December 17, 2011

Aku dan menulis 8

                Olahraga juga salah satu hal yang aku sukai. Walaupun aku lebih senang di rumah, aku masih sering meluangkan waktu  untuk berolahraga. Yang paling ku gemari adalah sepak bola. Selain bermain sepak bola, aku juga menonton pertandingan-pertandingannya. Sampai hari ini, aku belum pernah bermain sepak bola, hanya futsal saja.
Itu adalah versi lebih kecil dari sepak bola. Bermain lima orang melawan lima orang. Biasanya, aku bermain dengan teman-teman sekolah atau di sekitar perumahanku. Cukup seru!
Di sekolah, aku dengan teman-teman seangkatanku biasanya meluangkan waktu pada hari Jumat untuk bermain futsal. Banyak hal-hal menyenangkan yang terjadi selama futsal. Utamanya ketika kami berhadapan dengan kakak-kakak senior kami. Bahkan, kami rasanya sudah terlalu bosan untuk menghitung kemenangan kami atas mereka. Kami bisa dikatakan sebagai tim yang terbilang cukup solid dan tangguh. Dahulu memang begitu, namun setelah dua anggota kami ‘pergi’, rasanya ada yang kurang di dalam tim ini. Meski begitu, kami harus tetap berjuang dan menatap masa depan tim kami.
Nah, bicara mengenai posisiku di dalam ‘miniatur’ timnas futsal Calvin ini, biasanya aku ditempatkan sebagai seorang penjaga gawang. Ya, meskipun naluriku adalah sebagai seorang penyerang, namun bagiku itu sudah cukup. Itulah aku, anak yang tertindas, bahkan oleh teman-temanku sendiri. Parahnya lagi, penempatan itu tidak sesuai dengan kemampuanku. Bola-bola tendangan lawan sering meluncur deras ke gawangku karena kebodohanku. Tapi tidak selamanya kebodohan itu terjadi. Aku juga sering melakukan beberapa penyelamatan-penyelamatan yang terbilang cukup gemilang.
Tidak banyak yang pernah aku diskusikan dengan menulis mengenai permainan bola. Dia tidak terlalu tertarik soal itu. Dia khawatir rupanya.
Dia bercerita, dulu dia pernah memiliki sahabat yang suka bermain bisbol. Sahabatnya ini meninggalkan menulis dengan dunia bisbol. Sudah mabuk dengan kenikmatan dan ketenarannya dengan dunia bisbol sampai meninggalkan menulis. Akhirnya menulis mencari sahabat yang baru. Karena, setiap kali sahabatnya itu diajak berbincang, selalu saja didiamkan. Ah, sedih sekali kisah hidup sahabatku ini.
Dia selalu berpesan kepadaku untuk tidak melupakannya. Maka itu dia menceritakan kisahnya. Aku bilang saja kepadanya, aku ini ‘kan memakai kacamata, tidak mungkin aku akan menjadi seorang pesepakbola profesional. Dia kemudian tertawa.
Ini lagi satu hal yang aneh dari dirinya. Dia bisa tertawa terbahak-bahak. Bayangkan saja, sesuatu yang tidak tahu bentuknya seperti apa ternyata bisa tertawa juga. Bahkan seekor anjing, yang katanya sahabat manusia, tidak bisa tertawa.
Menulis makin lama makin mengerti akan ketertarikanku terhadap dunia olahraga, khususnya sepak bola. Dia kemudian mengejariku bagaimana menulis laporan pertandingan seperti di koran-koran. Teknik-teknik untuk menulis laporan secara cepat, ringkas, dan padat.
Sekitar satu bulan aku melatih kemampuan ini. Dan memang, tulisanku makin baik saja. Selain itu, aku kemudian tidak hanya menonton pertandingan sepak bola saja. Aku sekarang sudah mengikuti pertandingan voli, bulu tangkis, tenis, ataupun juga tenis meja.  Melihat dan menganalisa tiap kejadian. Rasanya juga makin seru saja. Agar makin mengerti peraturannya, aku juga sering coba memainkannya. Tidak buruk juga, ada sedikit bakat olahraga dalam diriku.
Melihat semua itu menulis makin senang. Senang karena aku bisa menyeimbangkan keduanya. Aku makin sering berolahraga tetapi masih tetap setia bersama-sama dengan menulis.  Sayang dia tidak bertubuh. Mungkin dia lebih jago dalam segala bidang olahraga dibandingkan denganku.
Kalau sedang kelelahan aku sering dibisikinya cerita-cerita lamanya. Dongeng-dongen klasik yang sangat bagus. Biasanya aku tidak dengar ceritanya sampai habis, karena aku tertidur di tengah-tengah ceritanya.
Dan hal-hal mengenai olahraga ini berhenti terlalu cepat. Dua tahun sudah lewat dan aku sudah tidak menjadi anak sekolahan lagi. Aku sekarang harus pergi keluar. Ke dunia yang lebih luas. Kuliah. Perkuliahan. Entah apa itu. Sepertinya ramai. Ingin sekali rasanya ke sana. Orang-orang bilang itu lebih enak daripada sekolah yang baru saja kulewati. Menulis juga mendukungku dengan penuh.
Berkat menulis aku sekarang bisa masuk di tempat kuliah yang bagus dan hebat. Ah, menulis. Semuanya terjadi karena dirimu. Hutangku banyak sekali. Tak tau lagi harus kubayar dengan apa. Kau lebih dari sahabatku. 

