita terpaut satu sama lain. Merambah cahaya baru yang penuh
warna-warni, sama sekali bukan hal yang feminin. Laki-laki juga bisa jadi mellow seperti perempuan, hanya tinggal
buang segala bualan. Karena melangkah bukan bicara, melangkah berarti diam dan
berusaha tidak bertahan. Tidak harus selalu maju, yang penting berjalan.
Sudah
lama terikat berdua. Secara hubungan atau bahkan secara fisik kita. Ada untuk
terus bersama. Jangan lagi dipaksa berlama-lama. Ini keputusan kita. Melangkah
demi pergerakan cinta.
Semoga
bukan hanya kaki yang bergerak. Tapi, rasa di dada yang juga berdetak. Memang
kedengarannya cerita kita akan berakhir buruk. Tidak berarti kita harus
berhenti melangkah untuk menghambat yang sudah rusak. Biar saja yang rusak
menjadi berantak. Asal kita tahu kalau prioritas utama adalah masing-masing
hak.
Kita
mau hal yang berbeda. Dalam sepak bola, bercinta, atau hal yang sekedar di atas
udara saja. Berbeda memang seru, harus diakui, hanya saja kita tidak memiliki
hal yang sama. Hal yang tidak penting dan masih harus diutarakan teman kita
yang bodoh tentang kesamaan kita adalah kita berdua sama-sama mencari hal yang
sama dari satu lainnya.
“Bukankah
sama itu bosan? Seragam itu tidak menarik. Langkah yang berbeda dengan tempo
berantakan jauh lebih menarik untuk dianalisa daripada langkah seragam yang
hanya bisa berarti satu hal, bukan begitu?” tanya Aru saat sedang mengendarai
mobil sedannya yang tertempel stiker di mana-mana.
Aru brengsek,
benar itu. Aru selalu benar, benar juga itu. Masalahnya, langkah kita yang
selalu tersandung batu. Jatuh berkali-kali tanpa kenal waktu. Rasanya seperti
dihujani peluru. Terlalu tegang akan kondisi sendiri, lupa perhatikan langkah, dan tanpa
disadari jatuh di atas tanah abu.
Kita
sama sadarnya kalau kita lelah melangkah. Ingin sekali rasanya bilang sudah.
Cukup sampai di sini saja, mau muntah. Tidak tahu lagi alasan untuk berjuang
lebih. Satu-satunya yang kita pegang dari dulu hanya prinsip dasar melangkah.
Sekali melangkah, berhenti itu haram menurut petuah.
Bapak
kita zaman dulu itu tidak pernah berhenti. Tidak bahkan untuk sekedar makan
roti. Jangankan makan dan minum, mau pipis saja harus ditahan setengah mati.
Kita ini masih muda, tidak bisa kita berhenti di sini. Apa kata mereka nanti?
Intinya,
langkah kita itu berharga. Lebih baik berpisah sekarang sebelum menyesal di
waktu tua. Melangkah masing-masing ‘kan
juga bisa. Apa salahnya?
Sudahlah,
ini bukan waktunya mendukakan langkah-langkah yang sudah lewat di masa lampau.
Ini langkah untuk masa depan aku dan kau. Mau maju atau mundur, itu urusanmu.
Jangan sekali-kali menghentikan langkah baru. Boleh saja kembali meniti
langkah-langkah lama kalau kau mau. Apalah urusanku melarang pergerakan hatimu.
Jadi
kita sekarang, melangkah. Mencari berlian berharga yang perlunya sebongkah. Atau
mawar yang sedang merah merekah. Karena kita beda, langkah kita beda, dan itu
tidak bawa berkah.
Titipkan salam untuk Aru. Katakan padanya, dia benar
selalu.