March 26, 2012

Disiplin Menulis

                Sebagai seorang penulis, saya ini bisa dikatakan penulis yang tidak disiplin. Kerjanya uring-uringan saja. Alasannya bukan karena tidak ada ide, tapi karena terkadang malas tuang ide ke dalam sebuah tulisan.  Kadang ide mampet begitu saya sudah sampai di depan komputer. Akhirnya saya menuliskan hal yang lain.
                Terkadang, saya juga tidak tahu apa inti dari yang saya tuliskan, apa yang ingin saya sentuh dari tulisan saya. Sering seperti itu. Hanya omongan-omongan tidak jelas dan diselesaikan dengan sebuah amanat yang entah dari mana saya ambil. Dan entah apa nyambungnya dengan tulisan saya.
                Jadi, disiplin itu sangat penting dalam menulis. Itu lebih penting dari pada seberapa hebat penguasaan bahasamu, atau seberapa hebat penalaran idemu. Kalau tidak disiplin, semua itu sia-sia. Kapan mau dipakai?
                Coba lihat di film Limitless. Tokoh utama dari film itu adalah seorang penulis. Tapi, karena hidupnya yang hancur dan selalu bimbang, akhirnya dia terhenti karena tidak ada ide untuk menulis. Ia tidak dapat uang, hidup miskin, penerbit selalu memarahi dan memaki dia, tidak ada orang yang menghargai dia.
                Saya sendiri, yang bercita-cita sebagai seorang sastrawan, paling menakuti hal sedemikian rupa. Kalau masalah itu datang menimpa saya, maka mungkin saya akan kehilangan banyak hal. Profesi seniman memang selalu hidup sulit. Misalnya, Beethoven. Dia pernah suatu kali mengirimkan surat kepada raja untuk mengingatkan memberi dia uang untuk hasil karyanya, karena dia kekurangan.
                Hidup disiplin itu memang susah. Tidak gampang mengatur diri sendiri yang banyak maunya ini. Kita memang harus belajar bertahan. Bertahan dalam kesusahan, kesengsaraan, dan keterbatasan untuk menikmati hasilnya nanti ketika sudah makin bertumbuh. Nantinya, lama-lama juga biasa.
                Janjilah pada dirimu sendiri. Saya setiap hari minimal harus tulis berapa ratus kata, misalnya. Berusaha untuk menepati janji itu setiap hari. Kelak kamu akan jadi seorang yang besar.  

March 19, 2012

Ketika tahun-tahun bertambah satu tahun

                Belakangan ini banyak kejadian penting dalam hidup saya. Bulan ini adalah satu bulan yang begitu melimpah untuk diri seorang saya. Karena itu banyak post saya akhir-akhir ini labelnya personal life.
                Bulan ini saya berulang tahun. Bertambah lagi umur menjadi satu tahun, semakin bertumbuh dewasa, baik pikiran maupun tubuh. Saya lihat lagi foto-foto lama yang terpajang di cermin, di atas rak, dan yang di gantung di dinding kamar. Semua foto saya dari saya bayi, TK, sekolah SD, lalu ke SMP, sampai akhirnya kemarin saya harus meletakkan foto baru bersama teman-teman SMA.
                Dulu saya belum kepikir punya teman-teman yang semacam mereka ini. Teman-teman yang sudah sama-sama besar, keren, pintar, hebat, licik, pelit, jorok, dan bisa ditambahkan sendiri kata-kata sifat yang lainnya. Hidup terasa cepat sekali ketika saya melihat foto-foto itu kembali.
                Apa mau dikata? Lihat kebelakang jejak sudah banyak dibuat, lihat kedepan jalan masih panjang terbentang. Hidup terasa lama ketika kita tidak tahu mau berbuat apa. Waktu itu memang lama kalau ditunggu, hanya orang bodoh yang nungguin waktu sambil ngeliatin jam. Tiap detik habis sudah, dan saya yakin mata orang bodoh itu makin lama makin pedih, apalagi kalau tidak kedip.
                Kemarin saya menghadiri pesta pernikahan teman. Begitu mewah, saya sendiri salut. Bagaimanapun juga, pesta pernikahan itu dibayar oleh kedua mempelai. Mereka pasti sudah bekerja cukup keras, sebelum akhirnya uang mereka terkumpul dan menentukan untuk menikah.
                 Saya sih masih remaja. Masih bocah. Hidup masih jauh untuk memikirkan pernikahan, tugas untuk besok saja masih malas saya kerjakan. Tapi, setidaknya saya harusnya sudah berpikir sedikit mengenai hal itu. Setidaknya saya harus berpikir, uang untuk menikah akan saya hasilkan dari mana? Saya akan bekerja apa sebelum saya memutuskan untuk mengumpulkan uang dan menikah?
                Ya, intinya begitulah. Walaupun sudah bikin rencana dari jauh-jauh hari, masih ada kemungkinan gagal. “We live in a world where luck is never on our side” Jangan pernah mengharapkan keberuntungan menimpa. Mendapatkan keberuntungan hanya membuatmu terlihat lemah, tetapi usaha dan perencanaan hidup membuatmu hebat.
                Setidaknya selama satu minggu ini, saya belajar itu. Ciao!

