March 18, 2013

Masih Remaja Sudah Pacaran



Orang tua sering bilang, “masih muda jangan pacaran dulu, sekolah dulu yang bener.” Seperti bagaimana telah disampaikan begitu banyak orang lain yang telah hidup jauh lebih dahulu dari kita, sebaiknya kita dengarkan kata orang tua.

                Seorang tokoh serial yang bernama Gregory House M. D. yang adalah seorang tokoh dokter yang brilian dan selalu merasa dirinya tak layak untuk bahagia juga pernah mengatakan sesuatu mengenai cinta dan pacaran. Suatu saat, ia berkata kepada pacarnya, “Being happy and being in love with you makes me a crappy doctor.” Hal ini dikatakannya setelah pasien ketiganya yang mati karena terlambat didiagnosa, dan ia mengatakan ini dalam keadaan mabuk. Kemudian ia melanjutkannya “If I had to choose between saving eveyone or loving you and being happy, I choose you. I choose being happy with you. I always choose you.

                Memang mungkin seringkali pacaran membuat studi agak kurang baik, karena memang ketika sedang jatuh cinta fokus hidup berubah. Walaupun begitu, pacaran memberikan sebuah energi baru yang mendorong manusia untuk hidup. Lebih baik lagi kalau pacarannya serius, tapi mari kita sama-sama lihat fakta. Berapa persen sih anak remaja pacaran serius? Lagi pula, untuk apa juga serius. Memang belum umurnya.

                Yang penting, kalau sudah pacaran harus tetap jaga keseimbangan dengan hubungan diri dengan yang lain. Dengan Tuhan, dengan keluarga, dengan teman-teman yang lain, dengan sekolah, dengan kerjaan, dan hubungan lainnya.

                Setelah menulis dua paragraf di atas, saya menyadari betapa “timur”nya saya. Karena memang sebenarnya, pacaran itu seringkali hanya untuk bersenang-senang bagi orang barat dan orang manapun setelah era globalisasi ini. Ketika serius, maka semuanya akan menjadi terasa lebih berat. Anak kecil tidak pernah mau tanggung jawab yang berat. Jadi, ya, yang pacaran hanya untuk senang-senang itu anak kecil.

Jangan jadi excuse ya untuk yang ga laku, ga laku ya introspeksi diri ajalah.

March 16, 2013

Dewasa dan Masih Nonton Bola


                Sebagai olahraga favorit di Indonesia, sepak bola menjalankan tugasnya dalam memberikan hiburan kepada seluruh kalangan di Indonesia. Tidak hanya pertandingan bola dalam negeri saja yang menarik perhatian penonton bola sekalian, pertandingan bola di luar negeri ternyata lebih menarik bagi sebagian besar kalangan penonton bola di Indonesia.

                Penonton bola tersebar dari anak-anak SD yang baru mengenali nama tim, logo tim, warna baju tim dan pemain-pemain terkenalnya, sampai kepada orang-orang tua yang sudah mengikuti dunia pesepakbolaan selama puluhan tahun hidupnya. Makin tua, para penonton bola ini akan memiliki opini yang semakin berkembang seiring dengan pengetahuan mereka akan sepak bola yang juga makin berkembang.

                Tidak hanya itu. Seiring bertambahnya umur, kesibukan juga bertambah. Sibuk kuliah, lalu akan sibuk kerja, sibuk pacaran, sibuk urus pernikahan, sibuk urus keluarga, lalu yang terakhir sibuk mengurus kematian yang nikmat. Biasanya, seorang penggemar sepak bola sejati akan menyempatkan diri mereka untuk setidaknya menonton tim favoritnya bermain. Kesibukan-kesibukan seperti ini akan menjadi alasan untuk tidak lagi mengikuti perkembangan bola seperti saat orang-orang dewasa ini masih muda dan masih kurang kerjaan.

                Maksud dewasa di sini bukanlah secara kepribadian atau akhlak dan perbuatan budiman. Ini semata-mata hanya berbicara soal umur, pengalaman, dan tanggung jawab yang lebih besar. Dengan demikian, sepak bola menjadi prioritas yang tidak lagi utama.