December 16, 2011

Ulang Tahun ke-17 Stevani Widjaja

               
              Mengenai orang satu ini, Stevani Widjaja, apa ya? Anak ini lebih tua daripadaku 2 tahun lebih. Dan terlihat jelas perbedaannya secara fisik. Badannya tinggi besar, aku kalah jauh. Matanya bersinar-sinar penuh kebahagiaan. Selama satu tahun setengah ini, aku belum pernah melihatnya sedih.
                Selama ini memang kami tidak terlalu dekat. Hanya sejak kami berdua ditugaskan di satu divisi yang sama di dalam organisasi sekolah (OSIS). Kami bekerja sama sebagai sebuah tim yang kompak tentunya.
                Asik orangnya. Itu saja sih. Di luar dari masalah penampilan fisik, asik atau tidak adalah penilaianku yang pertama. Bercerita mengenai apapun rasanya enak dengan orang-orang asik, salah satunya ya Vani ini. Selain itu dia juga kreatif. Berbagai ide dan masukkan diberikan olehnya di dalam banyak hal. Ini membuat dia menjadi seorang bos yang baik (Bos-bosan).
                Kalau mau berbicara mengenai cantik atau tidak, ya tentu cantiklah. Siapa sih yang Tuhan ciptakan tidak cantik? Yang ada hanyalah yang cantik dan cantik sekali. Nah, Vani ini cukup cantik. Karena kalau cantik sekali, pasti cerita di sini akan jauh berbeda. Tubuhnya yang semampai itu juga menambah keanggunan perempuan muda satu ini.
                Aku dan dirinya memiliki satu kesamaan. Kami sama-sama suka satu klub sepak bola dari Inggris, CHELSEA. Ya, klub bola dengan warna kebanggaan biru itulah yang kami gemari. Dia sendiri sangat menyukai salah satu pemain tengahnya, Frank Lampard. Bagiku itu biasa, namanya juga perempuan ya jelas sukanya laki-laki ganteng. Aku sendiri juga tentu punya idola yang cantik.


                Perbedaan yang kami miliki juga ada satu yang sangat jelas. Dia senang membaca puisi, dan aku senang membuatnya. Dia juga agak senang membuat puisi, hanya saja aku lebih senang lagi. Karena memang itulah kerjaku.
                Di ulang tahunnya yang ke 17 ini aku ingin memberikan sebuah puisi dari bahasa Indonesia. Agak jarang aku buat dari bahasa Indonesia. Tetapi yang satu ini cukup bagus menurutku dan cukup pantas, atau bahkan sangat pantas untuk menjadi sebuah kado ulang tahun bagi temanku Stevani Widjaja.

Tak ada kubeli sekarang
Karena tak cukup uang abang
Tapi banyak yang kuberi sejak dulu
Bukan barang yang beribu
Apalagi sebuah ilmu
Hanya sesuatu dari jalan yang berlika-liku
Sampai akhirnya tiba di hatimu
Itulah kasihku

Tujuhbelas tahun sudah umurmu
Satu setengah tahun sudah kita bertemu
Bertatap wajah
Menyunggingkan senyuman
Ah, momen yang indah
Tak pantas itu dilewatkan
Apa daya kalau waktu tetap jalan
Tapi aku tahu senyuman kita tak berakhir di situ
Masih akan terus tersungging sampai kita berpisah