March 18, 2012

They say this is friendship, i say this is life.

They say this is a group of people who know each other
They say this is some crazy people who don't know what to do
They say this is narcisism
They say this is high school kids
They say this is me and my friend celebrating something
And so they say this is friendship
But i say this is life
Am sure you know what's the difference

March 14, 2012

Cerita di perpustakaan sekolah

Selalu ada di kondisi bodoh macam ini. Dikelilingi oleh anak-anak SMP kelas 1 yang masih belum tau apa itu tata krama di perpustakaan, masih belum tau apa yang namanya bicara bisik-bisik, dan masih belum tau betapa galaknya ibu perpustakaan kalau ada yang ketahuan berisik.

Saya masih sama posisinya, di depan laptop, berusaha mencerna apapun yang saya rasa, saya dengar, saya lihat, dan segala yang menyentuh indra perasa saya. Ributnya pasar dan tenangnya rumah sakit adalah kondisi kontras antara bibir mereka dan bibir saya.

Yang lebih aneh lagi adalah ketika saya tahu, walau sebenarnya sudah tahu dari awal, kalau saya satu-satunya anak SMA di ruangan ini. Segala macam anak dengan celana biru dan satu anak bercelana abu-abu.

Brutal dan bodoh mereka ini. Kursi dibanting-banting, geser kanan-kiri. Anak yang gendut dan besar berusaha unjuk kekuatan dan anak yang kurus kecil berusaha lebih kuat dari yang gendut dan besar. Tentu saja itu hal yang brutal dan bodoh.

Saya juga pernah SMP, tapi saya tidak brutal dan bodoh. Saya mungkin brutal, tetapi tidak sebodoh manusia-manusia ini. Menulis mengenai mereka menyadari satu hal yang terus saya pernah lakukan selama SMP. Saya pernah menonjok teman saya sendiri sampai pingsan karena pertengkaran uang 5000 perak, yang sekarang tidak tahu 5000 itu untuk apa.
Awalnya, saya kira waktu saya tulis ini ada banyak yang baca karena penasaran, biasanya anak-anak ini kepo. Saya sendiri keponya keterlaluan, sejak dulu sampai amin. Tapi mereka ini memang gila. Jumlah mereka yang banyak mengalahkan kekuatan satu orang ibu perpustakaan. Mungkin mereka harus dihajar oleh sang kepala sekolah itu sendiri.
Bukannya saya gila, tapi saya harap saya punya 3 buah granat dan melempari granat itu ke tiga sudut perpustakaan ini dan melihat mereka semua mati dari luar. Ah, saya sudah seperti psikopat saja. Tapi saya tidak sekejam itu juga. Agaknya ingin melakukan itu, tapi dengan cara yang lebih halus. 3 granat itu adalah 3 guru besar di sekolah ini, Pa Ivan, Ibu Maya, dan Ibu Happy. Sebenarnya cukup salah satu dari mereka, tidak perlu ketiganya. Tapi, kalau yang masuk 3 jadi apa ya?

Sudah lewat 15 menit dan ketenangan bahkan tidak ada. Belum ada terdengar sebuah ketenangan dari sisi manapun perpustakaan. Mungkin mereka sudah makin tidak peduli dengan hadirnya ibu perpustakaan, atau mungkin ada atau tidaknya ibu perpustakaan tidak ada bedanya.

Emang dasar SMP, masih baru gede. Anak SMA juga banyak yang macam ini, sayangnya saya mungkin bukan. Saya lebih suka duduk diam-diam sambil melucu di depan laptop atau di atas kertas dengan sebuah bolpoin super tipis, kalau bisa tanpa tinta.

Oh, saya sadar satu hal lagi. Di sekeliling saya laki-laki semua. Pantas saja ributnya setengah mati.  Entah apa yang terjadi masa kini, laki-laki lebih ribut dari pada perempuan. Dulu steotipenya perempuan yang bawel dan cerewet, sekarang laki-laki juga ikut berisik. Bukan suara “bak” atau “buk” akibat suara pukulan, tapi suara mulut yang terus bicara tanpa henti. 