Jika dibandingkan, perbandingannya akan jauh sekali dengan anak-anak muda sekarang. Mungkin, anak-anak muda yang memperhatikan sepak bola masa kini beserta sejarah pemain-pemain yang dulu bisa mengimbangi pengetahuan orang-orang yang sudah dewasa itu, sedangkan orang-orang dewasa belum tentu fasih dengan kondisi pemain-pemain yang sedang bermain pada masa itu. Hal ini terjadi bukan karena orang-orang dewasa tidak mengerti, tetapi karena sudah tidak perhatian lagi. Selain itu, internet yang memudahkan anak-anak muda masa kini untuk mengetahui sepak bola pada masa lalu juga menjadi salah satu hal yang menambah jauh jarak pengetahuan antara “kalangan muda” dan “kalangan tua” dalam hal sepak bola.

 Kasus di atas memang terjadi pada sebagian besar orang dewasa yang semakin bertambah banyak tanggung jawab dan menurunkan prioritas mengikuti pertandingan sepak bola. Bagaimana pada sebagian kecil orang dewasa yang masih menonton sepak bola hingga hari ini? Apakah tanggung jawab mereka lebih kecil daripada orang-orang dewasa yang lain? Ya, mungkin saja. Ataukah sebenarnya sepak bola merupakan salah satu dari tanggung jawab mereka, sehingga mereka memang seharusnya dewasa dan masih menonton sepak bola? Nah, ini yang seru.

Sedari SD, saya sudah ingin jadi jurnalis. Bepergian dan menulis, kemudian saya dibayar untuk melakukan hal yang sama berulang-ulang di tempat yang berbeda dengan topik yang juga berbeda. Bagi saya, hal itu menyenangkan. Setelah bertumbuh besar menjadi anak SMP, saya ingin menjadi jurnalis sepak bola. Bukan bepergian ke tempat yang dengan kemungkinan saya akan menolak, tetapi arena sepak bola yang besar dan tersebar di berbagai benua adalah tempat-tempat yang saya sangat ingin kunjungi. Kalau seperti ini, dewasa dan masih menonton bola bukan lagi di TV dan duduk di kursi.

Memiliki karier seputar dunia sepak bola memang menyenangkan bagi yang sangat menyukai olahraga ini. Bukan hanya pertandingannya saja, tetapi juga  faktor-faktor eksternal lainnya yang mendukung serunya pertandingan ini, seperti jual-beli pemain antarklub atau fakta bahwa ada kecurangan dalam pengaturan skor. Liputan-liputan seperti ini yang semenjak dulu saya inginkan untuk tulis. Seperti ini yang dimaksud dengan mengikuti sepak bola sebagai salah satu tanggung jawab orang dewasa.

Orang-orang dewasa yang punya tanggung jawab seperti ini jarang. Salah satunya (dan mungkin satu-satunya yang saya tahu dan juga yang saya suka tulisannya) adalah Pangeran Siahaan. Dia mungkin belum menjadi orang dewasa yang berkesibukan dengan urusan keluarga (sepertinya begitu), tapi sudah bisa diperhitungkan sebagai orang dewasa juga. Orang dewasa satu ini seringkali menuliskan analisis sebuah pertandingan bola yang dianggapnya menarik. Tidak hanya itu, ia juga menuliskan analisis respon penonton bola yang seringkali kurang pas dengan apa yang terjadi. Beberapa ia tulis di blog pribadi dan beberapa lagi ditulis di sebuah media online tempatnya bekerja.

Sebagai orang muda, saya sendiri merasakan gap antara saya dan ayah saya atau om-om saya yang waktu saya kecil masih menonton bola, tetapi sekarang tidak lagi. Menjadi seorang penggemar sepak bola dan di saat yang bersamaan menjadi orang dewasa adalah hal yang tidak mudah untuk dilalui. Sebagai anak muda, saya sih berharap untuk menjadi salah satu orang dewasa dan masih nonton bola. Bukannya naif, tetapi saya menemukan sepak bola lebih dari sekedar olahraga. Bukan juga fanatik, akhirnya ini hanya sebuah hobi.