December 15, 2011

Aku dan menulis 7

                Aku selama ini bersahabat dengan sesuatu. Sesuatu ini tidak berwujud apa-apa. Tetapi, sebagai  seseorang yang senang berimajinasi, aku pikirkan seandainya menulis adalah seorang manusia. Pastinya dia tergambar sebagai orang tua, lebih tepatnya kakek-kakek. Entah kenapa dia terasa seperti laki-laki. Mungkin karena aku laki-laki dia bersikap seperti laki-laki. Rasanya pasti aneh kalau dia bersikap seperti laki-laki ketika dia bersabahat dengan seorang perempuan yang sebelumku. Lebih aneh lagi kalau ternyata dia benar-benar punya gender. Ah, sudahlah. Tidak usah di pikirkan lagi.
                Yang ada di otakku saat aku membayangkan dirinya adalah seorang kakek yang sangat bijak dengan kumis dan jenggot putih yang sudah panjang. Seperti bagaimana kakek-kakek yang di gambarkan oleh Hollywood biasanya.
                Ada satu hal yang aneh semenjak aku mulai membayangkan rupa menulis. Aku sering bermimpi buruk. Sampai-sampai membuatku bangun subuh. Sekali waktu pernah aku bermimpi mengenai seorang anak kecil di sebuah rumah yang sederhana. Dia bermain-main sendirian. Lari sana-sini, lompat-lompat.
 Tiba-tiba datang seorang kakek tua, persis seperti apa yang kubayangkan tentang menulis. Kakek tua itu mengangkat tangannya dan rumah itu bergerak-gerak, seperti ada gempa. Lama-lama rumah itu memakan anak kecil itu. Tergerus habis. Aku melihat darah. Tulang hancur.
                Mati sudah anak kecil itu. Tak berkutik lagi. Rumah itu kemudian tegak lagi seperti asalnya. Dan aku lihat kakek tua itu masih berdiri di tempatnya. Tangannya sudah diturunkan. Ku lihat dia memakai sebuah jubah putih yang panjang. Kemudian, darah anak kecil itu beserta serpihan-serpihan tulangnya mengalir sampai ke bawah jubah kakek tua itu. Sampai darahnya habis tak tersisa.
                Setelah itu aku terbangun. Keringat mengucur di seluruh tubuhku. Aku panik. Kulihat jam di dinding, menunjukkan pukul 2.15.
                Mimpi-mimpi itu masih terus berlanjut sampai sekitar empat hari. Dengan tokoh yang sama, anak kecil dan kakek tua. Hanya saja dengan versi yang berbeda-beda. Dan selama empat hari berturut-turut itu aku selalu bangun terlambat dan akhirnya masuk sekolah juga terlambat. Di hari yang keempat, aku kemudian berbicara dengan menulis. Dengan sikap dingin dia menanggapi.
                Aku lalu tulis-tulis di kertas. Mengenai mimpiku, mengenai betapa aku membenci mimpi itu, mengenai betapa berdampaknya mimpi itu dalam kehidupan sehari-hariku. Setelah selesai tulis, aku duduk dan kemudian tertidur dengan sendirinya.
                  Aku bangun pukul 6 pagi dan menyadari kalau aku tidak mimpi apa-apa barusan. Tidak mimpi buruk, ataupun mimpi indah. Kosong saja. Hitam. Bolong. Eh, bolong! Aku ingat itu. Seperti sebuah black hole yang sering disebut-sebut oleh para ilmuwan. Menghisap segalanya tanpa pilih-pilih. Sepertinya aku tahu apa maksud mimpi itu. Lubang hitam yang gelap itu tadi sedang menghisap semua memoriku mengenai mimpi-mimpi yang ku lihat di hari-hari sebelumnya. Itu juga yang ku pikir membuat mimpi burukku tidak berlanjut di hari-hari selanjutnya.
                Tapi, ah, kalau lubang hitam adalah penghisap segala tanpat memilih, harusnya dia juga menghisap memori yang lain, tidak hanya itu. Aku ini memang sering bingung sendiri. Sama sekali tidak pintar, kecuali pada saat bersama dengan menulis.
                Atau mungkin saja, mimpiku tidak berlanjut karena menulis tidak menghantuiku lagi. Sepertinya aku mendapat mimpi buruk karena aku membayangkan rupanya yang seperti kakek tua. Mungkin dia tidak suka. Menulis ternyata juga punya perhatian mengenai dirinya sendiri.
                Sepertinya dia memaafkanku karena dia telah membaca karyaku. Karya yang dihasilkan akibat amarah yang mendalam dan harapan untuk mimpi buruk itu segera hilang. Dengan itu sepertinya dia langsung memaafkanku dengan segera.
                Semenjak itu aku tidak pernah membayangkan lagi rupa menulis seperti apa. Biarkanlah itu tetap tersembunyi selamanya. Setiap orang punya rahasianya masing-masing, begitupun dengan menulis (walaupun dia bukan orang).
                Malam selanjutnya, sebelum aku tidur aku tulis-tulis lagi di atas kertas. Sebuah paragraf kecil.

Tak ada rupa di dunia ini yang cocok untukmu. Kau bukan manusia, bukan binatang, bukan juga tumbuhan. Mungkin kau adalah pesuruh Tuhan untuk menjaga dan menemani manusia yang membutuhkanmu. Tak ada tubuh sedemikian indah di dunia ini yang cocok untukmu. Tak risau aku soal rupa dan tubuhmu, ketika kau ada kau sudah menampakkan semuanya dengan jelas kepadaku.