Untung saya dari dulu melatih kesepuluh jari saya untuk lebih aktif dibandingkan dengan mulut yang cuman 2 bibir atas-bawah ini. 10 lebih banyak dari 2, dan lebih bisa menghasilkan sesuatu dari pada 2 bibir itu.

Saya benci orang bawel. Bisanya cuman ngomong dan ribut aja. Ga kerja-kerja. Kalaupun omongannya penting, ya cuman bisa ngomong aja, tidak bisa dikerjakan dengan baik. Sampai akhirnya ada “you say you pay”, saking dunia sudah tidak percaya lagi kalau orang yang kebanyakan bicara bisa melakukannya juga. Memang, sedikit sekali orang macam itu. Kalau ada, pasti mereka langsung terkenal. Lihat Steve Jobs. Sayang dia sudah mati.

Ya, anyway, saya  bingung. Akan ada Steve Jobs lagi tidak di dunia ini yang lahir dari generasi yang bawel ini? Generasi super cacat di mana dari kecil saja udah korupsi. Sudah bawel, korupsi pula, lalu dosa apa lagi buat generasi selanjutnya?

Indonesia masih menjadi negara berkembang selama 67 tahun kemerdekaannya, and yet generasi mudanya makin tidak beres. Makin lama Indonesia sulit untuk menjadi negara maju. Makin lama mungkin makin tertindas di tengah-tengah dunia yang luas ini.

Saya sekarang sudah capek menulis mengenai suasana perpustakaan ini. Mereka sepertinya sudah menyelesaikan tugas mereka masing-masing dan sedang bersiap-siap untuk keluar ruangan ini dan saya akan mendapatkan ketenangan saya sebentar lagi. Selama ketenangan itu hadir, saya mau baca koran. Sudah cukup menulisnya. 

Laper

                Laper itu tidak enak. Dalam bentuk dan rupa apapun, Laper itu tetap tidak enak. Mau Laper makanan atau Laper ilmu sama saja, tidak enak. Laper bahkan tidak lebih enak dari pada pusing. Justru karena Laper maka jadi pusing kepala.
                Laper itu sesuatu yang nyata dalam hidup kita. Menyentuh pikiran, kehendak, dan emosi kita. Sedikit saja Laper, kadang masih bisa ditahan. Kalau Lapernya sudah menjadi-jadi, bisa gila kita dibuatnya. Kita bisa pusing, bisa makan makanan orang lain, atau bahkan bisa makan yang bukan makanan, atau bisa juga kita menjadi marah-marah.
                Kata orang kalau Laper sudah tidak bisa mikir. Aneh ya, yang kosong perut, yang tidak bisa kerja malah pikiran. Padahal kalau di kelas filsafat selalu ada pertanyaan yang akhirnya bikin Laper kita semua “apa itu pikiran?”. Kita memikirkan pikiran itu apa dengan pikiran kita dan akhirnya yang kosong perut, lho?
                Makan kenyang, nanti ngantuk. Tidak makan Laper, nanti  tidak bisa kerja. Manusia memang kebanyakan alasan. Mau makan yang pas, tidak bisa ditahan, alasannya masih Laper. Memang manusia banyak akalnya dan tipu muslihat.
Laper dibuat pura-pura tidak Laper supaya tidak gemuk. Kenyang dibuat pura-pura Laper supaya bisa nambah. Memang manusia sendiri tidak tahu maunya diri apa.
Egois bisa muncul kapan saja ketika Laper. Tidak peduli belum waktunya makan di sekolah, tetap curi-curi makan atau berusaha negosiasi dengan guru. Tidak peduli sudah waktunya makan siang di kantor atau belum, kalau bisa sambil melahap makan sambil bekerja.
Memang, Laper itu bikin kita jadi semena-mena. Bahkan lebih jadi lebih semena-mena daripada kebelet ke toilet. Hanya karena Laper, revolusi Perancis muncul. Bunuh sana, korupsi sini, jajah kemana-mana, hanya karena Laper.
Tidak ada hari tidak Laper. Mau bagaimanapun, Laper ya tetap Laper, kasihan kalau ditahan-tahan.

