Butuh
pahitnya. Hidup ini terkadang, kita pikir, lebih manis daripada yang kita harapkan. Rasa pahit ini, menyeimbangkannya. Di hati? Belum tentu tidak ada yang
lebih parah daripada pahit di hati. Aku tahu kalau tidak ada yang baru di bawah
matahari ini, semuanya seperti terulang, hanya beda bentuk.
Secara
biologis, kita sering pikir kalau tubuh ini cukup eksistensinya untuk
dipuaskan. Buat apa memikirkan yang tidak nampak, seperti jiwa atau Tuhan
sekalipun. Tubuh hadir, terasa gerakannya, dan itu menjadi prioritas
kepentingan. Mereka, hal-hal yang aku tak bisa sentuh, tak bisa dikecup, tak
bisa diendus, selalu menjadi yang belakangan. Paling belakang, kupikir begitu.
Ada
tubuh-tubuh lain yang hadir, menyelimuti tubuhku ini, membuat nyaman tubuh ini.
Beberapa memberi makan untuk perut, beberapa yang lain memberi makanan untuk
otak.
Filsuf
tua dari negeri jauh di Eropa, entah sebelah mana, yang pernah mengatakan kalau
tubuh menjadi prioritas nomor satu berarti aku masih manusia rendah. Aku memang
rendah, litteraly pendek memang,
namun aku tidak merasa bodoh. Lalu, kalau memikirkan hal-hal yang spiritual,
yang tak terlihat, aku akan jadi lebih tinggi, lebih beradab?
Masih
panas, aku berusaha minum pelan-pelan. Pahitnya terasa sekali, panasnya sedikit
membakar lidah. Jika saja tubuh ini sudah mati rasa, aku bisa langsung menegak
satu gelas. Tidak konsisten tentu saja, padahal aku masih ingin merasa. Merasa
keseimbangan antara kebahagiaan di tubuh bagian luar dan kepahitan di tubuh
bagian dalam.
Ada
sebagian manusia menyebalkan yang terkadang membuatku harus menegak sesuatu
yang lebih pahit dari minumanku sekarang ini. Efeknya lebih dari pahit, aku
mati rasa, pengelihatanku blur, dan aku hanya bisa terbaring. Orang-orang
berengsek itu pikir mereka bisa mengontrolku dengan kondisi tubuhku yang
dilemahkan sengaja.
Sejak
hari-hari itu berakhir, aku harus meninggalkan hidup dengan tubuh-tubuh manusia
bodoh itu. Haruskah aku peduli dengan berapa banyaknya buku yang mereka baca
tentang kondisi diriku? Tentu tidak. Tubuhku perlu pergi dari mereka. Aku tidak
ingin mati rasa.
Sekarang
aku jadi khawatir bilamana nanti tubuhku yang mati. Satu per satu bagian
tubuhku mulai tidak berfungsi. Duduk dikursi dan menjadi sama kakunya dengan
kursi. Hanya bisa pindah jika ada orang yang menggeser. Rasa-rasa yang aku
inginkan tidak bisa kupilih sendiri. Lalu jantungku dan otak kecil ini mulai
memelan hingga berhenti. Setelah itu? Dikuburkan disebelah kucing peliharaanku
juga tidak masalah.
Terlalu
banyak orang yang memikirkan soal surga dan neraka. Aku tidak pernah peduli.
Dan kalaupun kedua hal itu benar eksistensinya, aku lebih baik ada di dunia selamanya.
Dunia jauh lebih sempurna dari kedua hal itu. Tentu saja. Mereka hanya tidak
pernah sadar. Di surga, tidak ada neraka. Di neraka, tidak mungkin ada surga.
Namun di dunia ada keduanya. Ada seks dan ada kopi, ada gula dan ada cabai, ada
es krim dan ada brokoli, ada koruptor dan ada relawan. Ada dinamika.
Dinamika
lebih menyenangkan, pastinya, daripada statis. Bahagia selamanya di surga, apa
poinnya? Terlebih kalau tersiksa di neraka selamanya, tidak perlu ditanya lebih
lanjut. Tubuh dan pikiran dilatih untuk berbuat seperti seharusnya sesuai
syarat-syarat untuk menghindari neraka. Mereka yang tidak peduli akan kedua hal
itu, pastinya akan masuk neraka, begitu kata tubuh-tubuh yang percaya. Tubuh
ini pasti mati, dan bagi mereka mati hanya permulaan dari hidup kekal abadi di
tempat yang ditentukan oleh perbuatan yang sesuai syarat dan ketentuan.
Mengatakan
hal itu saja masih membuktikan tubuh mereka menjadi prioritas utama
dibandingkan dengan hal yang mereka pecaya eksistensinya benar, jiwa individu.
Dasar, munafik berkulit ibadah.
Jangan
salahkan aku jika aku salah mendengar tentang konsep agama yang sebenarnya atau
membaca buku konyol buatan orang tidak bertanggung jawab. Bualan dan omong
kosongku sejauh ini hanya ingin menemukan jiwa yang dikatakan oleh tubuh-tubuh
lain. Otak dan sel-selnya nyata, jantung dan jaringan tubuh lainnya bekerja
menghidupkan diriku, kulit dan mata mengawasi tubuh-tubuh lain yang berusaha
menyakiti tubuhku dari luar.
Jika
jiwa benar ada, matikanlah otakku dan buat aku tertawa atau patah hati. Karena,
aku pikir, pahit dan manisnya hidup selalu ditentukan yang di atas, bagian atas
tubuh.