March 12, 2012

Tik - Tok

                “Tik.. Tok.. Tik.. Tok.. Tik.. Tok” waktu terus berjalan. Setiap ‘tik’ dan setiap ‘tok’ lewat begitu saja  dari hidup kita. Setiap ‘tik’ dan setiap ‘tok’ tubuh kita mengalami proses penuaan. Sel-sel terus bergerak dan bekerja di dalam tubuh kita. Setiap ‘tik’ dan setiap ‘tok’ orang mati satu per satu di berbagai belahan bumi ini. Tetapi, setiap ‘tik’ dan setiap ‘tok’ juga satu per satu lahir bayi-bayi lucu dengan jari-jari yang mungil dan suara tangisan keras yang menggemparkan satu ruangan bersalin. Setiap ‘tik’ dan setiap ‘tok’ roda yang tadinya di atas berputar kebawah dan kemudian begitu seterusnya. Sampai akhirnya tiada lagi suara ‘tik’ dan ‘tok’ itu. Waktu berhenti berjalan, dunia berhenti berputar, seluruh dunia tidak lagi bergeming. Kau tidak punya lagi kesempatan mengubah segalanya. Yang lewat sudah, tidak ada lagi yang akan datang. Lalu apa? Kita manusia belum tahu lagi apa.

Pinjaman yang dikembalikan

                Beberapa orang yang tinggal di dunia ini bersama-sama dengan saya tahu kalau di dunia ini saya membuat 2 sumpah di hadapan semua orang. Salah satu sumpah itu adalah “Tidak akan memakai dan mempunyai Blackberry secara pribadi”. Pada akhirnya, beberapa orang itu tahu kalau saya menggagalkan sumpah ini pada tanggal 21 Januari 2011 di kota Medan.
                Awalnya, saya masih menyangkali. “Ini ‘kan cuman dipinjemin sama orang tua, bukan beli sendiri!” tapi lama-lama saya mulai mengganti segala settingannya menjadi mau saya sendiri, seperti Blackberry itu milik saya. Yang paling terlihat adalah mengganti nama bluetooth-nya menjadi ‘AldoBerry’. Itu sudah menjadi tanda kalau Blackberry itu sah punya saya pribadi, bukan lagi seperti dipijamkan.
Sudah satu bulan lebih saya memakai Blackberry bold ini. Sampai akhirnya tiba saatnya ketika saya harus berhenti. Ini adalah saat-saat saya dilanda dilema besar. Jadi ceritanya, Blackberry papa saya rusak mesinnya dan kalau mau ganti mesin akan mengeluarkan biaya yang besar. Akhirnya papa saya meminta saya untuk memberikan punya saya untuk dipakai papa saya, karena urusan bapak-bapak memang lebih penting dari pada urusan anak-anak.
Susah untuk lepas dari barang ini. Padahal saya baru memakainya satu bulan lebih, dan saya harusnya bisa dengan mudah kembali seperti kondisi saya semula dengan HP Nokia saya yang lama dan harus bawa laptop ke mana-mana untuk membuka e-mail dan chatting.
                Saya menimang-nimang Blackberry saya, untuk yang terakhir kalinya. Sambil menimang-nimang sambil berefleksi. Sebenarnya, saya memang tidak punya hak untuk barang ini. Apalagi saya sudah bersumpah untuk tidak mempunyai barang ini secara personal, harusnya saya bisa berikan segera ketika diminta, tetapi saya mengundurnya untuk beberapa hari dengan alasan back-up data dari Blackberry ke laptop.
                Sambil memindah-mindahkan data, saya sadar satu hal. Urusan Blackberry ini sama saja dengan hidup kita dihadapan Tuhan. Seluruh dari hidup kita ini adalah milik kepunyaan Tuhan. Tidak setitik pun yang bukan milik Tuhan. Kita kadang suka marah dan mengajukan protes kepada Tuhan ketika sesuatu atau seseorang diambil kembali oleh Tuhan dari sisi kita. Kita tidak sadar kalau semua itu bukan milik kita sepenuhnya, hanya dipinjamkan.
                Talenta, bakat, harta kita itu semuanya milik Tuhan, dan harusnya dipakai untuk memuliakan nama Tuhan saja. Ketika kita diminta Tuhan untuk menyerahkan segalanya dihadapa Tuhan, kita tidak boleh kabur atau protes. Walaupun sebelumnya kita bisa melakukan hal-hal hebat dengan itu, tetapi Tuhan mau apa yang menjadi milik-Nya kembali diserahkan kepada-Nya. Karena biasanya kita menggunakan apa yang Tuhan berikan kepada kita bukan untuk Tuhan tetapi untuk kemuliaan diri kita.
                Begitu juga dengan Blackberry ini dan saya. Selama ini saya pakai Blackberry untuk apa dan untuk siapa? Siapa yang beri saya kesempatan untuk punya Blackberry itu? Menghargai pemberian bukan hanya dengan mengembangkan pemberian itu, tetapi juga mengembalikannya ketika diminta, walaupun kita sudah mengembangkannya susah payah.